Ananda Bunga, adik sepupu saya, suatu malam berkata kepada saya kalau ia ingin menjadi ibu.
“Aku mau jadi ibu, Bang,” katanya, “aku pengin punya anak.”
Sebelumnya, Nanda—begitu saya biasa memanggilnya—baru saja bercerita kalau ia sedang mengurangi waktu keluar malam, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas kuliah dan kegiatan kampus. Ia juga bercerita kalau sudah punya pacar. Nanda bercerita sambil sesekali mengunyah nasi goreng di hadapannya. Saya menyimak ceritanya sambil sesekali menyesap kapucino panas. Malam itu kami berada di salah satu kafe di tengah Kota Yogyakarta.
Sekilas, Nanda tampak seperti generasi Z pada umumnya. Ia sangat akrab dengan teknologi, punya perhatian lebih terhadap kesehatan mental, dan mengidolakan Taylor Swift. Dalam banyak hal, ia mengingatkan saya pada beberapa mahasiswa saya yang juga adalah generasi Z. Meski selalu terhubung dengan dunia digital, Nanda cenderung mengisolasi diri dari lingkungan sekitarnya. Ia selalu menyembunyikan foto profilnya di WhatsApp. Ia juga mengunci akun Instagram-nya, padahal di akun tersebut tidak ada postingan apa pun.
Baca juga:
Namun, apa yang dituturkan Nanda malam itu membuat saya menyadari satu hal. Betapa pun sentimen negatif sering kali ditujukan pada generasi Z, saya kira mereka juga menginginkan hal yang juga lazim diinginkan siapa pun—tanpa perlu ada pengotak-kotakan generasi. Nanda saat ini kuliah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Ia ingin segera lulus dan dapat pekerjaan layak, sehingga dapat langsung lepas dari orang tua. Kemudian menikah, dan menjadi seorang ibu yang tetap memiliki karier. Suatu cita-cita yang tidak muluk. Sekadar ingin memiliki kehidupan yang baik di masa depan.
Kerentanan Generasi Z
Saya kira, setiap orang dari generasi apa pun pasti mendamba kebahagiaan, tak peduli mau seberapa carut-marutnya negara yang kita tinggali. Yang membedakan masing-masing kita adalah tingkat keberuntungan dan kesialan hidup, yang pada akhirnya menggiring kita pada pilihan-pilihan, dan seberapa besar kita mau memperjuangkan hidup yang lebih baik. Sebagaimana dikatakan Martin Heidegger, pada dasarnya kita semua terlempar ke dalam dunia, ke dalam fakta-fakta. Kita, ketika terlahir, hidup dalam dunia yang sudah terberi. Baik buruknya dunia yang kita tinggali harus kita terima dengan lapang dada, sekalipun harus hidup di tanah gersang dan diapit jurang.
Untuk ukuran kebanyakan orang, Nanda sepupu saya bisa dibilang cukup beruntung. Setiap bulan ia mendapat kiriman uang dari orang tuanya di kampung, sehingga masih bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, juga kebutuhan-kebutuhan lain untuk keperluan kuliah. Ia juga masih dikelilingi orang-orang yang menyayanginya. Karena berasal dari keluarga yang serba berkecukupan, kecerdasan yang dimilikinya pun cukup cemerlang.
Namun, kabar buruknya, privilese-privilese semacam itu kini tidak bisa lagi menjamin kehidupan yang lebih baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 9,89 juta penduduk Indonesia berusia 15-24 tahun menganggur per Agustus 2023. Usia 15-24 tahun itu menunjukkan kalau mereka yang menganggur itu adalah generasi Z. Pemerintah berdalih kalau tingginya pengangguran disebabkan ketidaksesuaian antara permintaan dunia kerja dengan sistem pendidikan.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan badai PHK sepanjang tahun 2024. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat setidaknya ada 53.000 pekerja yang dipecat sepanjang Januari sampai September 2024. Gelombang pemecatan ini diprediksi akan terus berlanjut sampai akhir 2024, angkanya bisa tembus sampai 70.000 pekerja. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) menyebut bahwa sejak UU Cipta Kerja disahkan memang belum ada pembukaan pabrik baru yang menyerap ribuan pekerja. Lapangan pekerjaan baru yang dijanjikan pemerintah tidak pernah terwujud. Alih-alih demikian, yang terjadi justru sekaratnya berbagai sektor industri. Bahkan, perusahaan teknologi seperti Tokopedia pun tidak lepas dari mimpi buruk ini. Perusahaan start-up kebanggaan Indonesia itu melakukan PHK masal pada Juni 2024.
Baca juga:
Dipecat dari pekerjaan lantas membuat banyak orang beralih ke pekerjaan informal. Beberapa kenalan saya memilih berjualan ayam geprek dan es teh jumbo. Ada juga yang memilih berbisnis produk kesehatan lewat platform daring. Tapi, menjadi pengusaha dadakan nyatanya sama sekali tidak mengubah apa pun karena rendahnya daya beli masyarakat. Lagipula, kalau semua serba berjualan dan buka lapak, siapa yang jadi pembeli? “Banyaknya orang berbisnis, justru bikin bisnis jadi tidak sehat,” kata mereka. Masalah struktural memang tidak bisa diselesaikan dengan solusi individual atau seminar-seminar kewirausahaan.
Kondisi sosial-ekonomi bangsa ini memang sungguh mengkhawatirkan. Tahun-tahun politik lantas membuatnya makin mengenaskan. Penguasa dan para elite lebih sibuk mengamankan kekuasaan dan kepentingan masing-masing. Jika keadaannya terus begini, maka hari-hari ke depan hanya akan jadi masa depan suram bagi generasi Z—generasi yang katanya akan jadi tumpuan untuk menuju Indonesia emas 2045. Dan jika generasi Z yang berasal dari keluarga beruntung saja masih harus pontang-panting memperbaiki nasib, lalu bagaimana dengan mereka yang sejak lahir hidupnya serba tidak beruntung?
Memutus Stigma tentang Generasi Z
Belakangan, saya sering membaca serial liputan “Underprivileged Gen Z” dari Project Multatuli. Serial itu mengungkap ihwal kehidupan generasi Z yang tidak pernah ditampilkan media-media arus utama. Di banyak tempat, termasuk di kota-kota besar, banyak generasi Z yang hidupnya sungguh menyedihkan: dirundung kemiskinan, jadi pekerja kasar, diupah murah, dikejar cicilan, dililit utang, dan rentan depresi. Mereka hidup di kampung-kampung, di gang-gang sempit, dan kawasan kumuh. Berbeda jauh dengan gambaran generasi Z yang selama ini ada di kepala banyak orang: melek teknologi, nongkrong di kafe, belanja barang-barang cantik, dan traveling sana-sini. Jangankan traveling, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja mereka harus memutar otak setiap harinya.
Mirisnya, kebanyakan orang Indonesia sudah kadung punya stigma negatif terhadap generasi Z. Generasi ini selalu dianggap lebih buruk dari generasi di atasnya. Mereka dianggap tidak loyal, rapuh, sering seenaknya, dan suka berlebihan menyoal kesehatan mentalnya. Anggapan-anggapan seperti itu tentu dibentuk oleh media, juga para politisi serta pemengaruh generasi tua ketika mereka berbicara tentang anak muda.
Orang-orang tua itu kerapkali membandingkan generasi Z dengan generasi mereka sendiri, yang mereka klaim lebih kuat dan lebih bermartabat; suatu perbandingan yang lebih terlihat sebagai ajang gagah-gagahan. Padahal, apa yang digambarkan tentang generasi Z itu belum tentu benar, dan sangat mungkin hanya mencerminkan sebagian kecil saja dari realita yang sesungguhnya.
Kacaunya lagi, penggambaran serampangan seperti itu juga kerap dinarasikan oleh akademisi. Rhenald Kasali, misalnya, suka sekali memberi embel-embel tidak mengenakkan terhadap generasi Z. Ia kerap menyebut generasi ini dengan sebutan generasi stroberi dan generasi instan. Lewat konten-kontennya, guru besar cum influencer ini juga kerap membangun narasi kalau generasi Z itu cerdas tapi mentalnya lemah, kreatif namun mudah kecewa, tidak punya daya juang, dan gampang menyerah. Begitulah, penggambaran yang sangat bias kelas.
Namun, katakanlah anggapan tidak baik tentang generasi Z itu ada benarnya. Tidakkah sebaiknya kita berpikir lebih jauh lagi? Menganalisisnya lebih dalam, dan menyibak persoalan kompleks di baliknya. Sangatlah tidak adil jika hanya melempar kesalahan pada anak-anak muda itu tanpa ada upaya mencari akar masalahnya, merunut sebab atas apa yang terjadi sekarang. Sebab, bukankah apa yang dihadapi oleh generasi Z saat ini adalah produk peninggalan generasi sebelumnya? Tidakkah kita berpikir bahwa problem-problem yang diidap mereka adalah akibat dari dosa-dosa masa lalu pendahulunya?
Baca juga:
Beban dari Generasi Sebelumnya
Rasanya sudah terlampau banyak kerusakan yang diperbuat oleh generasi tua bangsa ini, sehingga anak-anak muda sekarang harus menanggung akibat buruknya. Korupsi, kerusakan lingkungan, monopoli sumber daya dan properti, pembangunan yang timpang, dan regulasi yang tidak adil, adalah segelintir contoh warisan kerusakan dari mereka yang lebih dulu hidup di negeri ini. Mereka yang lahir lebih dulu, mereka pula yang semena-mena tanpa peduli anak cucu.
Kini, ketika anak-anak muda ini rusak mentalnya di tengah kehidupan yang serba sulit, apakah pantas generasi tua itu mengeluh sembari melupakan dosanya sendiri? Memangnya mental seperti apa yang mereka harapkan ada pada anak muda di tengah kemiskinan, ketidakadilan, dan negara yang korup? Demi Tuhan dan demi apa pun, sambatan para boomers itu sungguh norak dan menyebalkan.
Saya sendiri punya pengalaman tidak mengenakkan dengan generasi Z. Mahasiswa saya—yang kebanyakan juga generasi Z—terkadang mengeluh ketika saya beri tugas-tugas untuk dikerjakan. Mereka juga sering tidak tahan ketika saya beri bahan-bahan bacaan untuk keperluan tugas akhir. Maunya yang serba cepat dan tinggal enaknya saja. Tapi, saya pikir, tentu sangat tidak bijak jika kita hanya mencemooh tanpa ada iktikad baik untuk mengubah keadaan. Ada problem menahun di balik generasi Z yang tidak tahan membaca dan itu bukan semata-mata salah mereka. Selama ini pendidikan kita memang tidak pernah serius mencetak manusia Indonesia yang berkualitas dan lebih tunduk dengan logika pasar.
Kini, penting bagi kita semua untuk menyadari betapa destruktifnya tindakan generasi-generasi terdahulu—termasuk generasi saya sendiri—di masa lalu. Karena dengan menyadari kesalahan masa lalu, kita dapat segera mengambil tindakan yang dianggap perlu. Dan hentikan stigma-stigma negatif kepada generasi Z. Mereka harus didengar aspirasinya, dengan rasa kepedulian dan kasih sayang, bukan dengan rasa sentimen dan kemarahan. Menyayangi generasi Z, saya kira, adalah cara sederhana untuk merawat optimisme di tengah bayang-bayang masa depan suram.
Editor: Prihandini N