Di tengah hiruk pikuk festival musik A:M Festival 2024: Unmute the Resonance, lagu “Halo Jakarta” dari The Lantis membangkitkan rasa bangga sekaligus rasa cemas. Lagu dimulai dengan lirik “Genggam tanganku, berikan aku kabar tentangmu, Jakarta” mengajak saya untuk merasakan denyut nadi kehidupan kota metropolitan. Lirik tersebut merupakan refleksi dari harapan dan mimpi yang dihadapi oleh warganya.
Jakarta dikenal dengan gemerlap malamnya seperti yang tergambar dalam lirik “Memuja malam, hias lampu ‘kan enggan tenggelam, oh Jakarta, hingar bingar ibu kota“. Kehidupan malam di Jakarta memang penuh kemilau. Dari hiruk-pikuk pusat perbelanjaan hingga kemeriahan hiburan malam. Lampu-lampu kota yang terus menyala menandakan kota ini tidak pernah tidur. Bagi sebagian orang, gemerlap Jakarta adalah simbol kemajuan.
Teman saya yang berasal dari Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), mengatakan betapa bangganya ia bisa menikmati city light di Jakarta. Di Dompu ia tidak bisa keluar malam. Hal tersebut karena jalanan sudah sepi dan kriminalitas di malam hari lumayan tinggi.
Tapi tunggu dulu, di balik gemerlapnya, Jakarta juga menyimpan kisah pilu dan ketimpangan sosial. Banyak dari mereka yang harus bekerja keras untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Mereka juga tidak mendapatkan kesempatan untuk memiliki kehidupan yang mapan. Bahasa gampangnya, ”Hidup gini-gini saja dari kemarin.”
Baca juga:
Hidup dengan Gaji Mepet
Kisah paling mendasar dan sering terlupakan oleh banyak orang adalah kisah mereka yang hidup dengan gaji di bawah upah minimum kota (UMK). Mungkin banyak orang di luar Jabodetabek atau bahkan di luar Pulau Jawa berpikir bahwa hidup di Jakarta itu enak, karena UMK-nya lumayan besar.
Namun nyatanya, banyak dari mereka yang bekerja dengan gaji kisaran antara 1-2 juta rupiah dan harus bekerja lebih dari delapan jam sehari. Bahkan pada tanggal merah pun mereka masih harus bekerja, khususnya yang bekerja di sektor food and beverage dan semacamnya.
Gaji yang mepet ini tentu tercermin dari makanan yang mereka pilih, yakni makanan murah sekadar untuk mengisi perut. Mungkinkah dengan gaji di bawah UMK mereka merogoh kocek sebesar 20-30 ribu rupiah untuk sekali makan dengan gizi yang cukup? Akhirnya, mereka terpaksa mengonsumsi makanan dengan harga sekitar 10-15 ribu rupiah saja.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanan murah. Tapi yang jadi masalah adalah apakah makanan tersebut memiliki kandungan gizi yang mencukupi? Masa iya sudah kerja di atas delapan jam, masih kurang gizi pula. Apalagi kondisi ini diperparah dengan minimnya akses terhadap jaminan sosial yang memadai. Tak heran banyak di antara mereka yang terjerat utang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Belum lagi biaya tambahan seperti vitamin, bensin, top-up kartu transportasi umum, ojek online, uang jajan, dan sewa tempat tinggal. Harga sewa kos ekonomis berkisar antara Rp 600 ribu hingga Rp 850 ribu per bulan dengan ukuran kamar sekitar 2,5 x 2,5 meter. Untuk kos menengah, biaya sewa lebih mahal, antara 1,2-2 juta rupiah per bulan. Dan masih banyak lagi printilan-printilan kebutuhan lainnya.
Bagaimana mereka bisa memastikan sandang, pangan, dan papan terpenuhi dengan gaji yang mepet ini?
Ini belum menghitung jalanan di Jakarta yang selalu macet parah. Kalau nggak mau kena macet, sudah tentu solusinya adalah naik transportasi umum, dan harus siap dan rela bergencetan-gencetan dengan penumpang lainnya.
Apa enggak meledak kepala mereka?
Selain itu, sering kali tempat tinggal mereka tidak dilalui atau tidak berdekatan dengan pemberhentian transportasi umum. Alhasil, mau tak mau mereka harus berjalan kaki atau menggunakan ojek online untuk sampai ke pemberhentian transportasi umum.
Terasing dari Tren Mode
Tren mode dan gaya hidup selalu silih berganti di Jakarta. Namun, di balik gemerlap dan gegap gempita gaya hidup Jakarta, ada sisi lain yang terlupakan. Mereka yang memiliki gaji di bawah UMK harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki cukup uang untuk mengadopsi tren dan gaya hidup semacam itu. Secara tidak langsung, keterbatasan finansial telah meminggirkan mereka dari lingkar pergaulan yang mestinya bisa memberi manfaat bagi diri mereka.
Baca juga:
Keadaan semakin mendesak mereka untuk bergaul di lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Namun faktanya, untuk dapat bersosialisasi pun ternyata butuh biaya yang tak sedikit. Bayangkan jika dengan keterbatasan finansial mereka mencoba memperluas lingkaran sosial mereka. Belum lagi jika mereka anak pertama yang sisa uang jerih payahnya masih harus tersita untuk menambal kebutuhan keluarga.
Mereka yang terbatas secara finansial sering kali harus memilih antara membeli kebutuhan pokok atau mengikuti tren dan gaya hidup yang sedang tren. Ini tidak hanya berdampak pada kemampuan mereka untuk bergaul di lingkungan yang bisa memberi manfaat, tetapi juga bisa merugikan kesehatan dan keuangan mereka secara keseluruhan. Jika tidak diatasi dengan bijak, hal ini bisa mengakibatkan keterasingan sosial yang lebih dalam dan kesulitan ekonomi yang lebih besar di masa depan.
Jakarta memang memiliki segala macam hiburan untuk segala selera. Mulai dari mal-mal mewah yang menghadirkan merek-merek internasional, restoran, kedai kopi, klub malam, hingga angkringan-angkringan di pinggir jalan tempat orang nongkrong di malam hari. Namun, semurah apa pun itu, tetaplah ada biaya yang dikeluarkan. Keterbatasan finansial membuat sebagian dari mereka sulit untuk menjangkau hal tersebut. Dan situasi terpinggirkan inilah yang menciptakan keterasingan.
Seiring festival musik yang berlangsung, lagu Halo Jakarta terus menggema, mengajak kita untuk merenungkan kehidupan di kota Jakarta. Gemerlap lampu kotanya mungkin memesona, tetapi di baliknya ada kisah-kisah perjuangan yang sering terlupakan.
Editor: Prihandini N