Dosen muda di kota mendoan yang suka minum kopi, tapi bukan ahli kopi. Pernah tinggal di Surabaya sebelum ke Purwokerto.

Desain Paspor Baru: Masih Perlukah Negara Memajang Simbol?

Kholifatus Saadah

2 min read

Pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-79, Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderal Imigrasi meluncurkan desain paspor baru. Kebaruan yang ditawarkan adalah warna desain paspor. Paspor WNI yang semula berwarna hijau kebiruan sekarang berwarna merah dengan nuansa putih.

Sebelum kena reshuffle, mantan Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan bahwa penggantian warna paspor tersebut dilandasi alasan filosofis. Warna merah-putih paspor baru sejalan dengan semangat kemerdekaan Indonesia dan waktu peluncurannya bertepatan dengan Hari Kemerdekaan.

Perubahan warna paspor Indonesia merupakan bentuk simbolisasi negara dalam kehidupan sehari-hari warganya. Sudah banyak tulisan-tulisan ilmiah yang menjelaskan mengenai korelasi antara simbolisasi dan nasionalisme. Beberapa menekankan bahwa simbolisasi merupakan cara yang tepat untuk menggambarkan rasa kepemilikan atau we feeling pada warga negara terhadap negara masing-masing.

Rasa kepemilikan warga negara ini penting bagi negara yang baru merdeka atau sedang menyusun identitas nasionalnya untuk berkiprah di dunia internasional. Akan tetapi, bagi negara yang sudah lama terbentuk, masih perlukah we feeling diupayakan terus menerus melalui simbolisme yang gamblang?

Baca juga:

Dalam tulisan berjudul National Symbols as Agents of Psychological and Social Change, David A. Butz mengatakan bahwa simbol nasional adalah upaya pemerintah untuk membuat warga negaranya terus mengingat nationhood mereka. Di negara-negara yang secara identitas dan simbol sudah mapan—bisa pula diartikan sudah merdeka dalam waktu yang lama—kehadiran simbol sudah cukup luas. Bahkan, bisa jadi secara otomatis warga negara ingat mengenai simbol negara sehingga simbol itu tak perlu terus menerus disodorkan ke wajah mereka. Bisa jadi pula karena sudah otomatis mengingat simbol negara, warga negara tidak lagi perlu membayangkan makna penggunaan simbol.

Kajian-kajian mengenai masyarakat sipil menemukan bahwa masyarakat sipil dan gerakan sosial memanfaatkan politik simbolisme untuk membuat dunia tahu mengenai ide yang sedang mereka perjuangkan. Namun, masyarakat sipil masih membutuhkan validasi bagi ide mereka, berbeda dengan negara yang mempunyai kedaulatan dan bisa menancapkan ide secara searah.

Kita kembali ke masa lalu ketika Sukarno menjadi presiden pertama Indonesia. Ada banyak upaya simbolisasi yang dilakukan oleh beliau. Herbert Feith dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Political Symbols and Their Wielders menyebut bahwa aktivitas yang berkaitan dengan simbol dari pemerintah adalah hal yang sangat penting dilakukan oleh negara baru. Aktivitas simbolis akan membantu pemerintah untuk mendapatkan legitimasinya, terlebih jika sebuah negara ingin membangun identitas nasionalnya di tengah dinamika hubungan internasional.

Terdengar masuk akal apabila sebuah negara fokus dalam hal-hal berbau simbolisme ketika negara tersebut tergolong baru atau termasuk kategori negara kecil. Sebab, simbolisme berkaitan dengan “wajah” mereka di mata dunia. Sebaliknya, berfokus pada simbolisme tidak seharusnya menjadi hal yang urgen bagi negara dengan identitas nasional yang sudah mapan. Negara yang sudah mapan tidak perlu terus menerus menghadirkan simbol dalam kehidupan sehari-hari warganya.

Kembali lagi pada masalah paspor baru Indonesia. Menurut informasi yang saya himpun dari pemberitaan media massa dan akun Instagram Ditjen Imigrasi, penjelasan mengenai penggantian desain paspor lebih menekankan pada tampilannya, bukan fungsinya. Memang ada penambahan fitur keamanan berstandar ICAO, tetapi apakah paspor baru ini harus ganti warna? Dalam standar ICAO, tidak dituliskan aturan resmi mengenai pilihan warna sampul. Namun, standar ICAO memang mengatur mengenai jenis dan ukuran huruf agar bisa terbaca di Machine Readable Travel Document (MRTD).

Baca juga:

Indonesia bukanlah negara kecil—bahkan, dalam konteks tertentu, Indonesia sudah masuk dalam kategori negara middle power. Idealnya, Indonesia tidak perlu lagi membicarakan mengenai simbol untuk dipahami oleh warga negaranya maupun publik internasional. 

Sebagai negara middle power, ada banyak pekerjaan rumah yang lebih urgen bagi Indonesia ketimbang mengganti tampilan paspor. Ingat, menjadi negara middle power berarti berada dalam kategori yang sama dengan Australia, Kanada, dan Korea Selatan di mata publik internasional. Seharusnya, Indonesia selevel dengan negara-negara itu, bukan? Namun, dilihat dari kekuatan paspornya saja, Indonesia kalah jauh bila dibandingkan dengan negara-negara itu.

Jika dikaitkan dengan sense of belonging dan nasionalisme, sepertinya masyarakat lebih menunggu paspor Indonesia bertambah kekuatannya dibanding berubah warna dan desain yang terinspirasi 33 motif kain khas Nusantara. Apakah kamu termasuk warga negara Indonesia yang setuju dengan aspirasi itu?

 

Editor: Emma Amelia

Kholifatus Saadah
Kholifatus Saadah Dosen muda di kota mendoan yang suka minum kopi, tapi bukan ahli kopi. Pernah tinggal di Surabaya sebelum ke Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email