Ruang Kota dalam Genggaman Rakyat Surabaya

Diky Kurniawan Arief

2 min read

Surabaya sejak lama telah mejadi tujuan utama kaum pendatang dari pedesaan di wilayah-wilayah sekitar. Akibatnya, baik mereka yang sudah lama menetap maupun para pendatang di Surabaya menghadapi permasalahan yang sama, yaitu tempat tinggal.

 

Penggalan kalimat dari buku berjudul “Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an” itu mungkin masih menggambarkan realitas Kota Pahlawan hari ini. Warga miskin kota, baik generasi pendatang baru maupun mereka yang sudah lama tinggal masih bergulat dengan ancaman penggusuran, mahalnya biaya hidup, serta minimnya dukungan pemerintah dalam hal perumahan dan akses layanan publik.

Buku Karya Purnawan Basundoro ini akan mengantarkan pembaca pada sebuah perjalanan historis yang mendalam tentang bagaimana para bumiputera berjuang merebut hak atas ruang hidup mereka dari bayang bayang penggusuran, perebutan lahan, hingga faktor-faktor ekonomi politik yang mempengaruhi tata kota di Surabaya.

Bagi arek Suroboyo atau orang yang pernah mengunjungi Surabaya, mungkin sudah tahu jika di balik wilayah gedung gedung tinggi atau perkantoran di Surabaya terdapat perkampungan kecil di gang sempit yang masih eksis bahkan hingga saat ini. Bahkan tak jarang kawasan pemakaman umum seperti Kembang Kuning juga terserobot oleh mereka yang termarjinalkan. Sekan muncul pertanyaan bagaimana hal ini bisa terjadi? dan bagaimana tata kotanya terbentuk? hal ini bukan tanpa alasan.

Sejak masa kolonial hingga awal kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah Indonesia tidak pernah benar-benar siap menghadapi lonjakan pesat populasi perkotaan. Baik kebijakan preventif seperti pembatasan kelahiran maupun pengendalian arus migrasi perantau tidak diambil sebagai langkah antisipasi. Selain itu, mereka juga tidak berupaya memperkuat industri sebagai penggerak utama ekonomi perkotaan.

Meningkatnya jumlah populasi kota dalam jumlah besar sebenarnya telah dimulai sejak pemberlakuan Undang-Undang Agraria dan Undang-Undang Gula tahun 1870. Dampaknya, jumlah penduduk kota meningkat tajam. Penduduk desa yang terdorong oleh kemiskinan, berbondong-bondong menuju kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Namun, setibanya di kota, mereka tidak banyak terserap ke sektor industri. Keterbatasan lapangan pekerjaan dan minimnya keterampilan mereka menjadi penghalang utama. Akibatnya, sebagian besar dari mereka menjadi proletariat informal berbentuk pedagang asongan, tukang rombeng, tukang becak, dan sebagainya.

Saya sendiri memahami bahwa proletariat informal, yaitu pekerja yang berada di luar sektor formal sering kali dihadapkan oleh ketidakpastian penghasilan, tidak ada perlindungan sosial, sampai tidak memiliki hak-hak yang dijamin oleh undang-undang ketenagakerjaan. Hal inilah yang dalam buku ini dijelaskan bahwa akibat struktur itu, mereka harus rela tinggal di hunian yang tak layak dengan kondisi yang menyedihkan. Pemukiman merekapun bersifat non-permanen sehingga rentan terhadap penggusuran. Mereka selalu dihantui oleh perampasan ruang hidup baik oleh institusi negara, perusahaan, pendatang baru, dan penduduk setempat yang juga memperebutkanya.

Baca juga:

Jika ditarik kebelakang, sebenarnya Surabaya pada masa kolonial tidak dibentuk sebagai kota yang berkelanjutan bagi penduduknya. Bagi pemerintah Hindia Belanda, kota hanyalah media untuk mengakumulasikan komoditas melalui industri. Surabaya salah satunya, sebab wilayahnya termasuk Hinterland sangat strategis dan menjadi pintu perdagangan gula di Jawa Timur saat itu.  Surabaya bertransisi dari kota tradisional yang agraris menjadi kota industri demi gerbang ekonomi saat itu.

Hal ini bisa dilihat saat 1910 ketika ada perubahan struktur agraria di tanah partikelir yang awalnya dahulu adalah lahan pertanian, harus digusur demi pemukiman dan kawasan bisnis orang Eropa. Ditambah lagi ketika pemerintah kolonial Belanda juga mengkategorikan tiga status tanah seperti tanah pemerintah pusat, tanah kota madya (gementee), dan tanah partikelir.

Hal ini menyempitkan kemungkinan para bumiputera memiliki tanah di beberapa bagian Surabaya pada saat itu. Orang-orang yang tinggal di tanah yang masuk kategori partikelir merasa waswas akan penggusuran. Ketika matahari angslup, wajah dari ketimpangan ini akan sangat jelas. Gedung-gedung permukiman Belanda yang megah terlihat bersinar dibawah cahaya lampu, di sisi lain, orang pribumi hanya berlindung dibalik gedhek beratapkan dedaunan yang gelap.

Kemudian, pada tahun 1910 terjadi protes besar besaran perihal tanah partikelir tersebut, Aksi protes ini dipunggawai oleh tokoh-tokoh Sarekat Islam seperti Prawirohardjo dan Pak Siti. gerakan ini nantinya membuat mayarakat melawan tuan tanah dengan cara tidak membayar pajak selama lima tahun lebih, gerakan ini menurut mereka jauh lebih efisien ketimbang melakukan perlawanan kontak fisik secara langsung.

Hal-hal itu tadi adalah cuplikan singkat tentang perebutan ruang di Kota Surabaya kala itu. Bumiputera yang digusur di beberapa wilayah di Surabaya terus menghadapi ancaman penggusuran atas nama pembangunan dan ekonomi, yang sering kali hanya menguntungkan kelas elite.

Sebenarnya masih sangat banyak lagi runtutan historis perebutan ruang kota yang terjadi pada pasca kemerdekaan. Purnawan Basundoro sebagai penulis buku ini juga jeli menjelaskan tentang bagaimana situasi politik-ekonomi sangat berpengaruh pada saat itu. Purnawan Basundoro juga memaparkan data dan tabel tentang jumlah penduduk, migrasi, sampai jumlah etnis di Surabaya dengan detail pada masa itu.

Sebagai Arek Suroboyo, agaknya saya merekomendasiakan bacaan ini untuk mereka yang ingin mengetahui alasan mengapa ketimpangan sosial dan ruang kota di Surabaya masih terlihat hingga hari ini. Lebih lanjut, buku ini juga bisa menjadi bahan kajian yang mendalam tentang Kota Surabaya sekaligus memahami polemik agrarisnya. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Diky Kurniawan Arief

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email