Di dunia kita saat ini, kota adalah tempat yang dituju oleh banyak orang. Kota adalah lokus pengharapan, ruang kebahagiaan, acuan atas keberhasilan kehidupan sekaligus penanda capaian peradaban. Kota menjadi magnet bagi orang-orang yang ingin menikmati hidup.
Di kota, dengan ragam arsitektur bangunan beserta fasilitas kemajuan dan kemodernan, harapan, impian, dan tujuan berada dan (seperti) tersedia. Kota memberikan harapan gambaran dan janji indah.
Tapi kota juga menghadapi permasalahannya sendiri. Kota-kota di Indonesia sebagian besar mengalami masalah sosial seperti ledakan penduduk, stratifikasi ekonomi yang tegas hingga konflik sosial yang meruncing.
Situasi pertumbuhan kota yang tidak terkendali, baik secara fisik maupun jiwa penduduknya, justru berpotensi menimbulkan ketidakbahagiaan personal dan problem komunal. Kota sering mengalami krisis, tak memberikan jaminan bagi penduduknya untuk mencapai hidup yang lebih bahagia. Kota menjadi permasalahan tersendiri akibat kegagalan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Dengannya, kota sebagai ruang hidup beralih definisi menjadi ruang kompetisi, konflik, dan konfrontasi. Kota yang diimpikan begitu melenakan, kini jadi terasa mengancam. Kota menjadi lokus dan situs yang mempresentasikan lakon hidup manusia—individual dan sosial.
Di kota, manusia menjadi robot-robot yang terprogram oleh jadwal-jadwal rutin kegiatan dan target kerja. Di kota, manusia-manusia menjadi mesin, mekanis. Berbagai peran yang dijalani manusia urban menjadikannya tidak sempat mencerna kota secara menyeluruh. Tempat tinggal, jalur yang dilintasi setiap hari, jejaring sosial, dan lainnya, menjadi lintasan, jika tidak kepingan kesadaran yang terlewat dan lupa dipersoalkan.
Nilai di Balik Peristiwa
Buku Tak Ada Bintang di Angkasa, yang ditulis Pandu Wijaya Saputra dan diterbitkan Galuh Patria Sleman ini, berusaha menangkap beberapa di antara banyak hal yang terlewat itu: hal-hal yang sebetulnya ada dan terjadi di kota, tapi seperti terjadi lalu seakan pergi tak kita sadari. Nilai dan makna yang berkelindan di balik banyak peristiwa yang selama ini dianggap tak berarti.
Ia membedah nilai-nilai kemanusiaan: tradisi, etika, dan nilai-nilai kekeluargaan hingga hubungan manusia dan lingkungan, lalu menguraikannya dalam elemen-elemen mendasar yang penting untuk membangun konsepsi konstruktif atas fenomena sosio-kultural atas kenyataan yang ada di masyarakat.
Dua puluh enam esai dalam buku setebal 114 halaman ini, terbagi dalam pembabakan yang seakan melukiskan siklus hidup: Dari Desa, Ke Kota dan Untuk Kita. Delapan esai bab pertama menggambarkan berbagai permasalahan yang terjadi di desa, tempat kebanyakan manusia di negara ini berasal. Ia membicarakan semisal tentang “Kisah Tempe dan Para Petani”, “Petani Objek Selfie”, “Ironi Hidden Gems” dan “Pasar Tradisional”. Ia menarik kita pada babak awal hidup, dan sebagaimana sebuah perjalanan (hidup) berarti ada yang ditinggalkan untuk menuju sesuatu. Dan yang ditinggalkan itu, kini menjadi sebuah permasalahan sosio-kultural laten di negara ini.
Di bab Ke Kota, sembilan esainya menggambarkan pernik-pernik kehidupan yang kita jalani di kota. Ia membicarakan “Gepeng”, “Penjual Koran dan Robot Sophia”, juga “Tentang Ekstremisme”—idiom-idiom yang menggambarkan masalah sosial kita selama ini.
Pun demikian, “Secuil Alam di Perkotaan”, “Didi Kempot” dan “Ruang Sunyi Perpustakaan Kota” menyiratkan langkah jauh yang dilakukan penulis menelusur kota dan menemu berbagai lanskap kehidupan di dalamnya. Tulisannya menyiratkan kesakitan, kelelahan, harapan dan kerinduan sekaligus atas pembayangan kota sebagai ruang kehidupan bersama.
Melalui serangkaian observasi tentang keseharian, mengutip kesan Martin Suryajaya tentangnya, buku ini mengajak kita “merenungkan kembali apa arti menjadi manusia di tengah kepungan modernitas: pengalaman hidup di kota yang semakin tak manusiawi, ingatan tentang desa yang perlahan mengecil jadi objek wisata, perjumpaan dengan orang lain yang lama kelamaan semakin tampak seperti barang dagangan”. Tulisan-tulisannya menanggapi, menafsir, memberi arti, dan mempersepsi lingkungan secara objektif, resiprokal, dan kontekstual dengan kehidupan masyarakatnya.
Iqbal Aji Daryono dalam endorsement-nya menyebut buku ini sebagai hasil “laku tapa ngrame. Bukan dalam makna “menjalankan darma dengan terjun ke tengah keramaian”, melainkan menemukan ruang hening di setiap keriuhan… yang begitu dinikmati. Kita diajak melompat ke sana dan ke sini, memahami bahwa hal-hal yang tampak sepele ternyata merupakan etalase saja dari realitas yang besar, yang kompleks”. Seperti tentang ekosistem yang rusak karena logika pembangunan (“Mahluk Penghuni Tanah Jajahan”), usaha memaknai logika kebudayaan (“Semangat Mengonsumsi Budaya”) hingga yang lebih esensial tentang permasalahan kehidupan (“Kematian”).
Tak ada Bintang di Angkasa menyimpan rekam jejak dari berbagai masalah yang ada dalam kehidupan masyarakat kita, sekaligus juga membuka ruang persepsi dan pemaknaan tentang bagaimana baiknya kita menyikapi masalah-masalah itu. Ia menjadi bentuk kegelisahan intelektual berbalut kemanusiaan yang menempatkannya sebagai pembelajar yang baik, yang selalu berusaha kritis terhadap apa yang ada di sekelilingnya.
Dengan alur pikiran yang runtut dan logis, bahkan terkesan sederhana, esainya tidak berdiri sendiri, tapi mengajak pembacanya menemui fakta yang berserakan pada kenyataan yang terjadi di keseharian. Juga merumuskan pengalaman untuk mendapatkan sebuah makna baru dari realitas, yang bisa menjadi refleksi kontekstual, seperti dapat ditemui dalam delapan esai di bab Untuk Kita. Seperti akhir jeda sebuah perjalanan, ia menyadarkan yang telah lewat dan bersiap untuk yang lebih baik.
Tapi seluruh suasana buku ini mengacu pada desa dan kota di Jawa. Padahal ada lanskap dan mozaik kehidupan kota lain yang patut direfleksikan juga. Sesuatu yang sebenarnya bisa menambah kaya warna, ragam perbandingan dan bobot makna penting buku ini.
Sehingga darinya kita bisa belajar menyelesaikan kontradiksi yang terjadi antara rasa jiwa, logika pikir, dan dinamika zaman yang makin membikin kita lupa akan makna diri kita dalam kehidupan. Bahwa kita sebagai manusia adalah penyusun peradaban, sebagai hasil interaksi dengan orang lain dan lingkungan juga segala sesuatu yang hadir di atasnya.
Dengannya kita bisa menyusun kembali makna ruang yang didasarkan pada beragam referensi nilai yang melatarinya. Tidak hanya pada patologi ruang-ruang yang terpinggirkan di jalur tatanan kota, tapi juga pada jiwa orang-orangnya.
Karena kota mestinya tak selalu jadi antologi cerita sedih, berita prihatin atau kisah frustrasi. Kita masih bisa berharap dan menanam harapan tentang kota hingga menuai kebahagiaan hidup bersamanya. Kota memang berubah, tapi kemanusiaan mesti selalu menjadi pondasi berpikir, referensi merasa, dan acuan bersikap dalam mengartikan hidup bersama yang mengacu pada gerak dan dinamika kehidupan.
*****
Editor: Moch Aldy MA