Hal-hal yang dibicarakan perihal dunia akademik kini erat dengan kepentingan-kepentingan para elit. Tidak keliru kiranya untuk mengatakan bahwa yang diutamakan di institusi pendidikan tinggi justru jabatan dan uang. Misalnya, kasus suap rektor hingga pemberian gelar honoris causa kepada para politikus secara cuma-cuma.
Beberapa waktu lalu, Ketua DPR RI, Puan Maharani baru saja mendapat gelar kehormatan honoris causa di bidang politik dari Pukyong National University, Korea Selatan. Padahal, beliau baru saja menemukan sebuah inovasi baru dalam menanam padi, kok, nggak dapat gelar kehormatan di bidang pertanian saja, ya? Ini merupakan kali kedua Puan mendapat gelar kehormatan tersebut setelah mendapat gelar honoris causa dari Universitas Diponegoro dua tahun lalu.
Baca juga:
Tak kurang-kurang publik membahas fenomena penganugerahan gelar honoris causa bagi pejabat yang punya citra kontroversial dan rekam jejak meresahkan. Pada tahun 2021 lalu, ibu dari Bu Puan, Megawati Soekarnoputri mendapat gelar honoris causa yang ke-9 dari Universitas Pertahanan. Pemberian gelar untuk Megawati ini lantas menuai banyak pertanyaan baik dari netizen maupun para akademisi.
Tak hanya ibu-anak “legendaris” ini, Muhaimin Iskandar juga pernah mendapat gelar honoris causa di bidang sosiologi politik dari Universitas Airlangga. Pemberian gelar itu pun lantas ditolak oleh Departemen Ilmu Politik UNAIR karena Muhaimin tidak memenuhi persyaratan. Begitu pula polemik internal aliansi dosen Universitas Negeri Jakarta yang menolak pemberian gelar honoris causa oleh UNJ untuk Ma’ruf Amin tahun 2021 lalu.
Tren culas yang telah berlangsung sejak lama ini dipertegas kembali oleh Bu Puan. Hebatnya, gelar honoris causa yang baru didapatkannya itu berasal dari salah satu perguruan tinggi di Korea Selatan. Seolah telah belajar dari kontroversi pemberian gelar yang didapat oleh ibunya dari kampus dalam negeri tahun lalu, gelar yang didapat Mbak Puan kali ini berasal dari universitas luar negeri. Jalan teraman yang minim kontroversi dan boleh jadi terkesan lebih bergengsi.
Baca juga:
Legitimasi Politik
Gelar akademik berstatus sakral di masyarakat kita. Mendapatkannya tak bisa sembarangan. Banyak orang yang mati-matian berusaha sehat mental agar tetap bertahan mengerjakan tesis atau skripsi. Banyak juga orang yang rela banting tulang bekerja agar tetap bisa membiayai kuliahnya sendiri. Sementara itu, bagi para politikus, gelar akademik semata-mata upaya memperkuat legitimasi politik atas nama diri sendiri dan kelompoknya tanpa ribet memikirkan metodologi penelitian, apalagi melakukan penelitian.
Pemberian gelar tersebut mungkin tidak akan menjadi masalah jika memang si politikus berjasa bagi kehidupan masyarakat hingga. Sebelum gelar diberikan pun ada baiknya institusi pemberi gelar menelusuri dan menimbang rekam jejak beserta kerja-kerja politikus yang bersangkutan. Satu lagi, gelar kehormatan semestinya tidak diberikan saat momen-momen menjelang pemilu seperti saat ini. Intensi terselubung dalam pemberian gelar honoris causa ini kian mencolok dengan masifnya pemberitaan oleh media-media besar.
Tulisan lain oleh Anisah Meidayanti:
“Sekarang saya masih menunggu lagi lima gelar. Karena itu saya katakan, ‘Ibu harus kamu kalahkan,’” respons Megawati pasca anaknya mendapat gelar kehormatan tersebut. Kesannya, semakin banyak gelar akan turut memperkuat dominasi kekuasaan yang diturunkan kepada anaknya. Mega berkilah, pemberian gelar adalah pembuktian bahwa perempuan juga bisa mendapat gelar. Belum lagi pernyataan Puan yang mendedikasikan gelarnya untuk para perempuan RI.
Wah, terima kasih, lho, Mbak. Semoga banyak perempuan yang bukan berasal dari keluarga elit bisa menempuh pendidikan akademik. Semoga banyak juga perempuan yang mendapat gelar honoris causa dan menjadi pemimpin di ranah politik. Biar nggak Mbak Puan dan Bu Mega aja yang mendominasi, hehe.
Editor: Emma Amelia