Redaksi Omong-Omong

Melihat Kampus dari Kacamata Joki Skripsi

Ghufroni An'ars

4 min read

Hari masih pagi ketika seseorang yang mengaku junior saya di kampus dulu mengirim pesan singkat. Belum sempat saya baca, dia menelepon saya. Suaranya terdengar gemetar.

“Bang… Ada kenalan joki skripsi gak?”

Begitulah kiranya yang dia katakan. Mengapa dan bagaimana bisa dia menghubungi saya, itu tak sempat saya tanyakan.

“Kalau gak dapet, kayaknya gue bakal kena DO,” tambahnya.

Setelah beberapa lama saya bengong, saya pikir tak ada salahnya juga membantu dia. Saya putuskan bertanya pada beberapa kawan lama yang masih berkuliah, lalu saya dikirimi beberapa rekomendasi nama. Saya kirimkan kontak mereka kepada adik tingkat saya itu.

Anehnya, pagi itu pikiran saya malah tak bisa berpaling dari istilah “joki skripsi”. Dulu semasa kuliah, saya mengenal kawan yang membuka jasa joki semacam itu. Hanya dia satu-satunya mahasiswa yang punya pekerjaan sampingan sebagai joki skripsi.

Pagi itu saya baru sadar, ternyata profesi joki skripsi dilakoni banyak orang, dan sangat dibutuhkan dalam situasi tertentu. Apa lagi hal-hal yang tidak saya tahu tentang joki skripsi? Karena penasaran, akhirnya saya putuskan mencari jawabannya.

Dari kawan yang tadi itu, saya mendapatkan kontak seorang mahasiswi bernama Mala (bukan nama sebenarnya). Mala adalah seorang mahasiswi tingkat magister di sebuah perguruan tinggi di Lampung yang juga menekuni pekerjaan sampingannya sebagai joki skripsi.

Mala sudah menjadi joki skripsi sejak ia duduk di semester 3, di jenjang sarjana (2017). Ketika itu ia diminta seorang kawan untuk membantu mengerjakan tugas berupa laporan milik sekelompok mahasiswa jurusan lain. Setelah melakukan tugasnya dengan baik, Mala pun mulai ditawari berbagai pekerjaan sampingan yang akhirnya berujung pada awal karirnya sebagai joki skripsi.

Sebagai seorang joki, Mala mengaku bahwa tugasnya sangat spesifik. Ia hanya harus mengerjakan skripsi dari revisi yang diberikan klien. Kliennya adalah mahasiswa lain yang memercayakan Mala untuk mengerjakan skripsinya.

Mala hanya mau menerima skripsi yang linier dengan jurusannya karena alasan referensi yang dibutuhkan akan lebih mudah didapatkan. Di luar itu, ia akan menolak kerjasama yang diajukan. Ia mengaku sudah menolak 3 skripsi yang dianggap kurang linier dan malah bisa menyulitkan dirinya sendiri jika dikerjakan.

Untuk satu judul skripsi, Mala memberikan tenggat waktu paling lambat 3 bulan sampai skripsi tersebut disetujui untuk cetak. Selama tenggat waktu itu, ia akan mendampingi proses penyusunan sampai bimbingan skripsi selesai. Sebagai imbalannya, ia akan dibayar sebesar Rp 1.000.000-1.500.000,- bergantung pada tingkat kerumitan penelitian.

Saat ini Mala lebih sering menerima pekerjaan penyusunan tugas laporan. Sedangkan tawaran mengerjakan skripsi ia setop sementara, selagi aktivitas kuliah lanjutannya dirasa masih pada fase yang menyibukkan.

“Kalau untuk level gue yang gak punya banyak referensi sih belum worth it, ya. Ga sebanding antara kerja siang malemnya dengan bayaran yang dikasih. Tapi untuk joki-joki yang sudah senior, mereka berani pasang harga lebih tinggi dan bisa ngerjain beberapa penelitian sekaligus, mungkin ya bisa jadi (joki skripsi) worth it sebagai side job. Kalau gue sekarang fokus ambil tugas-tugas laporan aja, yang kerjanya jangka pendek tapi rutin,” ujar Mala dari sambungan telepon.

Mala juga menuturkan bahwa sebenarnya intensi utamanya terjun sebagai joki skripsi, selain mencari tambahan uang adalah karena rasa empatinya pada mahasiswa yang tidak mampu atau terdesak mengerjakan skripsi. Misalnya, dalam kasus mahasiswa semester tua yang diburu-buru untuk segera lulus karena batas masa studinya sudah akan berakhir.

“Kalau masih bisa sih mending garap (skripsi) sendiri, karena kalau dikerjakan orang memang sudah pasti selesai, tapi kualitasnya tanda tanya. Karena kalau joki itu fokusnya lolos pembimbing, bukan ngejar kualitas. Lagipula pengalaman bikin skripsi kan cuma sekali, dan nama lo akan selamanya ada di skripsi itu. Mending ditelatenin sendiri selagi masih bisa.”

Dari Mala, saya mendapatkan kontak seorang joki akademis yang katanya lebih senior. Untuk selanjutnya, saya akan perkenalkan dia sebagai Aldi (bukan nama sebenarnya). Aldi sudah menjadi joki skripsi sejak 2016. Saat ini Aldi telah merampungkan kuliah tingkat magister dan bekerja penuh waktu sebagai guru di sebuah SMP di Lampung.

Melalui sambungan telepon, Aldi menuturkan bahwa awal mula dirinya dan beberapa orang lainnya terjun menjadi joki skripsi adalah karena ajakan kawan atau senior.

Menurutnya, ada semacam ekosistem kecil di kampusnya yang fungsi utamanya adalah menyalurkan mahasiswa yang butuh joki, pada mahasiswa yang mampu dan bersedia menjadi joki.

Lingkup pekerjaan Aldi sebagai joki terbilang lebih luas dibanding Mala. Aldi menuturkan bahwa dirinya menerima tidak hanya skripsi. Ketika berkuliah sebagai mahasiswa magister, Aldi juga mengerjakan tesis dan jurnal, baik yang nasional maupun internasional. Menurutnya, sampai sekarang ia sudah mengerjakan 4 skripsi, 3 tesis, dan 10 jurnal.

“Kalo soal harga biasanya gue konsul ke senior kisarannya sekarang berapa. Tapi gue seringnya kasih lebih murah dari kisaran harga mereka. Misalnya untuk jurnal, kalau mereka mematok Rp 3.500.000,- gue ambil di kisaran Rp 2.000.000,- per judul. Kalau untuk skripsi atau tesis, bisa sekitar Rp 2.000.000-4.000.000,- per judul,” ujar Aldi.

Dalam satu kloter, secara bersamaan Aldi mampu menangani 2-3 judul penelitian. Jumlah itu dirasa sudah cukup padat dan menyita waktunya. Selain itu, ia juga masih harus menuntaskan tugasnya pada pekerjaan utamanya sebagai guru.

Menurut Aldi, ada beberapa faktor yang mendorong mahasiswa untuk menggunakan jasa joki skripsi. Pertama, mereka malas berpikir, terhimpit masa studi yang akan segera berakhir, kesulitan mencari sumber rujukan, dan punya uang. Alasan-alasan itu yang selama ini ia temui dari klien-kliennya. Tak jarang Aldi juga merasa kesal bila menemukan klien yang tidak kooperatif.

“Pengalaman paling ribet ya ini… karena dia (klien) emang terlalu bodoh. Cara chat dosen gak paham, cara buat power point gak paham, cara presentasi gak paham, cara menjawab gak paham, cara basa-basi ke dosen pun ga paham. Iya, jadi kita yang ngerjain juga kelihatan gak bagus, karena urusan etis gitu membuat dosen sentimen terhadap dia. Sentimen ke dia juga membuat skripsi yang udah kita buat, jadi keliatan sangat buruk di mata dosen. Dampaknya, proses bimbingan jadi tambah lama,” ujar Aldi.

Sementara itu, Aldi juga menuturkan bahwa sebenarnya keberadaan joki skripsi di kampusnya sudah menjadi rahasia umum. Bukan hanya di kalangan mahasiswa, tetapi dosen juga sudah banyak mengetahui bahwa terdapat praktik ilegal ini dalam lingkungan akademis.

“Dosen pasti tau. Mereka juga pernah S-1, pernah S-2. Pasti paham kalo masalah perjokian. Pola seperti ini bukan hal baru dan bukan hanya dilakukan di tingkat bawah. Malahan ada juga dosen yang mengarahkan mahasiswa ke orang tertentu.”

Menurut Aldi, keberadaan joki skripsi juga kurang lebih punya andil dalam menjaga kualitas penelitian mahasiswa. Terlepas dari aktivitasnya yang terbilang ilegal, joki skripsi adalah mereka yang sudah terbiasa berurusan dengan penelitian. Pola-pola metodologis sudah menjadi mainan sehari-hari di kepala mereka.

Adanya mahasiswa yang tidak mampu menyusun skripsi yang sesuai standar, juga menjadi kekhawatiran bagi kampus. Oleh karena itu, keberadaan joki skripsi tak pernah diusik atau ditertibkan secara akademis. Kemampuannya diketahui dan dimanfaatkan, tapi keberadaannya diabaikan seolah-seolah mereka memang tak ada.

Di saat banyak kampus  bersusah-payah menampilkan citra paling baik, dari entitasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermartabat, praktik-praktik ilegal seperti joki skripsi masih marak terjadi.

Situasi ini membuat saya dan mungkin juga Anda bertanya-tanya. Apakah kampus kita hari ini telah memasang standar yang terlalu tinggi sehingga banyak mahasiswa yang memilih jalan pintas dalam menuntaskan studi?

Apakah persoalan ini berkaitan dengan buruknya proses seleksi penerimaan mahasiswa, misalnya pada jalur tertentu, yang memungkinkan seseorang bisa masuk universitas dengan syarat membayar uang pangkal yang tinggi?

Apakah fenomena joki skripsi ini hanya terjadi pada sebagian kecil kampus kita, sementara kualitas penelitian kita benar-benar sudah baik dari berbagai sisi, seperti yang tercantum dalam berbagai situs pemeringkatan?

Mari sama-sama kita renungkan.

Denyut kehidupan kampus memang tak bisa dilepaskan dari aktivitas penelitian dan penyusunan tugas akhir, baik berupa skripsi, jurnal, tesis, maupun desertasi. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan akademis yang terkesan tertib itu, terdapat orang-orang yang bekerja secara anonim bagai hantu. Mereka yang namanya tak ada di halaman sampul atau pengesahan, tetapi bertanggung jawab mengerjakan seluruh isi penelitian.

Mereka adalah “penulis hantu” yang bekerja menyusun penelitian atas nama orang lain, dengan imbalan sesuai kesepakatan. Bila banyak mitos mistis tentang hantu yang beredar di kampus-kampus, mereka, joki skripsi adalah hantu yang paling nyata keberadaannya.

Ghufroni An'ars
Ghufroni An'ars Redaksi Omong-Omong

One Reply to “Melihat Kampus dari Kacamata Joki Skripsi”

  1. Kalau menurut saya mah kak, kurangnya pengetahuan lebih mendalam dari dosen dalam menjelaskan apa apa soal melakukan penelitian. Dan ini terjadi juga oleh saya sendiri. Dosen saya itu ngadain presentasi, di mana satu per satu kelompok bakal maju dan menjelaskan materi yang udah ditentukan. Tapi mahasiswa sendiri, sama sekali belum paham soal penelitian bukan? Dan mereka pasti udah bosen atau cepet ngantuk kalau baca skripsi, jurnal dan artikel ilmiah? Itu baru dari dosen. Untuk mahasiswa adalah… Ya, kita tahu sendiri bahwa warga Indonesia itu warga yang paling malas baca buku, enggak heran juga kalau mereka pun bingung darimana saja cari sumber atau referensi. Jangan lupakan juga, standar kelulusan dari perguruan tinggi yang kurang bervariasi. Maksud saya, kenapa semua perguruan tinggi di indonesia tidak memberikan kebebasan pada mahasiswa dalam menyelesaikan studinya selain membuat skripsi? Saya juga belum terlalu paham mendalam, apa benar di semua jurusan perguruan tinggi cuma nyuruh mahasiswa buat skripsi sebagai standar kelulusan. Tapi dari fenomena joki skripsi saja sudah membuktikan bahwa ada yang salah dari sistem pendidikan perguruan tinggi, kurangnya literasi dan kebanyakan dosen pembimbing yang ngartis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email