“Rumahku bukanlah surga, melainkan neraka,” demikian keluh seorang kawan dalam lantunan nada yang penuh dendam, amarah, dan penyesalan. Gagasan “rumahku, surgaku” yang selama ini dijunjung tinggi, baginya tidak lebih dari sekadar fatamorgana yang menyakitkan.
Penolakan kerasnya terhadap doktrin ini bukan tanpa alasan; ia bukanlah satu-satunya yang merasakannya. Ribuan, bahkan mungkin jutaan anak di luar sana, berdiri sebagai saksi bisu atas kegagalan epistemik sebuah dogma yang telah lama dipertahankan. Mereka adalah generasi yang terluka, yang realitasnya terkoyak oleh paradoks antara idealisme yang digembar-gemborkan dan kebrutalan yang mereka alami di balik pintu-pintu tertutup.
Dampak dari doktrin “rumahku, surgaku” yang dirasa menipu ini sangatlah signifikan. Anak-anak yang tumbuh dengan rasa tidak percaya mendalam terhadap keluarga mereka sendiri, menghadapi hambatan psikologis yang serius dalam pembentukan identitas dan hubungan interpersonal mereka.
Lingkup keluarga, yang idealnya merupakan tempat pertama dan utama bagi anak-anak untuk belajar tentang kepercayaan, dukungan, dan pendidikan, malah berpotensi menjadi sumber trauma dan kebingungan. Ketika keluarga gagal menjadi advokat dan pendidik bagi anak-anaknya, konsekuensinya bisa jadi jauh lebih merusak daripada yang bisa dibayangkan, menghambat perkembangan mereka bukan hanya pada masa kini, tetapi juga dalam jangka panjang.
Baca juga:
Konstruksi Keluarga Ideal
Konsep “rumahku, surgaku” sering menjadi prinsip dasar dalam membentuk rumah tangga. Konstruksi ideal tentang keluarga biasanya melibatkan ayah yang melindungi, ibu yang penuh kasih sayang, dan anak-anak yang saling menghargai dan mencintai satu sama lain.
Konstruksi keluarga ideal sering kali hanya menjadi retorika yang tidak terwujud. Realitas yang dihadapi banyak keluarga sering kali bertentangan dengan gagasan ideal tersebut, dengan tragedi dan kesulitan yang tak terelakkan. Dalam situasi seperti ini, gagasan “rumahku, surgaku” berubah menjadi ironi yang menyedihkan, sebuah frasa manis yang menutupi realitas pahit yang harus dihadapi oleh banyak keluarga.
Kondisi ini memang menimbulkan dampak yang beragam bagi setiap individu dan keluarga. Bagi sebagian orang, gagasan “rumahku, surgaku” mungkin berfungsi sebagai motivasi untuk menciptakan lingkungan rumah tangga yang harmonis. Namun, bagi yang lain, frasa ini dapat menjadi beban psikologis yang memberikan tekanan untuk mencapai standar ideal yang mungkin tidak realistis, atau bahkan tidak dapat dicapai. Realitas yang sering kali lebih kompleks dan kurang sempurna dari apa yang digambarkan oleh doktrin ini dapat menimbulkan perasaan gagal dan frustrasi, terutama ketika kondisi rumah tangga tidak sesuai dengan idealisme yang diusung.
Konstruksi ideal tentang keluarga tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal orang tua, melainkan juga oleh pemahaman mereka tentang ilmu parenting. Edukasi, dalam kasus ini, melampaui sertifikat dan gelar; ia mencakup kesadaran dan penerapan praktik pengasuhan yang mendukung perkembangan anak. Tanpa pemahaman yang mendalam tentang parenting, orang tua mungkin kesulitan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan bentuk ideal keluarga yang harmonis, seimbang, dan penuh kasih sayang.
Sialnya, masih banyak orang tua yang menyepelekan perkara parenting. Mereka hanya memanfaatkan naluri alamiah sebagai makhluk hidup dalam mendidik anaknya. Didikan semacam itu sering kali diaplikasikan tanpa melakukan kontekstualisasi terkait dengan perkembangan zaman. Pola didik demikian telah terkonstruksi menjadi norma yang telah dinormalisasikan dalam lingkup keluarga. Oleh karena itu, penting bagi para orang tua untuk meningkatkan literasi seputar ilmu parenting.
Doktrinasi Rumah yang Surgawi
Ketika seorang anak menyadari bahwa ia tidak terlahir di dalam keluarga cemara, hatinya mungkin bergetar membaca frasa “rumahku, surgaku.” Bagaimana mungkin kata-kata itu menggambarkan tempat yang bagi dirinya layaknya penjara, tempat yang seharusnya penuh kasih tetapi terasa seperti neraka yang penuh siksa? Di mana letak surga, jika rumah yang seharusnya menjadi pelukan hangat malah terasa seperti neraka?
Baca juga:
Frasa “rumahku, surgaku” telah lama dianggap sebagai idealisme yang menggambarkan harmoni domestik. Namun, realitas yang sering tersembunyi di balik tirai doktrin ini adalah cerita-cerita yang tak terhitung tentang ketidakharmonisan dan penindasan. Dalam banyak kasus, rumah bukanlah surga tapi lebih mirip neraka, tempat individu-individu terpaksa memakai topeng kebahagiaan, sementara mereka terjebak dalam siklus kekerasan.
Doktrin ini, yang seharusnya mendukung keutuhan dan kebahagiaan keluarga, malah menjadi alat penipuan yang menyembunyikan penderitaan dan menghalangi pencarian solusi yang nyata.
Anak-anak, dalam kepolosan dan kepekaan mereka, sering kali menjadi korban dari doktrin sosial yang menyesatkan. Mantra “rumahku, surgaku” yang diulang-ulang, secara tidak langsung memaksa mereka untuk menerima sebuah realitas yang mungkin jauh dari pengalaman pribadi. Ini menciptakan disonansi kognitif, anak-anak harus menyeimbangkan doktrin yang diterima secara luas dan pengalaman traumatik yang mereka alami.
Di akhir cerita yang penuh luka ini, kita dihadapkan pada realitas yang menyayat: doktrin “rumahku, surgaku” telah gagal, tidak hanya dalam memberikan keamanan psikologis, melainkan juga menghancurkan fondasi kepercayaan diri anak-anak. Mereka yang seharusnya tumbuh dalam kehangatan dan kasih sayang, kini terperangkap dalam belenggu keraguan dan ketidakpastian.
Kita, sebagai masyarakat, harus bertanya pada diri sendiri: sampai kapan kita akan membiarkan generasi penerus kita terluka oleh paradoks yang kita ciptakan? Sampai kapan kita akan membiarkan doktrin-doktrin usang mengikis masa depan mereka? Sudah saatnya kita membangun kembali, bukan hanya dinding-dinding rumah, tetapi juga hati dan jiwa yang telah terkoyak. Setiap anak berhak atas sebuah surga yang nyata, bukan neraka yang diselimuti manisnya kata-kata.
Editor: Prihandini N