Pilkada dan Dwifungsi TNI/Polri

Khoirul Iksan

2 min read

Tinggal menghitung hari dan pekan saja, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak se-Indonesia dalam rangka memilih gubernur, bupati, dan wali kota akan dilaksanakan. Salah satu yang harus diperhatikan adalah kemunculan kandidat yang berlatarbelakang TNI dan Polri.

Memang, semua orang atau pihak dapat mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin, tak terkecuali eks aparatur negara pun bisa mencalonkan diri maju di pemilu. Bahkan presiden terpilih pada pemilihan presiden tahun ini, yakni Prabowo Subianto, adalah mantan jenderal TNI. Sebelumnya juga ada SBY yang terpilih sebagai presiden melalui sistem demokrasi.

Dwifungsi

Aparatur negara, khususnya orang-orang militer, berpartisipasi dan berkompetisi dalam pemilu dimulai sejak era Orde Baru, di bawah rezim Soeharto, yang dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-Undang No. 82 Tahun 1982 tentang peran ganda TNI sebagai alat pertahanan negara dan peran di ranah kehidupan sosial-politik, yang sering disebut dengan Dwifungsi ABRI. Atas nama Dwifungsi ABRI, dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai “dinamisator sekaligus stabilisator” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Arifin Tambunan, dkk., Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, 1984:171).

Semenjak lengsernya rezim Soeharto dan era Reformasi, Dwifungsi ABRI secara bertahap diupayakan untuk dihapus, yang berpuncak pada penghapusan Fraksi TNI/Polri dari DPR pada 2004. Jadi, sebelumnya 20% kursi parlemen pusat diisi oleh TNI/Polri dan 30% gubernur di Indonesia diisi oleh mantan TNI/Polri. Meski secara hukum perihal Dwifungsi ABRI per hari ini dihapuskan, namun transisi secara substansinya masih jelas terlihat. Dalam konteks Pilkada, misalnya, yang akan berlangsung, bintang-bintang eks aparat TNI dan Polri tetap langgeng diinduk dan ditarik partai untuk berkompetisi.

Harus Skeptis

Ketika para bintang-bintang eks aparat militer negara ingin berdiaspora ke ranah pemerintahan menjadi pemimpin bagi masyarakat sipil, idealnya mereka harus melebur dan berusaha untuk menyejahterakan masyarakat sipil, bukan untuk oportunis menyejahterakan diri sendiri dan kelompok. Menilik sejarah panjang Dwifungsi ABRI, skeptisisme terhadap peran bintang-bintang eks aparat militer negara jika nanti terpilih dan memainkan peran sebagai pemimpin dari masyarakat sipil adalah hal yang wajar. Ada beberapa hal yang menjadi dasar skeptisisme tersebut:

  1. Persoalan Masyarakat Sipil yang Luas
    Paradigma dan cara pandang antara aparatur negara (TNI dan Polri) berbeda dengan masyarakat sipil dan segala persoalannya. Disiplin yang dimiliki TNI dan Polri tidak jauh dari pertahanan, keamanan, kedisiplinan, dan hal-hal yang berhubungan dengan keamanan negara. Sedangkan persoalan yang ada pada masyarakat sangatlah luas, seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, hal-hal berkaitan dengan HAM, dan masih banyak lagi. Dari perbedaan disiplin ini, muncul skeptisisme apakah para pemimpin yang terkhusus dari latar belakang eks aparatur negara nanti paham dan bisa menyejahterakan masyarakat, mengingat terdapat persoalan yang begitu luas.
  2. Tidak Memahami Ideologi Partai Pengusungnya
    Karena kepopulerannya sebagai aparatur negara atau memiliki modal biaya politik yang cukup, hal ini memungkinkan mereka mudah untuk mencari, bahkan dicari, partai untuk maju dalam kontestasi pemilu, terkhusus Pilkada ini. Dengan mudahnya mendapatkan partai sebagai tunggangan dalam berkontestasi. Akan tetapi, hal ini akan merusak citra partai, karena calon yang maju tidak mengikuti perkaderan secara dalam di partai, hanya mengandalkan kepopulerannya yang dikenal banyak orang. Sehingga, partai kehilangan identitasnya, cenderung pragmatis, nir gagasan progresif, dan hanya berorientasi pada kemenangan saja.
  3. Rekam Jejak yang Buruk
    Bank pemimpin dari latar belakang militer yang ternyata memimpin dengan buruk. Presiden Soeharto yang selama 32 tahun memerintah dengan gaya yang otoriter dan militeristik adalah bukti nyata. Sebelum berakhir masa jabatannya, ia tidak mampu menanggulangi krisis moneter yang menyengsarakan rakyatnya. Dari kisah dan rekam jejak inilah yang memperkuat skeptisisme, apakah eks aparatur negara ini mampu dan lurus ketika memimpin serta menyejahterakan, terkhusus dalam konteks Pilkada saat ini.

Skeptis terhadap calon pemimpin yang berkompetisi adalah sesuatu hal yang perlu dilakukan, lebih-lebih ketika mereka berasal dari TNI atau Polri. Hal ini dikarenakan kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat sipil selama lima tahun ke depan ditentukan oleh kebijakan pemimpin yang dipilih hari ini. Untuk itu, skeptisisme merupakan perwujudan sikap kritis sebagai pemilih dan masyarakat yang menantikan pemimpin yang berkualitas.  (*)

Khoirul Iksan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email