Riwayat Kantong
Sewaktu kecil ibu menghadiahiku sebuah kantong
“Rajin-rajinlah menabung,” katanya
“matari esok mungkin berbeda
meski pijarnya selalu sama.”
Setiap hari kuisi kantong dengan imajinasi
tentang Surabaya, langit, bulan dan bintang
kadang kumasukkan McD atau Giant
malam-malam kugantung di kepala sebelum terpejam
kantong itu berpendar-pendar cahaya
seperti lampu tidur bayi di televisi
berputar-putar memutar bayangan
berputar-putar merekam ingatan
Bertahun-tahun tabunganku penuh juga
Saat kubuka, isinya kota
Penuh gemerlap mengilat, mengilap
Lengkap di tengah gelap, pekat
O, aku terkesima
Sepertinya aku lupa kata-kata ibu
Kantong itu bukanlah kantong biasa
Kantong itu mengabulkan doa-doa
Maka kutumpahkan segalanya
Kuisi al-Fatihah dan segala macam allahumma
Untukmu dan untuk kita semua
Untuk cinta dan cita-cita
Kini setiap malam kantong itu berpendar
Cahaya berputar memutar ingatan dan harapan
Ada rindu di sana
Ada tangis dan tawa bersama
Esok, jika tabunganku tumpah
Yang muncul mungkinlah desa
Gunung, sungai, dan sawah
Lengkap dengan embun pagi sebelum duha
Waktu ketika kita asyik bercerita.
(Bogor, 2022)
–
Jkt 04 Agt ‘22
Dari balik bingkai jendela lantai sebelas
Bagiku semua tampak begitu jelas
Meski kenangan dan mimpi semalam belum lepas
Tetapi pagi lekas bergegas menghirup kota berkabut gas
Menjemput nasib di medan hidup keras nan culas
Orang-orang adalah kerubungan semut
Kota menjadi istana gula yang berhasil membuat mereka gila
Kegilaan telah mengusir embun
Menelantarkan burung-burung
Mengundang sepi dalam keramaian sendiri
Di kepala semut,
Suara klakson membising pusing
Untung mereka fokus bekerja dan bekerja
Betapapun pening tetap berangkat
Tak peduli rasa asing dan terasing
Tekad menerabas segala sekat dan pekat
Semut mungkin tak belajar filsafat
Tetapi laku lebih dari sekadar kata-kata terucap
Seperti para filsuf alam Yunani kuno
Laku mereka seakan berkata:
“Gula adalah segala-galanya!”
(Jakarta, 2022)
–
Anak Kecil
Aku hanyalah anak kecil
yang riang bermain air
dan tanah di pekarangan rumah
Jas dan dasiku tak lebih sekadar
Implementasi imajinasi liar
yang kini menampar kesadaran
Bahwa tempe tahu masakan emak
Di mana-mana selalu terasa enak
ketika makan di restoran terkenal
dan empuk kasur hotel mewah
tak semenyenyakkan kasur bantal guling kapuk
yang sering emak jemur sambil ditepuk-tepuk
apalagi panggilan lembut pelayan
tak seromantis teriakan emak dan embah
kala menjemputku pulang dengan sebatang lidi di tangan
haha
manusia kadang pura-pura lupa
waktu telah membawa lari kantong masa
kanak yang belum terisi apa-apa
tidak ada judi
tidak ada narkoba
tidak ada korupsi
anak-anak tak tahu dan tak mau tahu
mereka bermain tetapi tidak main-main
tanpa ba bi bu tak banyak tanya ini itu
mengapa orang dewasa menyebalkan?
kata mereka kala muda
mengapa anak-anak mengasyikkan?
kata mereka kala renta.
(Bogor, 2021)
–
Riwayat Kopi
Pagi-pagi secangkir kopi terhidang di kepalaku
Hangat uapnya bergumul kabut dingin ingatan
Aroma harumnya menguar sampai ubun-ubun
Mengingatkanku pada sesuatu yang kabur
Ini kopi siapa?
Tak ada pengakuan karena di kepala hanya ada aku seorang
Ada meja panjang bertumpuk buku-buku tebal
Ada lampu menahan kantuk
Ada gelas kesepian
Kopi itu hitam sehitam rambutmu
Hangat sehangat pelukanmu
Harum sewangi tubuhmu
Nikmat senikmat malam-malam bersamamu
Sebentar,
Itukah kopi atau dirimu?
Aku coba cicipi seteguk
Lalu seteguk
Lalu seteguk
Dan berhenti sebelum mabuk
Rupanya kopi itu tak mau mengaku
Tapi kudengar ada persemayaman cinta antara air dan serbuk
Menyatu beberapa saat lalu
Mencipta hangat dan uap bayanganmu
“Selamat pagi, sayang.
Bagaimana tidurmu semalam?”
(Bogor, 2022)
*****
Editor: Moch Aldy MA