Apartemen bukanlah bangunan yang muncul begitu saja. Ide tentang banyak orang yang tinggal bersama dalam satu lingkungan adalah bagian dari suatu proses sejarah. Keberadaan apartemen bukanlah urusan ilmu arsitektur semata, tetapi juga mencakup keadaan sosio-ekonomi dan budaya masyarakat.
Apartemen merupakan ruang yang diproduksi karena keadaan ekonomi. Kota sebagai pusat ekonomi atau industri tentu memerlukan sumber daya manusia untuk menunjang sirkulasi ekonomi. Tentu ada konflik kepentingan antara ruang untuk kegiatan ekonomi dan ruang privat sebagai kebutuhan hidup sumber daya manusia. Penyelesaian dari konflik tersebut adalah produksi ruang bersama atau common space dalam wujud apartemen.
Meskipun merupakan ruang bersama, hidup di apartemen tidak dapat terlepas dari kompromi. Kompromi antara ruang privat satu orang dengan orang lain, sampai kompromi antara kehidupan seseorang dengan kehidupan yang menunjangnya (misal: tempat kerja). Sebagai contoh, jika seseorang terlalu berisik, tentu akan mengganggu orang lain. Orang-orang harus senantiasa siap untuk melakukan kerja repetitif, sehingga kenyamanan seperti istirahat yang cukup dan lingkungan tenang adalah hal yang berharga.
Baca juga:
Kompromi atas keadaan orang lain dan hubungan dengan ruang lain (ruang kerja) membuat seseorang harus merepresi emosi: tidak boleh terlalu senang, tidak boleh terlalu sedih. Belum lagi, ia harus berkompromi dengan hidupnya karena ruang yang terbatas. Berbeda dari rumah di desa yang memiliki pekarangan luas sehingga bisa dijadikan kebun atau kolam ikan, ruang terbatas di apartemen membuat seseorang hanya bisa melakukan aktivitas yang terbatas.
Beragam kompromi tersebut membuat apartemen justru terlihat bukan seperti hunian yang nyaman. Apartemen sepertinya memang didesain bukan sebagai hunian jangka panjang atau hunian yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Apartemen bukan ada untuk mengakomodasi seseorang, tetapi diciptakan untuk menjebak seseorang, membatasi dirinya untuk melakukan hal lain selain hal paling utama, yaitu bekerja untuk menunjang ekonomi suatu wilayah. Hal inilah yang kemudian membuat apartemen seakan-akan berhantu.
Apartemen adalah Ruang yang Uncanny
Bagi Gaston Bachelard, rumah adalah dunia pertama yang ditempati manusia, barulah dunia di luar rumah. Dalam The Poetics of Space, Bachelard mengajukan topoanalisis sebagai tandingan psikoanalisis. Berbeda dengan psikoanalisis yang hanya melihat hubungan keluarga sebagai faktor yang membentuk pribadi anak, Bachelard menilai bahwa keintiman antara orang dengan rumahlah yang mampu memengaruhi cara pandang seseorang dalam melihat dunia. Kedekatan yang dibangun berperan penting dalam memberikan seseorang makna atas faktisitasnya.
Kedekatan dan keintiman tampaknya sulit untuk dibangun di dalam apartemen. Orang tua harus bekerja di lokasi yang berbeda, sementara ruang yang terbatas menghambat tumbuh kembang anak. Akhirnya, si anak dititipkan di ruang publik lain, seperti penitipan anak. Hunian yang hanya digunakan untuk istirahat dan kehidupan yang terfragmentasi di luar hunian menyebabkan apartemen justru menjadi tidak familiar, atau disebut Freud dengan unheimlich atau uncanny.
Absennya keintiman membuat apartemen selalu menjadi ruang yang asing. Hal ini paradoks, mengingat apartemen adalah ruang yang ditempati setiap hari, tetapi pada saat yang sama ruang tersebut menjadi asing sama sekali. Tidak heran orang yang tinggal di apartemen mungkin tidak mengenal orang-orang yang tinggal bersamanya, atau “tetangga”. Wajah-wajah yang setiap kali dijumpai ketika berpapasan juga menjadi wajah yang asing. Seolah-olah keberadaan orang-orang berada di antara ada dan tiada. Keberadaan yang tipis tersebut membuat orang-orang yang tinggal di apartemen seolah-olah seperti hantu yang bergentayangan .
Maka tidaklah berlebihan jika mengatakan semua apartemen berhantu. Derrida menyebut keadaan spektralitas ini dengan Hauntology, yaitu ketika hal yang tidak sepenuhnya ada dapat memengaruhi hal lain. Hal yang tidak sepenuhnya ada bisa dikatakan subsist. Ia mungkin ada, tetapi parsial. Kita mungkin mengetahui hal tersebut, tetapi kita tidak benar-benar memahami atau mengalaminya. Mark Fisher, seorang kritikus budaya menyebut situasi ini dengan The Eerie, ketika sesuatu yang harusnya ada malah tidak ada. Hunian yang seharusnya terlihat hidup, malah terlihat seperti bangunan kosong.
Di dalam apartemen, kita berada di posisi berjumpa dengan orang-orang lain secara repetitif dengan intensitas yang sering, tetapi kita bahkan tidak tahu nama, pekerjaan, dan latar belakang orang di sana, atau justru sampai tidak memedulikan eksistensinya. Orang-orang dapat hadir dan hilang begitu saja. Kita tidak tahu kapan dan dari mana orang lain datang menetap dan kapan orang lain pergi. Semua berada dalam dunianya masing-masing, kita tidak pernah sepenuhnya hadir dalam hunian kolektif tersebut.
Baca juga:
Tinggal bersama “Hantu”
Film J-Horror, Pulse, yang dirilis pada tahun 2001 menggambarkan secara melankolis tentang situasi orang yang tinggal di apartemen. Hidup di apartemen berarti hidup dalam paradoks, seseorang akan merasa sepi dalam keramaian. Tidak ada yang peduli jika ada yang meregang nyawa di dalam kamarnya, kecuali jika orang tersebut terlambat membayar sewa atau ada bau busuk yang mengganggu orang lain. Alienasi dari ruang bersama tersebut menunjukkan bahwa kolektivisme dalam nilai tradisional justru hilang, digantikan dengan individualisme. Implikasinya adalah orang yang muncul dan hilang dalam apartemen adalah hal yang wajar.
Transisi budaya kolektif menjadi individual membuat Katarzyna Ancuta yakin bahwa hal tersebut adalah alasan dari banyaknya film horor Asia berlatar di apartemen. Orang asing yang lalu-lalang, sampai lansia yang hanya mendekam di kamar menunggu ajal adalah hal normal dari akselerasi ekonomi di Asia. Pada akhirnya, keberadaan apartemen bukan sepenuhnya karena suatu kreativitas untuk mengakali keterbatasan ruang, tetapi hasil dari kompromi institusi dan ruang privat seseorang.
Apartemen mungkin akan terus menjadi ruang yang uncanny, kita tidak tahu siapa yang tinggal sebelum kita dan sesudah kita. Juga, kita tidak bisa mengakses kejadian apa saja yang terjadi di masa lalu. Hal yang pasti adalah kita tidak punya kehidupan lain. Mungkin, keinginan untuk menyambung hidup adalah alasan yang membuat orang-orang betah di apartemen, walaupun alasan tersebutlah yang membuat mereka terdisosiasi dari realitas, sehingga tinggal bersama hantu-hantu metaforid adalah hal yang wajar.
Editor: Prihandini N