Deus Providebit.

Gatal

Elisabeth Ika

4 min read

Ibu bilang aku mengidap alergi dingin sejak kecil. Maka, aku selalu dibiasakan mengenakan jaket tebal, syal, bahkan di saat musim kemarau sekalipun. Tak jarang teman-temanku memandangku aneh sebab kerap mengenakan pakaian hangat di siang bolong. Sebab, kalau tidak begitu, Ibu akan mengomel dan memarahiku.

Ibulah yang membiasakanku mengenakan baju-baju hangat dan tebal itu. Ia bilang, ia tidak mau aku terkena gatal-gatal dan kesakitan. Ibu juga melarangku keluar rumah jika musim penghujan. Kalau terpaksa keluar, aku akan diantar menggunakan mobil dan dijemput kemudian. Mandi pun aku selalu memakai air hangat, Ibu memasang water heater untukku. Pokoknya, Ibu yang mengurus segala hal demi menjagaku dari alergi sialan itu.

Begitu aku beranjak dewasa, kebiasaan itu tidak lantas hilang begitu saja. Maka, aku memilih pekerjaan yang tidak berada di dalam ruangan ber-AC. Aku menjadi seorang staf gudang di sebuah perusahaan. Gudang tidak memerlukan AC, bahkan cenderung panas dan pengap. Maka aku lebih merasa aman dari gatal.

Suatu ketika, sepulang bekerja, aku mampir di sebuah rumah makan untuk mengisi perut karena lembur membuatku terlambat makan malam. Dengan mengenakan syal dan jaket tebal, aku memesan nasi goreng hongkong dan jeruk panas. Oh, aku juga menghindari es karena aku takut gatal-gatal akan datang karena serangan dingin yang diakibatkan oleh benda itu.

“Permisi, apa bangku ini kosong?”

Aku mendongak kala suara seorang perempuan terdengar olehku. “Ada saya,” kataku.

“Ah, kebetulan semua meja sedang penuh. Apakah Anda keberatan kalau mesti berbagi meja dengan saya?” tanyanya, tanpa basa-basi.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang tak kudapati meja kosong sama sekali. Maka, aku mempersilakan perempuan itu duduk di meja yang sama denganku. Setelah mengucapkan terima kasih, ia melepas jaketnya, menaruhnya di bangku, kemudian tersenyum kepadaku. Kalau bisa kukatakan, senyumnya manis sekali. Ia mengajakku mengobrol lebih dulu sembari menunggu makanan yang dipesan datang.

Namanya Bunga. Ia seorang kasir di minimarket depan rumah makan. Katanya ia habis bekerja dan merasa kelaparan, maka ia menyempatkan datang ke sini. Beruntung sekali aku mau berbagi meja, sebab katanya ia belum makan sejak siang, dan tidak tahan jika harus mengantre menunggu meja kosong tersedia untuknya.

Setelah menandaskan nasi goreng di piring dan segelas jeruk panas, aku undur diri. Namun, dalam hatiku, aku ingin bertandang lagi untuk sekadar memandang wajah manis Bunga. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Keesokan harinya, sepulang bekerja aku menghampiri minimarket tempat Bunga bekerja. Begitu terus hampir setiap hari aku mengunjungi Bunga. Hingga kami lebih dekat dan dekat dan dekat sekali.

Hingga suatu ketika, saat aku mengajaknya berjalan-jalan di Minggu siang, ia menanyakan kenapa aku selalu mengenakan pakaian tebal kendati cuaca terik menyengat. Maka aku menceritakan tentang alergi yang kuidap. Sedetik, dua detik, perempuan itu kemudian tersenyum kepadaku.

“Hari ini cuaca panas sekali, jadi kurasa kau tidak perlu mengenakan jaket tebal itu.”

Aku mengelap keringat yang mengucur di dahi. Memang hari ini cuaca sangat panas sekali, sampai-sampai aku berkeringat sekujur badan. Meski aku merasa ragu, perlahan-lahan aku melepaskan jaket dan syal yang melingkar di leherku.

Sedetik, dua detik, lima detik, aku tidak merasakan gatal-gatal. Maka aku menyimpan jaket dan syal ke dalam tas ransel yang kubawa. Kemudian, aku dan Bunga melanjutkan jalan-jalan di taman kota, di bawah pepohonan rindang.

Kira-kira pukul empat sore, setelah kami menghabiskan waktu di kedai kopi, aku mengantar Bunga pulang ke rumahnya. Masih tak kukenakan jaket dan syal, kendati begitu aku tidak merasa gatal-gatal.

Aku pulang hanya dengan kaus dan celana yang menempel di badan. Hal itu membuat ibuku bertanya-tanya kenapa aku melepas jaket dan syal. Perempuan setengah baya itu mengomel dan mengatakan aku bisa gatal-gatal dan tersiksa karena kedinginan. Maka, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku membantah ucapan ibuku. Sebab aku memang tidak merasakan gatal-gatal di badan saat aku melepas jaket dan syal.

“Mengapa begitu beranjak dewasa, kau berani membantah ucapan ibumu,” kata Ibu, dengan raut muka kecewanya. “Jangan seperti bapakmu yang tidak pernah mau mendengarkan ucapanku. Kamu bisa mati kalau begitu.”

Aku pun enggan memanjangkan perkara. Aku meminta maaf karena sudah membuat sosok satu-satunya yang membesarkanku dengan duka dan air mata itu kecewa. Aku pun berjalan menuju kamar, meninggalkan ibuku yang merajut di sofa ruang teve.

Kututup pintu, kemudian kubanting badan ke ranjang. Seketika ucapan ibuku yang menyinggung Bapak kembali bergema seperti suara-suara kelelawar di gua. Ibuku adalah orangtua tunggal selepas bapakku tiada saat aku berusia satu tahun. Yang kutahu, dari cerita ibuku, Almarhum Bapak meninggal karena sebuah kecelakaan karena tidak mengindahkan peringatan Ibu. Pokoknya, selama hidupku, ibuku telah berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami.

Namun, perkara gatal, aku mulai meragukan perkara mengenakan jaket tebal dan syal di tengah siang hari. Aku bisa saja merasa gatal kala dingin menyerang, tapi saat terik mentari memanggang diri, tentu aku tidak akan merasakan kedinginan, persis seperti yang dibilang Bunga tadi.

Maka, demi mengurai rasa penasaranku, aku merancang rencana. Aku akan tetap mengenakan jaket dan syal saat keluar rumah, tetapi mencopotnya ketika tiba di gudang atau di tempat di mana aku tidak bersama ibuku. Aku hanya ingin mengetes ketahanan diri, barangkali apa yang terjadi dengan Bunga tadi terjadi lagi, dan aku tidak perlu jaket tebal dan syal di siang terik.

Setiap kali aku bersama Bunga, aku tidak pernah mengenakan lagi jaket tebal dan syal. Meski begitu, tidak kurasakan gatal-gatal. Mungkin karena kami keluar saat siang terik. Hingga suatu hari untuk pertama kalinya, aku dan Bunga bertemu di malam hari. Kami berencana menonton film di bioskop. Karena malam hari, tentu saja aku mengenakan jaket dan syal saat keluar rumah. Ibuku bertanya hendak ke mana aku pergi, maka kujawab aku ada urusan di gudang. Aku belum siap mengabarkan kedekatanku dengan Bunga kepada ibuku.

Sampai di bioskop udara dingin sekali, padahal aku tidak melepas jaket dan syal. Namun, aku tidak merasakan gatal-gatal. Aku menikmati film dan popcorn yang kubeli bersama Bunga tadi.

Selepas menonton, kami makan di sebuah restoran sushi. AC yang disetel pun cukup dingin, tapi aku sama sekali tidak merasakan gatal. Justru Bunga yang kini merasa kedinginan. Maka sebagai seorang pria, aku melepas jaketku dan mengenakannya kepada Bunga.

“Bagaimana kalau kau kedinginan dan gatal-gatal?” tanya Bunga, keheranan.

Aku menggeleng. “Sejak tadi aku tidak merasa gatal. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu.”

“Apakah alergimu sudah sembuh?”

Aku mengangkat bahu. “Barangkali.”

Kami pun menikmati sushi sambil berbincang tentang masa depan, hingga kemudian aku menceletukkan niatan kalau ingin memperkenalkan Bunga kepada ibuku. Dengan senang hati Bunga mengiyakan ajakanku bertandang ke rumah minggu depan. Dan aku pun tak sabar ingin segera mengungkapkan niatku untuk semakin membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius lagi.

Hari demi hari kulalui dengan penuh sukacita. Aku tidak pernah merasa gatal-gatal sejak aku bersama Bunga. Hingga tibalah hari di mana aku membawa Bunga pulang untuk bertemu ibuku. Bunga membawakan puding coklat dengan fla vanila untuk ibuku.

Namun, bukannya berterima kasih, Ibu malah meminta memberikan puding itu kepada pengurus rumah kami dengan dalih kalau kami tidak tidak makan sesuatu yang dingin karena alergiku. Maka, aku membantah ucapan Ibu. Aku katakan aku sudah tidak alergi lagi. Aku melepas jaket dan syalku, aku mengatakan aku tidak gatal-gatal saat terasa kedinginan. Ibu terbelalak mendengar apa yang kubicarakan itu.

Sikap itu terasa sekali membentengiku. Seolah Bunga adalah peri salju yang membekukan dan mematikanku. Aku tidak suka cara Ibu menatap dan bersikap kepada Bunga. Maka, saat aku mengantar pulang Bunga, aku meminta maaf kepada perempuanku itu atas sikap ibuku.

“Ibumu tidak menyukaiku,” kata Bunga begitu kami sampai di muka rumahnya. “Jadi sebaiknya, kita sudahi saja hubungan ini sebelum lebih lama lagi.”

“Aku akan memperjuangkanmu,” ucapku, meyakinkan Bunga.

Namun, sayangnya Bunga menggeleng dengan tegas. “Restu seorang ibu buatku adalah yang utama. Aku tidak mau membuat kau menjadi anak durhaka dengan menentang keinginan ibumu sendiri.”

Setelah mengatakan itu, Bunga keluar dari mobilku. Aku kembali ke rumah dengan perasaan patah hati yang teramat.

Malam itu, malam di mana Bunga memutuskanku, hujan turun dengan teramat deras. Udara dingin menekuk badan. Aku memejam, lalu melepas jaket dan syal yang melingkar di leher. Aku juga melepas celana panjangku dan menggantinya dengan celana pendek, juga melepas kaus yang melekati tubuhku.

Dengan langkah mantap, aku keluar dari rumah dan mandi hujan. Melihat apa yang kulakukan, ibuku berteriak-teriak sambil mencari di mana payung besar yang kami miliki.

“Apa kau mau mati?!” bentak Ibuku, sambil menarikku kembali ke dalam rumah.

“Aku hanya ingin bilang kalau aku tidak gatal-gatal sejak aku bersama Bunga,” ucapku, sambil menggigil kedinginan.

Aku masuk ke dalam rumah dengan tubuh basah kuyup. Lekas-lekas aku mandi dan mengeringkan badan. Namun, tidak kurasakan gatal-gatal itu datang.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Elisabeth Ika
Elisabeth Ika Deus Providebit.

One Reply to “Gatal”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email