Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Menyoal Fenomena Bunuh Diri di Indonesia

Uray Andre Baharudin

2 min read

Di awal tahun 2025, berita duka tentang kasus bunuh diri seolah tidak pernah berhenti menghiasi layar televisi, media sosial, dan obrolan masyarakat. Belum lama ini, saya berbincang dengan seorang teman di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Percakapan kami yang awalnya ringan berubah serius ketika ia berkata, “Akhir-akhir ini berita bunuh diri sering banget, ya. Kok rasanya hidup makin berat buat banyak orang”. Saya terdiam. Pernyataannya sederhana, tapi langsung menusuk ke inti permasalahan yang sebenarnya sudah lama saya pikirkan.

Sebenarnya, fenomena bunuh diri di Indonesia bukanlah hal baru. Tetapi belakangan ini terasa semakin sering terjadi. Banyak faktor yang melatarbelakangi, mulai dari tekanan ekonomi, utang pinjaman online (pinjol), hingga kecanduan judi daring (judol). Hal ini tidak hanya menjadi masalah pribadi, tetapi juga menggambarkan wajah kelam masyarakat kita yang kian kompleks.

Jeratan Ekonomi dan Beban Hidup 

Dalam percakapan kami, teman saya mengungkapkan, “Pinjol itu kan mudah banget diakses, tapi begitu terjerat, susah keluar. Bunga berbunga, dikejar-kejar debt collector, ya stres lah”. Saya mengangguk, mencoba mencerna realitas ini. Di era digital, pinjol memang menjadi solusi cepat bagi mereka yang membutuhkan dana. Namun, kemudahan ini sering kali berujung pada jebakan utang yang tak berkesudahan.

Banyak kasus bunuh diri yang terjadi akibat tekanan ekonomi yang datang dari utang pinjol. Bunga yang tinggi, intimidasi dari penagih utang, hingga rasa malu karena data pribadi disebarluaskan membuat individu kehilangan kontrol atas hidupnya. Hal serupa juga terjadi pada mereka yang terjebak dalam judi daring. Berharap keberuntungan, mereka justru kehilangan segalanya, termasuk rasa percaya diri untuk terus hidup.

Baca selengkapnya:

Saya teringat sebuah kutipan dari Durkheim, seorang sosiolog, yang mengatakan bahwa bunuh diri sering kali disebabkan oleh keterputusan seseorang dari dukungan sosial dan struktur masyarakat. Dalam kasus ini, ekonomi menjadi penyebab utama keterputusan tersebut. Ketika seseorang tidak lagi memiliki jalan keluar dari masalah finansialnya, ia merasa terisolasi dan tak berdaya.

Namun, masalah ekonomi ini sebenarnya hanya permukaan. Di bawahnya, ada masalah lain yang tidak kalah penting: lemahnya literasi keuangan. Banyak orang yang terjebak dalam pinjol atau judol karena kurang memahami risiko dari pilihan tersebut. Tidak sedikit yang tergoda oleh janji manis kemudahan tanpa menyadari jebakan di baliknya.

Stigma, Isolasi, dan Ketiadaan Ruang Aman

Dalam obrolan kami, teman saya juga menyinggung soal stigma. “Kadang orang malu cerita kalau lagi susah. Takut dihakimi, takut dianggap lemah. Jadinya dipendam sendiri”. Pernyataannya itu membuat saya berpikir tentang bagaimana masyarakat kita masih memandang permasalahan mental sebagai sesuatu yang tabu.

Di Indonesia, berbicara tentang masalah mental seperti depresi atau keinginan untuk bunuh diri masih sering dianggap sebagai kelemahan pribadi atau bahkan kurangnya iman. Pandangan ini membuat banyak orang yang sedang mengalami tekanan berat enggan untuk mencari bantuan. Mereka takut dihakimi atau dicap negatif oleh lingkungannya. Akibatnya, mereka memilih untuk diam dan memendam semuanya sendiri, hingga akhirnya tidak mampu lagi menahan beban itu.

Padahal, seperti yang pernah dikatakan oleh WHO, kesehatan mental adalah bagian tak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan. Masalah kesehatan mental tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga keluarga dan komunitasnya. Namun, sayangnya, akses ke layanan kesehatan mental di Indonesia masih sangat terbatas. Ditambah lagi dengan stigma yang ada, banyak orang tidak tahu harus ke mana mencari bantuan.

Saya pun sempat berpikir, mungkin yang kita butuhkan adalah lebih banyak ruang aman, baik di keluarga, komunitas, maupun masyarakat secara luas. Ruang di mana seseorang bisa berbicara tentang perasaannya tanpa takut dihakimi. Dalam budaya kita yang cenderung kolektif, potensi untuk saling mendukung sebenarnya sangat besar. Namun, potensi ini sering kali terhalang oleh kebiasaan buruk kita yang suka mencampuri urusan orang lain tanpa benar-benar peduli.

Fenomena bunuh diri bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Ini adalah masalah yang kompleks, melibatkan berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, hingga kesehatan mental. Dalam percakapan saya dengan teman, kami sampai pada satu kesimpulan: kadang, yang dibutuhkan seseorang hanyalah tempat untuk didengar.

Baca juga:

Mengutip Albert Camus, “Dalam hidup, manusia harus mencari alasan untuk bertahan, meski dunia terasa absurd”. Mungkin, tugas kita adalah membantu orang-orang di sekitar kita menemukan alasan itu, sekecil apa pun. Dengan mendengarkan, memahami, dan memberikan dukungan, kita bisa menjadi bagian dari solusi.

Meski berat, ada harapan di tengah keputusasaan. Langkah kecil, seperti membuka percakapan atau memberikan edukasi tentang literasi keuangan dan kesehatan mental, bisa menjadi awal perubahan besar. Karena pada akhirnya, tidak ada hidup yang sepenuhnya sia-sia, selama masih ada orang yang peduli. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Uray Andre Baharudin
Uray Andre Baharudin Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email