Saya tumbuh dengan dua realitas: Indonesia adalah tanah air tempat saya lahir dan Jerman adalah tempat saya dibesarkan. Sejak kecil, saya melihat bagaimana paspor bisa menjadi batasan yang menentukan nasib seseorang. Saya masih memegang paspor Indonesia, dan saya tahu betul bagaimana sulitnya mobilitas global dibandingkan dengan mereka yang memiliki paspor Jerman, Prancis, atau negara-negara lain yang lebih “diakui”.
Fenomena brain drain—fenomena ketika seseorang dengan keterampilan atau pendidikan tinggi dari suatu negara pindah ke negara lain—marak dilakukan oleh WNI. Tak sedikit WNI berusia produktif (25-35 tahun) memilih bekerja di luar negeri dan bahkan mengganti kewarganegaraan. Hal ini tidak semata-mata soal gaji atau fasilitas, tapi juga karena sistem global yang masih membedakan hak seseorang berdasarkan asal negaranya. Mengapa paspor tertentu bisa membuka hampir semua pintu, sementara yang lain justru menjadi hambatan dalam hidup seseorang?
Paspor dan Diskriminasi
Secara ideal, tidak seharusnya paspor menentukan hak dan kesempatan seseorang. Semua manusia harusnya memiliki kebebasan yang sama untuk bekerja, belajar, dan hidup di mana saja. Tapi realitanya, sistem dunia saat ini masih sangat diskriminatif.
Indeks kekuatan paspor global sudah menjadi alat eksplisit untuk menunjukkan ketimpangan ini. Paspor Jepang, Singapura, atau Jerman bisa masuk ke lebih dari 190 negara tanpa visa. Sementara itu, paspor Indonesia berada jauh di bawah, dengan akses terbatas yang sering kali membuat pemegangnya harus melalui prosedur rumit hanya untuk bisa bepergian, apalagi menetap.
Baca juga:
Ketika rekan-rekan saya yang memiliki paspor Jerman bisa dengan mudah berpindah negara untuk pekerjaan, pendidikan, atau hanya sekedar plesiran, saya melihat bagaimana WNI harus menghadapi lapisan-lapisan administrasi, wawancara visa yang sering kali bersifat subjektif, dan berbagai birokrasi yang melelahkan. Ini bukan sekadar persoalan teknis; ini adalah bentuk nyata dari sistem yang masih menganggap bahwa mobilitas adalah hak istimewa bagi beberapa negara, bukan hak dasar setiap manusia.
Brain Drain: Pilihan atau Keterpaksaan
Ketika banyak orang Indonesia akhirnya memutuskan untuk pindah ke luar negeri dan mengganti kewarganegaraan, apakah itu benar-benar pilihan bebas? Atau justru sistem global yang mendorong mereka untuk mengambil keputusan itu?
Saya sendiri masih memilih untuk tetap menjadi WNI, bukan karena saya tidak sadar akan keterbatasan paspor saya, tapi karena saya percaya bahwa identitas seharusnya tidak bergantung pada selembar dokumen. Namun, saya juga tidak bisa menyalahkan mereka yang memilih paspor lain demi mendapatkan kebebasan yang seharusnya mereka miliki sejak awal.
Banyak dari mereka yang berpindah kewarganegaraan bukan karena ingin “membelot” dari Indonesia, tetapi karena sistem dunia memaksa mereka untuk melakukannya jika mereka ingin hidup dengan kesempatan yang lebih setara. Seorang profesional Indonesia dengan paspor Belanda akan memiliki peluang kerja yang jauh lebih luas dibandingkan jika ia tetap menggunakan paspor Indonesia. Ini bukan karena mereka kurang kompeten sebagai WNI, tetapi karena paspor mereka masih dianggap sebagai “beban” dalam sistem global yang bias.
Negara, Diaspora, dan Ilusi Nasionalisme
Satu hal yang sering kali mengganjal adalah bagaimana pemerintah Indonesia memperlakukan diaspora. Alih-alih mempermudah mereka untuk tetap terhubung dengan tanah air, negara justru sering kali membuat segalanya lebih sulit.
Indonesia masih menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga siapa pun yang mengganti paspornya dianggap melepaskan identitasnya sebagai WNI. Ini berbeda dengan negara-negara seperti India atau Filipina, yang memiliki kebijakan khusus bagi diaspora mereka agar tetap bisa memiliki hak di tanah air.
Yang lebih ironis, ketika ada orang Indonesia yang sukses di luar negeri, pemerintah sering merasa bangga mengklaimnya sebagai “prestasi bangsa,” tetapi tanpa menawarkan jalur konkret agar mereka tetap bisa berkontribusi untuk Indonesia. Ada ilusi bahwa nasionalisme berarti harus tetap tinggal di tanah air, padahal realitanya, banyak diaspora ingin tetap berkontribusi tetapi tidak diberikan ruang untuk melakukannya.
Dunia Tanpa Batas, Apa Memungkinkan?
Jika kita berpikir lebih jauh, konsep paspor sebagai alat pembatas ini sebenarnya sudah usang. Dunia semakin terhubung, dan seharusnya identitas seseorang tidak ditentukan oleh dokumen yang mereka pegang.
Bayangkan dunia di mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berpindah, bekerja, dan menetap di mana pun tanpa diskriminasi berbasis negara asal. Tentu, ini terdengar utopis dalam sistem politik global saat ini, tetapi bukan berarti mustahil.
Baca juga:
Beberapa langkah bisa dilakukan untuk menuju ke sana. Pertama, dengan mendorong kebijakan visa yang lebih adil, bukan berdasarkan “kekuatan ekonomi negara,” tetapi pada prinsip hak asasi manusia. Kedua, menghapus diskriminasi berbasis paspor dalam dunia kerja dan pendidikan agar seseorang bisa dinilai berdasarkan kemampuan, bukan asal negaranya. Ketiga, mempermudah sistem kewarganegaraan ganda, agar orang tidak dipaksa memilih antara identitas mereka dan kesempatan yang lebih luas.
Dunia yang ideal bukanlah dunia tanpa negara, tetapi dunia di mana kewarganegaraan bukan lagi faktor yang menentukan nasib seseorang. Brain drain hanyalah efek samping dari sistem yang masih mendikte siapa yang boleh mendapatkan kesempatan lebih banyak dan siapa yang harus terus berjuang untuk sekadar mendapatkan hak yang sama.
Mengapa Saya Akan Tetap Memilih Menjadi WNI
Saya masih WNI, dan saya memilih untuk tetap demikian. Bukan karena saya menutup mata terhadap keterbatasan yang datang dengan paspor Indonesia, tetapi karena saya percaya bahwa kewarganegaraan tidak seharusnya menjadi alat pembatas dalam hidup seseorang.
Saya memilih untuk mempertahankan idealisme saya—bahwa identitas tidak harus dikorbankan demi mobilitas, dan bahwa paspor seharusnya tidak menentukan nilai atau peluang seseorang. Saya tinggal dan berkarya di Jerman, tetapi itu tidak berarti saya harus melepaskan bagian dari diri saya yang berasal dari Indonesia.
Banyak orang mungkin beranggapan bahwa dengan tetap memegang paspor Indonesia, saya membuat hidup saya lebih sulit. Namun, bagi saya keputusan ini adalah bentuk perlawanan kecil terhadap sistem dunia yang masih tidak adil.
Selama saya masih bisa memilih, saya akan mempertahankan kewarganegaraan saya sebagai pernyataan bahwa identitas tidak seharusnya ditentukan oleh selembar dokumen, sebab pada akhirnya kontribusi seseorang tidak seharusnya diukur dari di mana mereka tinggal atau kewarganegaraan apa yang mereka pegang, tetapi dari bagaimana mereka berkarya, berkontribusi, dan tetap terhubung dengan akar mereka—tanpa harus tunduk pada batasan yang seharusnya sudah usang.
Editor: Prihandini N