Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun ini mengecewakan banyak pihak. Jika melihat pemberitaan di media sosial, Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo diniai menjadi sosok yang harus bertanggung jawab. Mereka secara terbuka menyampaikan penolakan terhadap tim sepak bola Israel untuk bertanding di Indonesia.
Selama ini Ganjar dianggap menjadi sosok paling ideal untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi. Akibat peristiwa penolakan ini publik akhirnya menilai jika Ganjar tidak satu jalan dengan Presiden Jokowi. Tentu hal ini berdampak pada elektabilitas Ganjar, sebab banyak pendukung Ganjar adalah pendukung Jokowi.
Baca juga:
Yuyun Andriyani, peneliti Merdeka Institute for Public Opinion Survei (MIPOS), mengatakan survei yang dilakukan MIPOS menunjukkan elektabilitas Ganjar menjadi 16, 8% pada 5 April 2023. Padahal pada survei sebelumnya di bulan November 2022, elektabilitas Ganjar adalah 19, 8%. Ini menandakan bahwa elektabilitas Ganjar menurun.
Jika kita ikuti tren di media sosial, sebenarnya tidak hanya Ganjar yang menolak tim sepak bola Israel untuk bertanding di Indonesia. Kebanyakan penolak tim Israel justru datang dari pendukung Anies Baswedan.
Meskipun Anies Baswedan diam, publik boleh melihat jika suara Anies sudah diwakilkan oleh pendukungnya. Prabowo Subianto dan Anies Baswedan tidak turut berkomentar terkait tim sepak bola Israel, dan hanya Ganjar yang bersikap menolak, alhasil publik tidak memiliki tempat untuk menaruh rasa kecewa atas pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 selain kepada Ganjar. Tidak heran jika Ganjar digebuk habis di media sosial.
Gebuk-Gebuk Ganjar dan Elektabilitas
Gebuk-gebuk Ganjar di media sosial ini cukup memengaruhi elektabilitasnya. Selain itu, MIPOS juga menyebut jika sentimen negatif terhadap Ganjar sepanjang bulan Maret-April mengalami peningkatan. Social Network Analisis Drone Emprit juga merilis sentimen negatif terhadap Ganjar meningkat hingga 57% setelah batalnya Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Kumpulan dari semua itu berhasil menerjunkan elektabilitas Ganjar hingga posisi ke-3, di bawah Anis Baswedan dengan 21,5 % dan Prabowo Subianto dengan 33,6%. Di sini Prabowo Subianto cukup menyita perhatian karena dinilai menjadi pihak yang diuntungkaan. Tren elektabilitas Prabowo Subianto naik setelah FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Artinya mayoritas pendukung Ganjar yang kecewa pindah haluan menjadi pendukung Prabowo. Hal ini menjadi wajar karena Prabowo juga mendapat endorsemen dari Presiden Jokowi. Artinya publik bisa melihat jika sekarang ini Prabowo berada di lingkaran Jokowi, sama dengan Ganjar.
Di sisi yang lain, PDIP menunjukkan sikap yang berbeda. Jika biasanya PDIP terkesan bersikap dingin-dingin hangat kepada Ganjar, kali ini seluruh kader PDIP satu gendang satu tarian membela Ganjar Pranowo. Padahal biasanya Presiden Jokowi-lah yang secara diam-diam membela Ganjar. Kali ini justru Pesiden Jokowi yang terkesan menggeser dukungan ke arah salah satu menterinya.
Membaca Pola Politik
Politik memang dinamis, tetapi selalu memiliki pola yang bisa dibaca. Suara lantang Ganjar tentang penolakan tim sepak bola Israel tentu tidak bisa dibaca hanya sebatas membela kemanusiaan dan kemerdekaan Palestina.
Tidak salah jika banyak pengamat berpendapat jika Ganjar sedang diuji loyalitasnya. Apalagi tugas menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 mendapat dukungan Presiden Jokowi. Sebagai petugas partai, Ganjar harus tegas menunjukkan loyalitasnya kepada partai, bukan kepada Istana.
Selain itu, wacana pembentukan koalisi besar antara PAN, PPP, dan Golkar (Koalisi Indonesia Bersatu) dan Gerindra, PKB (Koalisi Indonesia Raya) juga harus dilihat sebagai pola politik, sebab dalam acara silaturahmi antarparpol koalisi tersebut, Presiden Jokowi hadir, tetapi PDIP tidak turut hadir. Meskipun PDIP sudah diundang, partai tersebut berhalangan hadir. Apa pun alasannya, peristiwa ini harus mendorong PDIP untuk memperkuat daya tawar partai.
Akhirnya, kita bisa menyimpulkan, boleh jadi Ganjar Pranowo saat ini sudah mendapat restu dari Megawati. Ganjar akan menjaga nilai tawar dalam koalisi yang melibatkan PDIP nantinya. Boleh jadi pada bulan Mei atau Juni nanti, restu ini akan diumumkan oleh PDIP, bahkan bisa jadi lebih cepat. Puan Maharani kemungkinan besar akan segera menjadi Ketua Umum PDIP, artinya secara kepartaian nantinya posisi Puan harus lebih kuat di atas Ganjar, meskipun Puan tidak jadi menjadi calon presiden dari PDIP.
Baca juga:
Selain itu, kunjungan kerja Presiden Jokowi ke Jawa Tengah selama lima hari baru-baru ini tidak bisa kita lihat secara biasa-biasa saja. Hal ini karena Ganjar Pranowo turut aktif mendampingi Jokowi di ruang-ruang publik. Kemesraan Jokowi-Ganjar boleh jadi merupakan upaya untuk menaikkan kembali nama Ganjar karena sudah mendapat “restu” setelah elektabilitasnya terjun bebas kemarin.
Semua rentetan peristiwa “jatuh-bangun” yang dialami Ganjar Pranowo rasa-rasanya semakin terlihat muaranya. Seperti kata Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika, loyalitas Ganjar kepada PDIP semakin terlihat jika Ganjar menjadi capres PDIP pada 2024 nanti.
Akhir kata, andai Pak Ganjar maju menjadi capres, tentu belum terlambat. PDIP memiliki mesin partai yang kuat untuk mengembalikan nama baik Pak Ganjar selama 10 bulan ke depan. Namun, lebih dari itu, Indonesia butuh pemimpin yang harum namanya karena kinerja, bukan karena pura-pura kerja.
Nikita Krushchev, politikus Uni Soviet, pernah berkata, “politisi semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan meskipun tidak ada sungai.”
Semoga Pak Ganjar bisa menunjukkan kepada masyarakat jika tidak semua politikus itu sama.
Editor: Prihandini N