I study for a living

Membedah Revolusi: Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Politik Global

Amalia Andini

3 min read

“It is worth saying again: the world got involved in Indonesia’s revolution and was changed by it” (p.10)

“Penting untuk dikatakan lagi: dunia terlibat dalam revolusi di Indonesia dan diubah oleh revolusi tersebut” (hal.10)

Sebagian besar orang Indonesia mungkin bisa mengingat sejarah kemerdekaan yang diajarkan di bangku sekolah: kolonialisme Belanda yang berlangsung 350 tahun, penjajahan Jepang selama 3,5 tahun, kekalahan Jepang di Perang Dunia II, perjuangan kemerdekaan memakai bambu runcing dan metode gerilya, peristiwa Rengasdengklok, dan deklarasi Proklamasi di Jakarta pada 17 Agustus 1945. Kira-kira begitulah intinya. Tapi, seberapa banyak dari kita yang menyadari bahwa peristiwa revolusi yang terjadi di negeri ini hampir 80 tahun silam adalah momen yang mengubah sejarah dan politik dunia?

David Van Reybrouck memulai ceritanya dengan adegan kapal uap yang tenggelam di tengah Laut Jawa, S.S. Van der Wijk (1936). Ya, kapal yang sama diceritakan oleh Hamka dan diangkat ke layar lebar tahun 2013. Dalam “Revolusi”, Van Der Wijk bukan fokus utama, melainkan metafora “Kolonialisme Barat” yang perlahan dilahap ombak dan menghilang di dasar samudera.

Dek 1, 2, dan 3 yang terdapat di kapal melambangkan kelas sosial yang ada di Hindia Belanda: dek 1 untuk para penguasa (kulit putih), dek 2 tempat para pebisnis, priyayi, dan intelektual (Asia dan kaum menengah atas pribumi), serta dek 3 di mana sebagian besar kelas pekerja dan petani (pribumi). Revolusi dimulai dari dek 2, yang kemudian menyebar di keseluruhan dek 3. Hingga akhirnya, gabungan antara kedua kelas ini mampu mengambil alih dek 1 dan ‘menenggelamkan’ era penjajahan Belanda di Nusantara.

Baca juga:

Van Reybrouck sangat lihai menggunakan simbolisme meskipun buku ini membawa tema yang cukup berat. Deskripsinya juga diperkaya dengan studi arsip dan interview dari para saksi sejarah yang masih hidup. Beberapa diantaranya adalah Djajeng Pratomo (jurnalis Indonesia di Belanda dan anggota Pelajar Indonesia), Kartika Affandi (putri pelukis Affandi), dan Upik Sjahrir (anak Sutan Sjahrir).

Sebagai seorang penulis sejarah asal Belgia, Van Reybrouck berusaha memperlihatkan perjuangan kemerdekaan dari semua sisi, Belanda, Indonesia, Jepang, dan juga dari pihak luar yang terlibat termasuk veteran Gurkha, kelompok tentara asal Nepal yang diutus oleh Inggris tahun 1946. Menurut saya, buku ini layak mendapat pujian dan sudah sepantasnya dibaca lebih banyak orang, khususnya kita sebagai warga Indonesia.

Perjuangan Pemuda (Pemudi) dan Kekejaman Perang

Revolusi atau perang kemerdekaan Indonesia bukan lah hal yang terjadi dalam waktu singkat, melainkan efek dari penindasan dan eksploitasi yang dilakukan oleh VOC dan pemerintah Belanda selama ratusan tahun. Masyarakat pribumi sudah terlalu lama ditindas dan hidup dalam kemiskinan, sedangkan monarki Belanda menjadi salah satu negeri terkaya dari hasil alam yang dihasilkan di tanah Indonesia.

Upaya memperjuangkan hak-hak pribumi dimulai oleh kelompok intelektual Indonesia di Belanda pada tahun 1920-an. Di era tersebut, Moh Hatta dengan Perhimpunan Indonesia (PI) mulai mengembangkan ide tentang kemerdekaan dan anti-kolonialisme. Selain itu, Tan Malaka menulis sebuah esai Naar de Republiek Indonesia menjadi cikal-bakal negara Indonesia.

Di tanah air, pemuda juga melakukan perjuangan bawah tanah dengan membentuk kelompok-kelompok politik seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Jong Java dan lain-lain, yang dipelopori oleh kaum terpelajar lulusan STOVIA. Namun, sepanjang 1920-1940 awal, perjuangan pemuda masih sangat terfragmentasi ke dalam tiga sumbu utama yaitu Nasionalisme, Islamisme, dan Komunisme.

Melemahnya situasi internal Belanda karena serangan oleh Nazi Jerman mempermudah pendudukan Jepang di Indonesia. Wajib militer Jepang dan pengajaran melalui pembentukan kelompok PETA, Heiho, Keibodan, Seinendanlah yang membantu mempersenjatai dek 3. Selain itu, Soekarno yang menjadi alat propaganda Jepang juga muncul sebagai simbol persatuan dan kemerdekaan Indonesia yang terus diperjuangkan dan berujung pada proklamasi tahun 1945. Para pemuda juga terus berjuang selama Agresi Militer Belanda I dan II, serta transisi pemindahan kekuasaan pada akhir tahun 1959.

Baca juga:

Perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan anak muda, dan walaupun jarang diperlihatkan, perempuan muda juga terlibat dalam mempertahankan kedaulatan bangsa. Van Reybrouck berhasil memberikan panggung bagi para perempuan yang namanya tidak pernah muncul di buku sejarah kita seperti Murtini Pendit yang ikut bergabung menjadi anggota Palang Merah Internasional (Red Cross) serta Sintha Melati yang merupakan anggota kelompok pemuda.

Di samping itu, buku ini juga menceritakan hal-hal yang mungkin dianggap terlalu kontroversial untuk muncul di buku sejarah: kekejaman perang. Selama ini, kita dibiasakan melihat sejarah dari kacamata nasionalisme yang meromantisasikan perjuangan para pemuda di masa perang. Pembantaian seluruh desa, mutilasi, penyiksaan interogasi, dan pemerkosaan—bukan hanya dilakukan oleh Jepang dan Belanda, namun semua pihak termasuk kaum pemuda yang saat itu juga terlibat dalam perang kemerdekaan. Deskripsi yang sangat grafis datang dari interview yang dilakukan Van Reybrouck dengan para veteran perang, yang saat ini sebagian besar masih memendam trauma mendalam atas apa yang mereka alami.

Konferensi Asia-Afrika dan Efek Domino Dekolonialisme

Menurut saya pribadi, bagian terbaik dari buku ini adalah saat memasuki pembabakan setelah proklamasi kemerdekaan. Layaknya membaca novel fiksi di mana tokoh utamanya mengalami kemalangan di awal cerita, bagian ini bisa dibilang “revenge era” untuk Indonesia. Banyak progress yang diceritakan mulai dari diplomasi Indonesia ke negara-negara tetangga, Konferensi Meja Bundar, kedekatan Indonesia dengan India, sampai pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 24 April 1955. Konferensi ini merupakan yang pertama kali negara-negara di Asia dan Afrika mendapatkan kesempatan untuk membuat panggung mereka sendiri tanpa campur tangan Barat. Van Reybrouck berargumen bahwa selain menjadi cikal-bakal gerakan non-blok, konferensi ini adalah pemicu dekolonisasi yang terjadi di seluruh wilayah Afrika dan Asia pasca Perang Dunia II.

Dia juga berpendapat bahwa konferensi Bandung berkontribusi terhadap pembentukan NATO. Menurutnya, imperialis Eropa merasa terancam dengan negara-negara yang ingin memerdekakan diri. Amerika Serikat menganggap konferensi ini bukan upaya dekolonisasi melainkan ditunggangi oleh komunis Rusia dan Tiongkok. Pada akhirnya Amerika pun memutuskan untuk membentuk SEATO karena merasa posisinya di Asia terancam selama perang dingin. Hal ini juga berujung pada genosida massal Komunis Indonesia, perang proxy pertama yang ditunggangi CIA.

Indonesia menjadi titik berkumpulnya para pemimpin dunia ketiga untuk melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Perjuangan anak bangsa memberikan inspirasi bagi bangsa lain yang menjadi korban penjajahan untuk mulai menggaungkan lagu kemerdekaan. Walaupun saat ini posisi negara kita tidak terlalu kuat di mata dunia, sejarah membuktikan bahwa revolusi politik dunia dimulai di Indonesia.

Bagi saya, buku ini sangat berkesan dan memberikan pengetahuan revolusi yang lebih bernuansa. Terlebih karena saya membacanya sebagai pelajar Indonesia yang tinggal di Belanda. Jika tertarik membaca non-fiksi sejarah, buku ini bisa jadi bacaan ‘berbobot’ di kala senggang. Versi Bahasa Inggris cukup mudah diikuti karena gaya bahasa yang ditulis dengan perspektif orang pertama, seperti catatan perjalanan. Semoga segera diterbitkan versi terjemahannya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Amalia Andini
Amalia Andini I study for a living

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email