Sang Legenda

Sejumput Pertemuan dan Puisi Lainnya

Hilmy Almuyassar

1 min read

Sejumput Pertemuan

Saat puisi sudah sampai,
buka bungkusnya
pelan-pelan dengan senyuman,
dan jangan pakai gunting.
Sebab isinya adalah
seluruh tubuhmu.

Kau telah memesannya
sebulan lalu lewat daring,
kemudian menyisir waktu.
Tak ada lagi keraguan
bagi sebaris tatapan yang
hadir dalam sejumput pertemuan.

Satu-satunya bait, tertulis:
“Hai diriku dalam bentuk istri.
Mungkin kita tak sesial Laila
dan Majnun pada kesempatan ini.
Tapi kuharap api mereka merambat-hanguskan kita dalam perhelatan nanti.”

Kau jawab, amin.
Tercium bekas aroma sushi
dari gigimu yang licin.

(2023)

Nenek di Stasiun Kereta

Mengelilingi kosong angin,
terpajang daun-daun
berwarna tanah. Bapak
tukang sapu merawat tadah
jalanan bagi rerumputan liar,
lalu pergi. Pada bangku
tunggu yang basah, hari baru
selesai mengeringkan
sisa-sisa air mata. di Stasiun
Cimahi, tiket sudah
dibayar, lagu Kabar Terakhir
diputar dan memudar.

Tiba-tiba semua tampak
samar, hanya dingin di kepala,
dan nenek datang dari
empat puluh hari kematiannya.
Menuntunku pada bocah
laki-laki yang pernah nenek
bela dari omelan orang tua. Membangunkanku akan
penerimaan pertama
sebelum seorang kekasih dan
teman-teman. Penerimaan
setinggi benteng istana,
tempat setiap cucu
melindungi keinginan yang tertahan.

(2023)

Sekar

Rumahnya dijajah, telah
ia rangkul perih meja makan
yang patah. Dingin pada
serpihan biru piring-piring,
serta dinding-dinding
putih yang juga pecah.

Seorang tentara
(datang dengan muslihat janji
kemerdekaan keluarga) menawan satu-satunya jalan
pulang yang ia miliki dengan
tembakan tanpa peluru.

Ia juga tak punya pangkuan
ibu selain pusara abu-abu.

Perempuan kecil itu, di
pinggiran kota. Bercerita.
Aku hendak menyalakan
rokok dengan meminjam
bara, dan mengintip jejak
luka dari belakang matanya.

(2023)

Mimpi di Dalam TV

Aku tidur bersama puisi-puisi,
kemudian bermimpi

: sebentang negara. Dikuasai
siluman kerbau yang
marah. Makanannya rupiah,
ia digembala di bawah
Awan Jelita.

Aku terbangun, mengambil
remot dan melihat mimpiku dalam TV.

(2023)

Bunyi-bunyi Puisi

Pagi-pagi sekali
penyair memikirkan
bunyi dalam puisi
Ia khawatir bila kata-kata
salah dipilih, akan
melemahkan bangunannya.

Tapi kita barangkali selalu
terikat ujung kalimat
yang berirama, dengan
huruf-huruf akhiran yang sama.

Sebab selain tidak
kokoh, bunyi-puisi hanya
jadi selebriti: menelantarkan
esensi dan mengubur makna
pada setiap peristiwa.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Hilmy Almuyassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email