Konon, kampus adalah miniatur dari tata kehidupan bernegara. Kebebasan berpendapat menjadi pilar utama dalam napas kehidupan kampus. Nyatanya, iklim demokrasi justru sekarat di pangkuan perguruan tinggi kita hari ini.
Baru-baru ini, seorang dosen dibui karena memprotes kebijakan fakultas. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dipanggil pihak rektorat setelah mengkritik kebijakan pemerintah. Lantas, apa benar civitas akademika masih punya hak kebebasan bersuara?
Saiful Mahdi, dosen Fakultas Teknik Unsyiah, dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengkritik perekrutan pegawai di kampusnya. Ia digugat dengan tuduhan pencemaran nama baik oleh dekan fakultasnya sendiri. Upaya banding hingga kasasi yang dilakukannya, ditolak semua. Saiful menjalani eksekusi putusan vonis terhadap dirinya di Kejaksaan Negeri Banda Aceh, pada Kamis, 2 September 2021.
Kasus Saiful bermula ketika dia menulis di grup Whatsapp ‘Unsyiah Kita’ pada Maret 2019. Saiful mengkritik hasil penerimaan CPNS 2018 di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi, kemudian melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik, berbekal tulisan di grup Whatsapp tersebut. Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang.
Pemenjaraan Saiful jelas merupakan kemunduran demokrasi di ruang akademis. Dampaknya tak selesai sampai di balik jeruji penjara, melainkan juga berpengaruh pada merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap marwah perguruan tinggi. Birokrat kampus sudah seharusnya memberi teladan sikap bagi seluruh civitas akademika, bukan hanya menunjukkan betapa pandai mereka dalam memahami metodologi dan teori-teori.
Ranah akademis seharusnya bisa menjadi area netral dari penghakiman yang tergesa-gesa. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar terjadi dalam proses dialog di keseharian kampus. Bila dosen saja bisa cepat tersinggung karena dikritik kebijakannya, bagaimana mungkin dapat terbentuk cara berpikir inovatif yang muncul dari beragam perspektif?
Kasus Saiful menunjukkan betapa tak ada lagi tempat aman untuk menyuarakan pendapat. Bahkan di kampus, tempat segala macam ide seharusnya punya ruang untuk dibahas dan didebat secara sehat.
Sementara itu, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) langsung mendapat panggilan dari pihak rektorat setelah melayangkan kritik kepada Presiden Joko Widodo. Kritik itu disampaikan melalui postingan di media sosial BEM UI bertajuk, “Jokowi: The King of Lip Service”, Sabtu (26/6/2021).
Dalam postingan tersebut, BEM UI mengkritik Presiden Joko Widodo yang kerap mengobral janji. Selain itu, postingan itu juga menyindir perbedaan antara janji dan keputusan yang diambil Jokowi. Mulai terkait rindu demo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya.
Setelah itu, nama rektor Universitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro ramai diperbincangkan publik. Nama Ari semakin disorot lantaran dirinya diketahui merangkap jabatan sebagai komisaris di salah satu perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Rangkap jabatan Ari Kuncoro sebagai Rektor UI dan Wakil Komisaris Utama BUMN merupakan bentuk malaadministrasi karena bertentangan dengan Pasal 35 huruf c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI. Dalam Pasal 35 huruf c PP 68/2013 tersebut, rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat perusahaan BUMN/BUMD.
“Rektor dan wakil rektor dilarang merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.”
Polemik semakin pelik dengan adanya perubahan Statuta UI, setelah pemerintah tiba-tiba merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2013 dengan menerbitkan PP Nomor 75 Tahun 2021.
Atas perubahan pasal tersebut, Rektor UI menjadi sorotan lagi karena dianggap mendapat pembelaan dari pemerintah, setelah sebelumnya melanggar statuta.
Pasal 39 huruf c PP 75/2021 menyebut bahwa rangkap jabatan di BUMN/BUMN hanya dilarang untuk jabatan direksi.
“Rektor dan wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta.”
Ini artinya, pemerintah secara sengaja membukakan jalan bagi rektor UI untuk merangkap jabatan di posisi lain karena tidak disebutkan dalam pasal tersebut.
Polemik rangkap jabatan Rektor UI Ari Kuncoro akhirnya berujung pengunduran diri Ari dari jabatannya sebagai wakil komisaris utama Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Melihat manufer para birokrat kampus dalam melancarkan urusan karir pribadinya adalah gambaran ketidakseriusan mereka dalam membangun kualitas pendidikan tinggi. Apalagi kecurangan itu secara terang-terangan dibela oleh pemerintah. Tak heran bila mahasiswa mulai turun kembali menyuarakan aspirasi. Sebab, tak ada yang bisa diharapkan lagi dari Bapak Ibu dosen dan pejabat kampus, juga pemerintah yang sudah bersekongkol di belakangnya.
Mengingat pemerintah gemar menggembar-gemborkan program kampus merdeka, rasanya timpang bila dibandingkan dengan situasi di lapangan. Suara kritis dibungkam, bahkan dipenjarakan. Apanya yang merdeka?
Para pejabat kampus sibuk sendiri mencari pekerjaan sampingan. Mereka berlaga jadi tameng buat pemerintah saat mahasiswa menyampaikan suara kritis kepada publik. Sementara itu, peringkat pendidikan tinggi di Indonesia terus merosot drastis dari tahun ke tahun.
Universitas-universitas di Malaysia, misalnya, terus unggul dibanding kampus di Indonesia dalam daftar peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkatan kampus dunia Times Higher Education (THE) dalam kategori Asian University Ranking.
Data terbaru tahun 2021 menunjukkan University of Malaya berhasil menduduki peringkat ke-49 di Asia. Perguruan tinggi yang terletak di Kuala Lumpur ini sekaligus menjadi kampus nomor satu di negeri jiran.
Peringkat Universiti of Malaya bahkan berada jauh di atas universitas terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia (UI) yang berada di posisi 196. Berdasarkan rilis yang sama, dari Indonesia hanya UI yang berhasil menembus 200 besar jajaran kampus terbaik di Asia. Kondisi tahun sebelumnya kurang lebih hampir serupa di mana sejumlah perguruan tinggi Malaysia berada jauh di atas Indonesia.
Sementara peringkat UI bahkan melorot dari sebelumnya posisi 162. Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia tahun 2021 “hanya” berada pada peringkat 310. Merosot jauh dari tahun sebelumnya peringkat 264. Selain itu, ITS yang sebelumnya ada di posisi 312, turun menjadi 372. Kemudian IPB dari 381 turun ke 395. Ada pun UGM tahun lalu ada di peringkat 339 melorot ke posisi 385.
Ironisnya, banyak media memberitakan pencapaian UI yang berhasil masuk daftar 200 besar Universitas terbaik di Asia berdasarkan pemeringkatan THE. Padahal, peringkat itu bukanlah prestasi, bukan pula stagnansi. Itu justru degradasi drastis dari tahun ke tahun.
Fakta merosotnya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia berbanding terbalik dengan APBN yang terus meningkat untuk alokasi pendidikan.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut bahwa belanja negara untuk pendidikan pada tahun 2021 naik 5 kali lipat menjadi Rp550 triliun.
Dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa belanja pendidikan minimal 20 persen dari total belanja negara. Bahkan sejak tahun 2009 hingga sekarang belanja pendidikan terus meningkat.
Konstitusi amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 4 mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan biaya pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN maupun APBD agar masyarakat dapat menikmati pelayanan pendidikan.
Anggaran yang gemuk tentu harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Jangan asal klaim bahwa riset dan pengembangan kita yang terbaik, tapi menutup mata dari data yang semestinya jadi rujukan. Nyatanya, kita masih jauh tertinggal.
Pengelola pendidikan, khususnya kampus, harus serius dalam menentukan pimpinan dan jajarannya. Kompetensi mereka di bidangnya sudah jangan diragukan lagi. Namun, rupanya kita tidak hanya butuh orang yang pintar secara kognitif untuk membangun kampus. Diperlukan sosok yang cukup bijak yang tak mudah marah saat keputusannya dikritisi. Diperlukan sosok berintegritas dan berdedikasi agar tak mudah tergoda tawaran jabatan di sana dan sini.
Jika benar kampus adalah miniatur dari kehidupan bernegara, barangkali pembungkaman suara kritis mahasiswa dan pemenjaraan dosen lantaran mengkritisi kebijakan kampus juga merupakan mimesis dari situasi nyata yang sedang terjadi di negeri ini. Jika benar begitu, maka bukan hanya perguruan tinggi, tetapi negara ini juga perlu berbenah total dan mawas diri.