Bolehkah Sekali Saja Kumenangis: Kasih Sayang dan Kesehatan Mental yang Tergadaikan

Muhammad Aminullah Thohir

3 min read

Tulisan ini bukan untuk mereview film “Bolehkah Kumenangis Sekali Saja”. Saya bukan seorang sineas, tidak punya kapasitas untuk mengkritik atau sekedar mencibir film. Nonton bioskop jarang; selalu ketinggalan series yang trending; dan tidak punya akun Netflix Amazon, Disney+, atau sejenisnya. Cuma orang yang suka mengisi waktu buat nonton film kalau lagi gabut. Tapi, izinkan saya untuk tetap menuliskan pikiran yang berangkat dari film, walaupun sudah tayang beberapa bulan yang lalu.

Benang merah ceritanya, Tari (Prilly Latuconsina) punya masalah mental karena didikan ayahnya, Pras (Surya Saputra). Tari ini tidak boleh menangis sejak kecil. Ayahnya Tari seringkali melakukan kekerasan fisik ke istrinya (Dominique Sanda). Perilaku kasar ayahnya Tari semakin menjadi-jadi ketika dia kena masalah di tempat kerja yang berujung PHK. Tari yang stress karena melihat ibunya selalu diperlakukan kasar oleh ayahnya, akhirnya ikut Support Circle dan berusaha buat mengajak ibunya keluar dari rumah dan menjauh dari ayahnya.

Bagi saya, ketika nonton film ini ada dua hal yang menarik yaitu kerja dan kesehatan mental. Dua hal ini yang menjadi fokus pembahasan saya.

Mengejar Materi, Melalaikan Cinta Kasih

Kondisi sekarang, apa-apa butuh uang. Bahkan, untuk bisa kerja saja harus mengeluarkan uang dulu. Ada yang menjual tanah dan ada yang harus memberi uang dulu ke ‘orang dalam’. Kerja niatnya cari uang, malah harus mengeluarkan uang dulu. Ya begitulah, salah satu realita sekarang yang terjadi.

Realita saat ini juga tidak bisa dijauhkan dengan sistem yang ada. Sistem yang berjalan saat ini ialah kapitalisme yang berkembang secara global dengan bentuk pasar bebas atau neoliberalisme. Neoliberalisme sangat mengedepankan budaya individualisme. Kalau kata David Harvey, individualisme membuat individu harus mandiri, produktif dan tidak boleh bergantung kepada siapapun. Neoliberalisme juga memberikan pandangan bahwa kalau mau menjadi manusia yang merdeka secara penuh ya harus terus sehat, produktif, dan kaya. Kekayaan dibutuhkan untuk mempertahankan kemederkaan. Hal inilah yang membuat manusia menjadi sangat terfokus untuk mencari kekayaan.

Baca juga:

Kondisi itu juga diperlihatkan di film. Ada dua tokoh yang memperlihatkan bagaimana mereka benar-benar mengejar materi. Bahkan, sampai mengadaikan waktu kasih sayang keluarganya.

Agoy (Kristo Immanuel) menjadi tokoh awal yang menggambarkan individu yang sangat mengejar materi. Dia salah satu teman Tari di Support Circle. Alasan dia masuk ke kelompok itu karena pengalaman masa lalunya. Agoy bercerita dia sangat mencintai kamera karena dikenalkan oleh orang tuanya. Cinta terhadap kameranya sampai mengantarkan dia menjadi photographer. Agoy menghabiskan waktunya untuk bekerja memotret kesana kemari hingga tidak memberikan waktu untuk keluarganya. Lebih keras lagi, Agoy memilih menghabiskan waktu dengan kameranya dan akan memberikan uang ke orang tuanya untuk mengganti waktu atas dirinya. Namun, hal itu dia sesali ketika orang tuanya meninggal dunia. Agoy tidak dapat bertemu kembali dengan orang tuanya.

Pras, ayah Tari menjadi seorang pekerja. Tidak banyak dijelaskan bagaimana dia menghabiskan sebagain besar waktunya untuk uang. Hal yang bisa digambarkan, Pras merasa sudah berjasa karena menafkahi seluruh keluarganya. Pras merasa dia memiliki kuasa atas kehendak keluarganya, sehingga dia memiliki hak untuk kasar dan memerintah anggota keluarganya. Bagi Pras, uang sangat cukup untuk membuat keluarganya nyaman. Namun, hal tersebut salah. Istrinya Pras seringkali mendapatkan perlakuan kasar, Tari mentalnya terdampak, dan kakaknya Tari memilih kabur dari rumah karena tidak kuat atas perilaku ayahnya. Ketika Pras tau apa yang dia lakukan salah dan justru merusak mental anak-anaknya, dia juga menyesal di akhir film.

Overwork dan Stress: Keluarga yang Kena Dampaknya

Kondisi sekarang, harga apa-apa naik. Mau nikah, harga WO naik. Mau menyekolahkan anak, kehambat zonasi dan akhirnya mendaftar di sekolah swasta yang mahal. Gaji juga naik, tapi hanya sedikit. Kenaikan harga tapi gaji naiknya dikit, bikin orang makin kreatif buat memenuhi kebutuhannya. Perokok tiap akhir bulan merk rokoknya makin aneh-aneh. Para pecinta kopi sempat ngejar diskon kopi dengan menjual harganya dirinya dengan mempratekkan jurus anime yang dimodifikasi di salah satu coffe shop yang memiliki beberapa gerai toko di beberapa kota buat dapet kopi seharga 12k. Semoga video para pecinta kopi yang mengorbankan harga dirinya tidak tersebar. Tapi, yang paling umum untuk tetap memenuhi kebutuhan dirinya ya dengan kerja lembur bagai kuda.

Kerja lembur menjadi pilihan untuk mendapatkan uang lebih. Baik buat beli kopi, nikah atau memenuhi kebutuhan keluarganya. Kerja lembur pada akhirnya mengurangi waktu untuk keluarga. Menurut Karl Marx, kerja di bawah sistem kapitalisme hanya akan membuat manusia menjadi asing dari kehidupan. Selama bekerja, pekerja hanya akan mengikuti perintah dan perintah tanpa henti. Tidak hanya perintah, pekerja juga menjadi sasaran empuk kemarahan dari atasannya. Selama bekerja, pekerja melepaskan dirinya dari esensi seorang manusia. Hal ini yang bagi Karl Marx disebut Alienasi.

Untuk memenuhi kebutuhannya, mau tidak mau pekerja mengalami overwork dan berakhir stress karena burn out. Byung-Chul Han, menjelaskan di bukunya yang berjudul “Burnout Society” bahwa pekerja mengekspoitasi dirinya. Eksploitasi diri akan membuat pekerja bekerja keras untuk mendapatkan kesuksesan dan pencapaian tertentu. Apabila gagal, tetap akan bekerja bahkan hingga lelah dan depresi. Lelah dan depresi ini, melalui penelitian Milkie dan Nomaguchi yang berjudul “Out of Sync; Work and Its Impact on Family Mental Health” juga dapat berdampak ke kesehatan mental keluarganya, baik istri dan anak-anaknya, seperti yang dialami oleh Tari bersama kakak dan ibunya karena stress yang dibawa oleh ayahnya.

Baca juga:

Penutup

Ketika menonton Film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis cukup menggambarkan bagaimana anak muda saat ini mengalami masalah mental. Kondisi sistemlah yang membuat para pemuda semakin sulit menghadapi hidup. Tapi, seperti di akhir film atau bacaan, tetap ada nilai yang bisa dipetik dan diterapkan. Support Circle menjadi instrument penting untuk mendukung Tari dan teman temanya dari trauma masa lalu. Saya tidak tahu, Support Circle di film itu berbayar atau tidak. Support Circle harus diperluas dan diperbanyak yang difasitasi oleh negara melalui dinas dan kampus, agar tidak menambah beban ekonomi anak muda. Kalau berbayar, ya negara tidak peduli dengan mental anak muda. Hanya peduli uangnya saja. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Muhammad Aminullah Thohir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email