“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Kesahajaan Pram telah memikat dan mewarnai cara pandang saya ketika membaca-telaah dentuman riuh kata per kata dari ruh tulisannya. Kepergian Pram pada tahun 2006 memang betul sesuai kata-katanya bahwa jasadlah yang meninggalkan dunia, tetapi tidak dengan karya yang tetap abadi sepanjang masa. Kini, kita tinggal memilih untuk tetap berada di jalan keabadian atau mundur lalu memilih jalan pintas kepragmatisan.
Baca juga:
Bagi sebagian orang yang terpapar detak kota, kepragmatisan tentu pilihannya. Tak perlu dinafikan, sebab studi fenomenologi telah mengulasnya. Pakar bernama Gordon Mathews berpendapat bahwa manusia kini memiliki kehendak bebas pilih mengenai identitasnya. Identitas yang dimaksud yakni identitas kontemporer di supermarket budaya global era digital. Sudah jadi keseharian masyarakat modern perkotaan mencari kesan di mata orang lain.
Namun, tidak sedikit orang yang senapas dengan Pram untuk menuju keabadian. Kesehariannya tidak terbatas pada kesan semata, tetapi esensi identitas yang lebih bermakna, yakni identitas yang berasal dari inti diri. George DeVos menjelaskannya sebagai melukiskan perasaan sinambung dengan masa lalu yang dirawat sebagai bagian penting inti diri.
Kata-kata di zaman kini menjadi tidak relevan lagi ketika akar “kita” melebur menjadi “dia” dan “aku”; menunjukkan bahwa kebersamaan hanya lapisan luar belaka. Sementara itu, lapisan dalam terbagi, tercerai-berai, bahkan tidak utuh. Inti kita dari sebuah komunitas masyarakat kota hanya ambang kesan, kepentingan dan kemumpungan saja.
Dua pandangan yang dijelaskan pakar fenomenologi tadi menjadi kesenjangan krusial. Sebab, identitas sudah tersamarkan, terpolarisasi, dan terkotak-kotak oleh bermacam keriuhan kebutuhan—kebutuhan yang tidak lagi kehendak bebas, melainkan kehendak untuk mendapatkan suatu keuntungan. Identitas bukan lagi semata-mata demi kedirian yang terjalin lewat ikatan sosial, melainkan ikatan nirsosial.
Meruang dalam Kita dan Kota
Domain dari sebuah elemen gerakan sosial terdiri dari individu, wadah, dan ruang. Ruang dalam hal ini adalah ruang sosial yang dibentuk oleh tindakan sosial secara individu maupun kolektif. Tindakan sosial dapat terjadi tidak terlepas dari “makna” tentang bagaimana suatu kota yang memiliki ruang spasial dikonsepkan secara utuh-menyeluruh.
Ruang sosial kemudian diproduksi dengan praktik spasial yang mewujud melalui persepsi atas lingkungan yang dibangun melalui jaringan yang mengaitkan aktivitas-aktivitas sosial seperti pekerjaan, kehidupan pribadi, dan waktu luang. Lefebvre, seorang sosiolog marxis, memaknainya sebagai relasi yang bersifat dialektis antara ruang spasial dan sosial yang hidup, ruang yang dipersepsikan, ruang yang dikonsepsikan.
Pemahaman yang komprehensif tentang rangkaian konseptual atas produksi ruang sosial termasuk dalam bagian penting dari reproduksi pengetahuan yang bersifat ideologis bagi perkembangan suatu kota. Dari situ, kita bisa melihat bagaimana hegemoni pengetahuan tentang tata ruang kota semata-mata menjadikan kota sebagai objek komoditas kapitalisme belaka.
Sumber daya manusia urban, terlebih pemuda, sudah terhegemoni dalam alam pikirnya untuk tidak bergerak secara komunal atau kolektif guna menyikapi pergeseran makna kota menjadi komoditas tersebut. Orang-orang memilih diam dalam kenyamanan kota dan dengan mudah mengabaikan isu-isu politis dalam keseharian masyarakat urban. Sementara itu sayap pemuda yang memilih untuk merespons isu politis tersebut malah tersegregasi dari radar perkumpulan masyarakat komunal di ruang kota. Kita yang seharusnya mengikat dalam senasib-sepenanggungan menjadi tereliminasi dalam pola suprastruktur pemisahan kelas.
Ketika sebagian dari komunitas kota sudah meruang dan hendak membentuk jalinan solidaritas, di dalam kita terjaring kesamaan persepsi yang menghendaki ekspresi politis. Kemudian ekspresi politis ini termanifestasi menjadi sebuah aksi-tindakan politis. Namun, sayangnya, ketika memasuki ruang kerja bersama, lagi-lagi sebagian orang yang singgah dalam solidaritas itu akhirnya hilang.
Bergabungnya orang-orang yang cabut ini ternyata, lagi-lagi, hanya sebatas momentum dan kemumpungan tadi. Kita yang seharusnya dimaknai sebagai kesatuan utuh ternyata hanya mereka objektifikasi. Dengan kata lain, kita hanyalah wadah yang aktif bergerak sebatas bayangan dari kemeletupan jiwa sesaat. Sehabis manis, sepah pun dibuang.
Untuk itu, idealnya, ekspresi dan aksi meruang dimaknai sebagai keterjangkauan publik alias penyediaan akses informasi, keterbukaan ruang, dan keterundangan atau pelibatan yang masif dalam gerakan sosial di isu perkotaan. Perihal hasil itu soal lain, sebab kestrukturan dari meruang perlu terlebih dahulu konsisten lewat kekuatan narasi kata-kata, kita, dan kebersatuan kota.
Kesatuan Kota dan Kata-Kata
Lapisan masyarakat plural-multikultural di perkotaan masih saja tercerai-berai. Kesamaan pikir, perasaan, kesadaran, dan minat terhadap gerakan perubahan sosial masih tersamarkan oleh egosentrisme atau etnosentrisme. Hal ini ditengarai oleh kebijakan dan tata kota yang tidak membentuk suatu persepsi persatuan.
Alhasil, ketika ada panggilan untuk merespons suatu isu melalui organisasi atau komunitas yang menjadi corongnya, kecenderungan orang-orang urban untuk turut terlibat masih tipis sekali. Tren ini kerap ditemui di kota-kota yang termapankan. Dengan kata lain, kemapanan dan keserbaadaan menjadi alasan untuk tidak lagi melakukan aktivitas sosial.
Baca juga:
Pemerintah dan masyarakat yang termapankan tak akan risau dengan masalah terbatasnya akses untuk terlibat dalam mengurus kota, khususnya akses para orang mudanya. Padahal, rata-rata capaian indeks pembangunan pemuda (IPP) berdasarkan provinsi tahun 2021 mencapai 54,00. Tertinggi ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (73,67), terendah di Sulawesi Barat (46,50).
IPP memberikan gambaran kemajuan pembangunan pemuda di Indonesia. Jika angka-angkanya dirasa sangat rendah, memang itulah kenyataannya. Oleh karena itu, sistem-sistem bobrok yang ada di tubuh lembaga pembentuk kebijakan harus dievaluasi.
Agar kesatuan kota tidak sekadar buih slogan ajakan, kita perlu pelibatan pemuda dalam perancangan kebijakan strategis kota, penanaman nilai etika dan moralitas masyarakat berdasarkan perspektif pemuda, penyediaan pendidikan yang berkualitas guna menunjang sumber daya manusia, serta implementasi kata-kata menjadi aksi nyata. Tawaran ini mesti dipertimbangkan agar ke depannya kesatuan kota dan kata-kata dengan pemuda sebagai instrumen utamanya dapat berbuah aktivitas publik yang produktif.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Memadukan Kita, Kota, dan Kata-Kata”