Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Menuju Internasionalisme

Adrian Aulia Rahman

3 min read

Bertempat di Balai Agung Rakyat yang megah, Xi Jinping mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya di salinan konstitusi China, lalu mengikrarkan sumpah jabatan sebagai presiden untuk kali ketiga. Setelah mengamankan posisinya sebagai Ketua Partai Komunis China (PKC) pada Oktober lalu, pengukuhannya sebagai presiden untuk periode ketiga dilegitimasi oleh 2.952 suara delegasi yang hadir. Artinya, Xi terpilih secara aklamasi. 

Tidak tergoyahkannya Xi di tampuk tertinggi kepemimpinan China erat dengan besar dan kuatnya pengaruh yang dimilikinya. Paling tidak, dalam satu dekade terakhir, figur Xi menjelma menjadi seorang great politician yang membawa mimpi-mimpi hegemonik China di pundaknya. Media Guardian menyebut bahwa Xi menjadi orang paling berkuasa di Tiongkok pasca Mao Zedong. Oleh karenanya, tidak mengherankan apabila pengaruh kekuasaan yang dimilikinya memudahkan Xi untuk memperpanjang kekuasaannya, terlebih pasca dihapuskannya batas masa jabatan presiden pada 2018 lalu. 

Dalam hal politik luar negeri, tentu saja Xi akan melanjutkan kebijakan-kebijakan terdahulu yang sarat akan persaingan sengit dengan Amerika Serikat, terutama di kawasan Asia-Pasifik. Motivasinya ialah menjadikan China negara superpower yang superior, baik di kawasan maupun di dunia. 

Baca juga:

Saya mencoba untuk mengetengahkan pertanyaan apakah konflik kepentingan antara AS-China bisa berakhir dan apakah tatanan politik dunia akan menjadi tatanan politik nirkonflik.

Benturan Kepentingan Nasional AS-China 

Dalam tulisannya yang berjudul The Unipolar Moment yang terbit di Foreign Affairs, Charles Krauthammer menafsirkan politik dunia pasca perang dingin sebagai sebuah momen dunia unipolar. Pendapat Krauthammer ini lazim pada saat itu, mengingat Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan hegemonik dunia satu-satunya pasca runtuhnya Uni Soviet. Tesis Krauthammer ini sejalan dengan tesis terkenal ilmuwan politik Francis Fukuyama tentang akhir sejarah: kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal adalah sesuatu yang tak terbantahkan.

Namun, tesis Krauthammer tentang momen dunia unipolar maupun tesis Fukuyama tentang akhir sejarah lantas dipatahkan oleh bangkitnya sebuah kekuatan baru di Asia, yakni China. Kebangkitan China sebagai kekuatan adidaya baru di Asia membuat AS terancam secara strategis. Samuel Huntington menerangkan bahwa persoalan utama konflik AS-China adalah perbedaan fundamental terkait dengan siapakah yang akan menjadi balance of power di Asia Timur dan Asia secara umum. Artinya, kepentingan strategis di Asia menjadi sebab utama konflik China-AS.

Memasuki abad ke-21, dunia masih berputar di pusaran konflik Timur dan Barat—Amerika dan China. Di saat Amerika Serikat ingin mempertahankan status quo sebagai kekuatan hegemoni dunia, sang naga dari timur, meminjam istilah ahli Asia Timur, Michael Wicaksono, sedang menggeliat bangun dari tidurnya dan siap memorak-porandakan status quo tersebut. Benturan kepentingan inilah kemudian yang menyebabkan Asia, dalam cakupannya yang lebih luas lagi, kawasan Asia-Pasifik, menjadi panggung teater perebutan hegemoni kedua negara adidaya tersebut.

Kebangkitan China membuat AS harus mengubah arah kebijakan politik luar negerinya untuk difokuskan di kawasan Asia Pasifik. Sebagaimana dijelaskan oleh Vanilla Planifolia dalam artikelnya yang berjudul Strategi Rebalancing Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik, perubahan strategis kebijakan Amerika yang difokuskan di Asia Pasifik dilandasi oleh ide Pivot to Asia.

Pivot to Asia secara strategis berarti konsentrasi kebijakan politik luar negeri AS ke kawasan Asia Pasifik. Secara politis, aksi ini dapat dipahami sebagai usaha untuk menahan laju pengaruh China di kawasan tersebut. Hal ini tentu sejalan dengan pendapat Huntington tentang balance of power di kawasan Asia yang menjadi penyebab konflik kedua negara.

Melihat realita yang ada, tidak berlebihan apabila rivalitas AS dan China menjadi ikon politik internasional di abad ke-21. Ketegangan yang belum lama terjadi adalah ditemukannya balon mata-mata China di langit AS.

Lantas, timbul pertanyaan, sampai kapan dan dalam batasan apa upaya saling serang dalam berbagai bentuknya, serta perebutan hegemoni politik kedua negara akan usai? Untuk menjawab ini dan menjawab setiap konflik antarbangsa yang ada di dunia saat ini, penghapusan konsepsi negara-bangsa dan nasionalismenya adalah solusi yang menurut saya tepat.

Menggugat Nasionalisme

Saya berpendapat bahwa konflik yang terjadi antara China dan AS, juga konflik antarbangsa lainnya di dunia, terkait dengan nasionalisme. Nasionalisme adalah penyebab utama konflik antar bangsa, paling tidak sejak tercetusnya konsepsi tentang negara-bangsa (nation-state). 

Nasionalisme muncul dari rasa kemelekatan sosiologis dan psikologis antara seorang individu dengan konsepsi imajinernya tentang bangsa. Bangsa dan negara sejatinya adalah suatu konsepsi imajiner yang secara tidak langsung mengkotak-kotakkan dunia pada suatu pembagian wilayah teritorial. Paham tentang bangsa dan kebangsaan secara ideologis muncul pasca peristiwa Revolusi Prancis 1789. Bangsa dan negara lantas melekat menjadi suatu identitas, sebagaimana nama, etnis, agama, dan aspek primordial lainnya.

Konsepsi tentang negara-bangsa menghasilkan nasionalisme, yang darinya muncul kepentingan nasional. Kepentingan nasional lekat dengan pemenuhan hasrat politik, ekonomi, dan budaya suatu negara-bangsa. Sering kali, dalam pemenuhan kepentingan nasional yang berangkat dari nasionalisme ini, negara-negara siap melakukan apa pun, termasuk berperang dan menjajah. Tidak heran apabila para pemikir posmodern, sebagaimana yang ditulis Yuval Noah Harari, menganggap nasionalisme adalah wabah yang menyebabkan perang, penindasan, dan imperialisme.

Terpilihnya Xi Jinping tentu memengaruhi bagaimana kepentingan politik China ke depan. Dalam sistem politik sentralistik di China, figur Xi adalah manifestasi kepentingan China itu sendiri. Artinya, seluruh kebijakan Xi adalah upaya mewujudkan kepentingan China. Hal ini pun dipantik oleh semangat dan heroisme kebangsaan.

Bukan hanya konflik AS-China, konflik Rusia-Ukraina pun penyebab utamanya adalah nasionalisme. Kepentingan nasional suatu negara membuat upaya apa pun untuk mencapainya dianggap sah, meski harus perang sekalipun. Perang Dunia 1 dan 2 dapat dijadikan preseden bagaimana nasionalisme menjadi sebab utama konflik paling berdarah tersebut.

Lantas apabila konsepsi tentang negara-bangsa dan nasionalisme dihapuskan, ide apa yang bisa menggantikannya? Internasionalisme bisa menjadi jawaban. Namun, hampir pasti, banyak orang menganggap konsepsi internasionalis tentang penyatuan dunia mustahil dan utopis.

Saya mungkin akan berpikiran serupa jika konsepsi penyatuan dunia diangankan di abad 19 atau abad 20 awal. Namun, saat ini, ketika tatanan ekonomi dan perdagangan internasional sudah begitu kuat terintegrasi, serta konektivitas maya yang menghasilkan keterhubungan budaya tak terhindarkan, konsepsi internasionalisme tentang penyatuan dunia bukan lagi sesuatu yang mustahil.

Tulisan lain oleh Adrian Aulia Rahman:

Tentu saja ini bukan suatu dongeng yang bisa mengubah tatanan dunia dalam satu hari, satu malam. Namun, paling tidak, berdasarkan realita yang ada saat ini, konsepsi tentang penyatuan dunia tidak lagi mustahil meskipun tetap tidak mudah.

Perlu dicatat, penyatuan dunia tidak menjanjikan dunia tanpa konflik, tetapi setidaknya ia menghindarkan perang besar dengan dalih kepentingan nasional. Sebagaimana tatanan imajiner negara-bangsa dapat diwujudkan, internasionalisme dan penyatuan dunia pun bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.

 

Editor: Emma Amelia

Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran. Tartarik terhadap isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email