Penghancuran di Balik Ambisi Bandar Madani

Lila Nadeera

4 min read

Dulu rasanya tak banyak yang dapat dilihat di kota kepulauan ini. Berkendara di akhir pekan dari Nongsa menuju Sekupang kemudian mampir ke Rempang dan Galang seperti bisa ditempuh dalam sehari. Sekarang mana mungkin? Mal, pusat industri, dan kafe merajalela di tiap daerah. Masing-masing telah punya massa setia. Jalan tikus tak mampu lagi menampung kami semua.

Batam, saya lahir dan besar di dalamnya, tapi hubungan kami seperti sepupu jauh—macam kenal, tapi tak juga. Butuh waktu lama untuk mengakui kota kelahiran saya. Kedua orangtua saya adalah perantau dari Yogyakarta. Saya sempat lebih bangga menyatakan kalau saya orang Jawa. Padahal, kosa kata yang saya hafal saat itu cuma nggih dan mboten, mantra menolak tawaran para pedagang mainan di Borobudur.

Hanya saat berada di tanah Jawa berbulan-bulan lamanya, saya mulai merindukan Batam setengah mati. Angin pesisir, makanan laut, anak-anak yang hobi misuh pakai logat campuran Sumatera-Melayu, dan sebagainya. Ada banyak sekali cerita di kota ini.

Seperti saat saya melihat seekor babi berlarian di pinggir jalan raya menuju sekolah. Ayah dan kedua adik saya berpikir bahwa saya membual sampai mereka melihatnya sendiri. Jalan raya itu bersebelahan langsung dengan sebuah hutan. Kata seorang teman, di dalam hutan itu memang ada peternakan. Babi yang  saya lihat mungkin saja berasal dari peternakan tersebut.

Aku tak tahu nasib babi dan peternakan itu sekarang. Yang jelas, bagian hutan yang bersebelahan dengan jalan raya itu kini telah mati setelah dibuka untuk memperlebar lajur jalanan.

Beberapa tahun terakhir pemerintah makin masif memperkenalkan buldoser, tandem roller, eskavator, dan alat-alat berat lainnya kepada masyarakat. Jaringan jalan yang menghubungkan pelabuhan, bandara, dan pusat industri dibuat semakin luas dan panjang. Selama 2024, setidaknya terdapat 22 proyek ekspansi jalan telah berlangsung dengan estimasi panjang total 59 kilometer.

Baca juga:

Banyak masyarakat, dan tentunya pemerintah ikut turut serta, membanggakan hasil proyek ekspansi jalan ini. Jalan-jalan lebar Batam mulai dikenal bahkan oleh penduduk provinsi lain. Lontaran pujian diberikan kepada pemerintah kota. Penghargaan bagi mereka karena mengundang sejumlah investor ke kepulauan.

Sementara itu, sulit bagi saya untuk turut merayakan.

Saya tahu pemerintah pasti menawarkan para investor hal-hal yang lebih besar dari sekadar jalanan mulus. Babi yang kabur dari peternakan tersebut pasti bukan satu-satunya yang kehilangan rumah. Peternak itu juga bukan satu-satunya yang kehilangan pekerjaan. Pohon dan satwa lainnya dalam hutan tepi jalan itu bukan satu-satunya yang telah rata dengan tanah. Yang dirayakan pejabat-pejabat kota itu adalah hasil pembunuhan. Mereka menyebutnya pembangunan padahal yang mereka lakukan adalah penghancuran.

Wilayah Kota Batam mencakup ratusan pulau, di antaranya Batam, Rempang, dan Galang. Masih banyak yang belum tahu bahwa sebenarnya wilayah ini tidak pernah menjadi pulau kosong. Laporan dari seorang pejabat masa kolonial Belanda, P. Wink, saat mengunjungi Rempang pada 1930—ditemukan 36 manusia yang dikenal dengan sebutan Orang Darat. Mereka hidup nomaden dalam belantara hutan Batam.

Seiring dengan berjalannya proyek industrialisasi, hutan-hutan—ruang hidup Orang Darat—mulai terkikis. Mereka disudutkan dan terpaksa menetap dalam satu kawasan. Kini, jumlah Orang Darat semakin berkurang, bahkan terancam punah.

Orang Darat bukan satu-satunya yang terancam akibat proyek pemerintah. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mencatat keberadaan hewan-hewan yang terancam punah dari Batam, seperti dugong dan lumba-lumba hidung botol. Hal ini membuktikan bahwa industrialisasi membawa kerusakan tidak hanya di darat, tetapi juga area perairan.

Sebuah studi yang dilakukan di Belize menunjukkan bagaimana deforestasi berdampak langsung kepada penurunan kualitas ekosistem di laut. Hutan memiliki peran untuk menyaring limpasan bahan-bahan organik sebelum mereka menyentuh sungai dan kemudian mengalir menuju laut. Saat laut menerima limpasan yang terlalu berlebihan, lapisan gelap di atas perairan terbentuk, menyebabkan sinar matahari terhalang untuk masuk. Akibatnya, ekosistem terumbu dan organisme fotosintesis lainnya yang mengandalkan sinar matahari kesulitan untuk bertahan hidup. Hal ini mempengaruhi rantai makanan dalam ekosistem laut.

Pada tahun 2022, kerusakan hutan di Batam mencapai 47% dari total luas hutan 382 hektar. Saya bertanya-tanya, saat tiba waktunya di mana tidak ada pohon tersisa, rumah siapa lagi yang akan mereka tebang? Jawabannya adalah rumah warga.

8 Januari 2025, seorang ayah menatap apa yang tersisa dari rumah tempat keluarganya (dulu) bercengkrama. Baginya, rumah itu lebih dari sekadar bangunan bertembok. Semen yang menjadi perakit ruang-ruang di dalamnya adalah saksi keringat, air mata, dan darah yang disembunyikan demi tawa istri serta anak-anaknya.

Seorang ibu berlari membawa apa yang bisa diselamatkan sebelum roda eskavator menggilas tempat tinggalnya. Tangan dan kaki beliau adalah baja—kerangka yang menjadi penguat seisi rumah. Baja itu jatuh tak berdaya kala menyadari apa yang telah diusahakannya untuk utuh selama bertahun-tahun, kini nyaris rata dengan tanah.

Seribu rumah dalam Tembesi Tower dirobohkan demi membangun lebih banyak kawasan industri. Pemerintah menjanjikan relokasi dan kompensasi, seperti saat mereka menggusur banyak pemukiman warga sebelumnya. ‘Janji’ sebenarnya merupakan kata yang kurang tepat, karena warga tidak punya pilihan selain terpaksa mengikuti apa yang telah diperintahkan.

Seperti yang terjadi di Rempang, warga kampung yang memilih untuk berjuang dan bertahan harus menghadapi tekanan dan ancaman untuk memaksa mereka pergi. Sementara itu pemerintah menolak untuk memberikan perlindungan kepada warga, bahkan saat mereka menjadi korban kekerasan dari serangan preman sewaan dan orang-orang tidak dikenal.

Baca juga:

Pemerintah selalu punya cara untuk mengakali tindakan mereka yang jelas-jelas merusak ruang hidup masyarakat. Alibi pemerintah adalah penggusuran sentral untuk meningkatkan investasi dan investasi sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Mereka bilang, mengakomodasi investor guna mendapat arus modal yang deras segaris dengan visi Batam sebagai Bandar Dunia Madani—kota modern dan sejahtera.

Pemerintah berhasil menarasikan penggusuran menjadi suatu kebijakan yang quid pro quo: setiap rumah yang dihancurkan akan menjadi sumber pendapatan bagi rakyat di masa depan.

Dengan mengenakan jas mahal, mereka berucap seperti itu di depan para nelayan dan pedagang, yang sumber mata pencahariannya telah mereka hancurkan. Proyek Revitalisasi Pasar Induk Jodoh misalnya, menyebabkan 138 pedagang kehilangan lapak tempat mereka berdagang, tanpa kejelasan kapan mereka bisa melapak kembali.

Kota kepulauan ini dulunya dikelilingi laut, dipenuhi hutan, dan dihuni satwa. Pemerintah gagal memperhatikan jejak-jejak kehidupan yang berdenyut di sepanjang pulau. Mereka tidak menghormatinya dan sekarang tengah beralih menyerang kelompok manusia yang berusaha mempertahankan napas terakhir yang tersisa.

Di manapun itu, rakyat seharusnya diberikan akses untuk terlibat dalam setiap proses pengelolaan ruang hidup mereka. Bukan dibiarkan dalam ketidaktahuan sementara uang pajaknya digunakan untuk membiayai alat berat yang meruntuhkan rumah mereka sendiri.

Ironis ketika pemerintah beralasan ingin meningkatkan ekonomi namun mengabaikan ekonomi yang telah dijalankan masyarakat selama bertahun-tahun. Mengklaim ingin mensejahterakan, tetapi caranya melibatkan kekerasan. Pemerintah seharusnya bisa lebih inovatif dalam membangun kota, tanpa terus-menerus mengikuti cetak biru metropolitan yang sama.

Saya sedih menyaksikan betapa careless-nya pemerintah dalam upaya yang mereka sebut sebagai ‘pembangunan’. Mereka bertindak seolah setiap tanah yang bukan milik mereka, setiap rumah atau bangunan yang menghalangi proyek, bisa dimanfaatkan sesuka hati. Tanpa peduli nasib makhluk hidup di dalamnya.

Jika mereka tidak peduli pada sesama manusia, bagaimana aku bisa berharap mereka akan peduli pada makhluk hidup lain seperti pohon, cacing tanah, ikan, dan sebagainya? Mereka hanya mengejar keuntungan, dan apa pun yang tidak mendatangkan uang akan disingkirkan.

Apa yang pemerintah lakukan di kota saya dan di berbagai tempat lain seperti Puger, Kapa, Pegunungan Meratus, Pundenrejo, Pulau Pari, Pulau Gili, dan banyak wilayah lainnya yang tak bisa saya sebut satu per satu, adalah tindakan penghancuran. Mereka tidak hanya menghancurkan rumah, tapi juga memusnahkan kenangan dan budaya yang telah lama terjaga di sana.

Saya tidak habis pikir bagaimana pemerintah bisa begitu tega. Mengusir ribuan orang dari rumah mereka. Kemudian memberikan ‘kompensasi’ seolah segala kerusakan yang mereka lakukan bisa diselesaikan dengan setumpuk uang tunai.

Bayangan tentang kamar tempat saya beristirahat berdiri di atas mayat pepohonan dan satwa, membuat saya merasa sangat tidak nyaman. Saya rasa itu reaksi sepatutnya sebagai makhluk pemilik rasa empati.

Maka dari itu, saya ingin tahu bagaimana caranya pemerintah bisa tetap tenang meraup keuntungan dari pabrik-pabrik yang menjulang. Tanpa memperdulikan bahwa uang yang mereka hasilkan berasal dari penderitaan, tangisan, dan darah makhluk hidup yang mereka gusur.

Kadang saya berandai, kota kepulauan ini dibiarkan apa adanya. Tak perlu dibuka, tak perlu banyak dilihat. Tak perlu tersentuh rencana serakah kota. Berkenalan dengannya membuat saya sadar bahwa saya jatuh cinta sudah terlambat. Semua yang saya tahu dan sayangi, mungkin akan lenyap sepuluh tahun ke depan.

Yang tinggal hanya kenangan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Lila Nadeera

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email