“Kopi tetap saja kopi,” kata Lida. Gadis yang baru saja kukenal di kereta tadi. Tampaknya ia melihat penolakanku terhadap kopi yang baru saja kucicipi. Tampak jelas dari raut wajahnya yang seketika berubah.
Aku hanya tersenyum pahit sembari menelan sisa ampas kopi yang masih menempel di bibirku. Aku gelagapan. Sempat lupa ada gadis yang duduk denganku.
“Aku harus terbiasa. Cuaca di sini memang tak pernah baik. Orang-orang minum kopi hanya untuk menyulut hari, supaya tidak kalah!” tambahnya.
Aku menggeser cangkirku, menggetarkan cairan hitam yang utuh di dalam. Wajahku masih lurus ke jalanan di seberang yang menguap sama seperti kopiku yang masih berasap. Sedangkan pikiranku tentu saja pulang. Mengingat lagi biji kopi Jawa-ku yang kupanen bulan lalu. Kutinggal begitu saja setelah selesai kusangrai dan kutumbuk halus.
“Di sana nanti juga pasti ada kopi, Mak.”
“Kau tidak mengerti tabiat kopi.”
“Dulu bapakku pernah bilang. Di kampung, kopi diseduh untuk meredakan kepala. Kalau sedang rindu kopi, pulang saja. Sejak saat itu, aku selalu pulang dua bulan sekali untuk menyeduh kopi meskipun hanya semalam.“
“Jadi, kau baru saja pulang?” tanyaku.
Dia mengangguk 3 kali tanpa mengurangi senyumnya.
Pantas kau masih girang betul. Batinku.
Sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Ada berbagai pertanyaan yang muncul saat melihat orang-orang lalu lalang di halaman ruko dan hidungku mencium aroma tumpang tindih. Pengap. Kotor.
“Bagaimana mereka bisa bertahan di sini. Kenapa orang-orang membikin tempat seperti ini.”
Akhirnya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku samar. Setengah bergumam. Lida mengerutkan keningnya, tampak berusaha mencerna ujung dari pertanyaanku.
Pagi baru saja menetas. Delapan. Jarum jam pendek di tanganku sudah kokoh mengacung. Kenapa mereka berlari. Aku memandangi matahari pagi yang belum matang benar tapi sudah cerah. Telanjang. Tanpa awan. Tanpa penghalang. Seperti ada seleret cahaya panas matahari yang melecut orang-orang di jalan. Pecut yang membuat mereka terus bergerak. Terus berjalan. Mengejar waktu yang terus menyempitkan ruang dari belakang.
Aku mengatur napas lagi. Bukan untuk melancarkan peredaran darah. Tapi, kata orang-orang, saat kita memelankan napas, waktu juga akan ikut memelan.
Lida tertawa.
“Bodoh. Kau tidak bisa membedakan bicara dengan mulut dan batin. Kau dapat filosofi itu dari mana?” tanyanya.
“Entah. Tumbuhan mungkin.”
“Tumbuhan?” Ia tertawa makin lepas, “Kenapa tidak hewan sekalian?”
Lida masih belum mampu meredam tawanya. Sementara aku masih membedakan diriku dengan hewan.
“Lebih baik menjadi tumbuhan. Tumbuhan itu bijak. Mereka tak pernah mempermasalahkan kelamin apalagi agama. Kau pernah dengar, pohon beragama?”
“Tidak. Kau pernah berbincang dengan mereka?”
“Tentu saja. Mereka bilang, harus ada yang menjaga udara siang dan malam.”
“Ngawur! Kau harus punya alasan yang masuk akal jika ingin menjadi tumbuhan.”
“Sejak kapan dunia masuk akal. Bukannya hanya tumbuhan yang bercinta dengan cara yang paling beradab? Tapi, sudahlah. Aku mau mencari kerja.”
“Kerja apa?”
“Kau sendiri kerja apa?”
“SPG di toko arloji.”
“Di mana?”
“Tamrin.”
“SPG?”
“Ya. Aku hanya perlu berdiri di dekat pintu dan tersenyum.”
“Dan dibayar?”
“Ya, tentu saja. Kau pikir pakai hak tinggi tidak lelah? Kau pikir tersenyum tidak lelah?”
“Kenapa tersenyum lelah?”
“Coba saja sendiri.”
“Jadi SPG?”
“Tidak, bodoh. Kau bisa mengemudi?”
“Pernah.”
“Bosku baik. Apalagi dengan orang rantau. Mungkin dia butuh sopir. Oh, ya siapa namamu?”
“Tuhar.”
Sebenarnya aku malas kerja dengan orang. Aku paling malas diperintah-perintah. Saat di kampung, biasanya aku tidak pernah menuruti siapapun yang bukan dari keluargaku. Tapi di sini, aku harus menunduk. Aku bukan anak tokoh pemuka kampung lagi. Malahan, aku bukan siapa-siapa. Sebentar lagi, aku akan berebut sisa makan. Menjilat tangan-tangan bos. Mencicipi uang haram.
Panas sengangar. Gedung pencakar. Orang lalu lalang. Wajah-wajah merah menunggu kesempatan orang lengah. Semuanya berjalan cepat. Orang-orang di jalan. Selamat datang di hutan rimba. Siapa pintar, dia makan.
“Mana surat lamaranmu?”
“Surat apa?”
“Bodoh. Kau pikir kau mau kerja dengan siapa!”
“Ee …”
“Sudahlah. Mari kukenalkan ke bosku.”
Tidak sengaja aku melihat label harga salah satu arloji di dalam etalase. Dua juta. Satu buah. Satu arloji. Dapat tiga karung kopi di kampungku. Untuk minum tiga dusun. Tiga hari tiga malam.
“Dapat dari mana?”
“Dari Jawa, Pak.” Lida mengenalkanku pada orang ini seperti menunjukkan barang temuan. Katanya itu sudah umum di kota perantauan.
Lelaki tambun. Kepala empat. Perut bundar. Kalung emas. Jam tangan stainless. Kemeja cerah. Jenggot bekas cukur. Dia melihatku dari kaki sampai ubun-ubun. Aku juga. Dia akan menjadi bosku. Orang yang menyuruh-nyuruhku di kota yang panas ini. Dia yang akan memberiku makan. Dia majikanku. Dia yang harus aku jilat tangannya. Dia yang harus aku kasih kata-kata manis. Pujian-pujian yang sebelumnya jarang lewat keluar dari mulutku. Tapi aku tidak harus sampai menggonggong. Aku bukan anjing. Aku menegapkan dada. Aku manusia. Terhormat. Seperti dirinya.
“Bisa nyetir?”
“Bisa, Pak.”
“Ayo ikut Ambo. ”
Aku melirik Lida sedikit. Ia hanya memberi anggukan kecil. Seperti menyarankan supaya menurut saja.
“Jadi kau sudah lama jadi sopir?”
“E … anu,”
“Anu, anu. Puranni mandre? Kau sudah makan, kah?”
“Belum, Pak.”
“Panggil saya Ambo saja. Saya dari Bugis.”
Aku gagap memakai mobil otomatis itu. Tangan kiriku dari tadi mencari persneling. Kebiasaanku dulu. Di kampung aku biasa menyetir pick up untuk bawa hasil panen kopi ke tengkulak.
Baru dua ratus meter jalan pantatku sudah kepanasan. Hampir satu jam, macet bukan main.
“Kau ambil itu parkiran di depan. Kita makan dulu di warung.”
“Siap, Pak. Eh, Ambo.”
Aku mengutuk diriku sendiri berulang kali. Jauh-jauh pergi dari rumah hanya mau jadi jongos orang Bugis. Jadi jongos di tanah sendiri. Tanah Jawa. Tanah ibukota.
“Kau makanlah sesukamu. Ambil yang kau mau. Tubuhmu kurus kering begitu. Bagaimana mau jadi sopirku.”
Aku tidak selera dengan semua menu. Aku rindu klubanan. Aku rindu pecel. Tapi apa boleh buat. Aku mengambil telur asin dan dada ayam. Sementara bosku, dia membawa dua piring. Penuh.
“Siapa namamu tadi?”
“Tuhar.”
“Tuhar, aku tahu. Aku juga rindu kampung halaman sepertimu. Aku rindu tanah Bugis. Dulu semasa bujang, aku sudah suka mengembara. Aku sering pergi ke Galesong. Ikut nelayan. Naik kapal Patorani. Berburu telur ikan tuing-tuing. Ke pasar lelang ikan. Pulang membawa uang banyak.”
Aku diam. Aku sendiri tidak yakin apa aku juga benar-benar perantau. Seorang pengembara. Seorang lelaki yang tangguh. Yang akan pulang menemui keluarga dengan kabar gembira. Aku sendiri malah merasa sedang dalam pelarian. Lari dari diriku sendiri yang sebenarnya lebih suka ketenangan. Keselarasan. Keteraturan.
Tapi semacam ada yang menarikku ke kota besar ini. Untuk melihat peradaban lain. Sejauh mana manusia sudah hidup. Apakah manusia masih tetap manusia. Belum berevolusi.
Aku sibuk menatap bayangan menara operator seluler di genangan hitam di lubang aspal dekat jembatan. Daun-daun kering berserakan di trotoar. Bungkus-bungkus plastik tergeletak di sembarang tempat. Di sudut-sudut toko. Tempat sampah yang sudah penuh. Di gorong-gorong bacin. Siapapun tidak akan tahu, misalnya ada bayi di dalam salah satu bungkusan besar plastik itu.
Asap penggorengan di kaki lima sebelah tempatku makan masuk ke hidungku. Bau minyak yang sudah ke sekian puluh digunakan. Ambo tengah mengunyah sup babat sapi.
Benar kata ibuku di kampung. Sisi kebinatangan manusia baru terlihat ketika dia makan atau bercinta. Aku melihatnya sendiri di depanku. Bosku sendiri. Aku merasa jijik. Orang makan seperti bersenggama dengan makanannya sendiri. Bukan. Tapi seperti membantainya. Seperti serigala yang sedang menangkap buruannya. Tergesa. Karena takut dagingnya keburu busuk atau dihinggapi lalat, dan bertelur jadi belatung. Tapi ini manusia. Makanan manusia. Kenapa buru-buru. Tidak akan ada yang merebutnya. Nikmati saja. Pelan-pelan.
Di pojok warung kaki lima itu bosku menutupnya dengan kopi pekat dan sendawa. Tak lupa pemantik untuk melengkapi mulutnya. Jadi seperti naga. Aku baru sadar. Karena manusia bisa makan apa saja. Manusia juga bisa menjadi apa saja.
Mulutnya menganga sebesar kepalan orang dewasa. Mungkin ucapan salam dari perutnya yang bundar. Ucapan terima kasih.
Mereka bilang dia ini pemilik toko arloji kenamaan di Pasar Senen. Dia punya banyak ruko. Dia punya satu toko premium di Tamrin. Bagaimana dia bisa sukses. Menaklukkan kota orang lain.
***
“Mae, iki kopi sedep temen. Beda sama yang biasanya.”
“Saman harus ingat tujuan Saman ke kota. Kalau cuma mau jadi babu di kota orang, jadi babu saja di kota sendiri. Sekarang Bumdes sudah jadi. Koperasi sudah jadi. Mesin roasting sudah datang. Kopi Posong sudah terkenal. Kau malah merantau. Si Sukri, temanmu sekolah sekarang sudah jadi Carek. Yang lain ngurus Bumdes.”
“Aku pengen reti ono opo ning njobo, Mae.”
“Iyo, tapi jangan sampai Saman jadi babu.”
Apa salahnya jadi babu. Pikirku. Mental negeri ini memang babu. Sudah puluhan generasi jadi babu. Sekolah menyiapkan siswanya untuk menerima gaji. Negeri ini memang selalu butuh sandaran. Butuh bapak. Butuh bos besar. Mental kacung. Mental pengikut. Mental menerima. Mental disuruh. Apa pernah negeri ini mendeklarasikan menjadi pemimpin dunia. Kita hanya ingin damai. Sejahtera. Tenang. Duduk manis. Mendapat tunjangan.
“Nyong ikut pengusaha arloji, Mae.”
“Jadi opo?”
“Ndak penting jadi apa, Mae. Yang penting nyong bisa belajar. Dia dari Bugis. Katanya dia merantau ke kota 15 tahun yang lalu. Modal numpang kapal nelayan. Mae ndak tahu kapal Patorani, kan?”
“Saman jadi babu orang Bugis?”
“Ndak papa, Mak.”
Baru setahun yang lalu usiaku 23. Sekarang aku sudah mulai mengambil keputusan sendiri. Menanggung diri sendiri. Mengambil risiko. Menjalani keputusan. Ibuku pergi ke belakang. Merajang tembakau. Tampaknya malas menasihatiku lagi.
***
“Apa ini?”
“Kopi Posong, Ambo.’”
“Tahu saja kalau saya suka kopi.”
“Rasanya beda sama kopi Bugis, Ambo.’”
“Nanti saya coba. Di kampung, Ambo kalau tamu tidak mau menyentuh kopi yang dihidangkan, celaka itu orang.”
“Ya, tapi ini hanya bubuk roasting, Ambo.’”
“Ayo ke rumah. Saya seduhkan di sana. Mana nikmat minum kopi tak pakai kue ketan Bugis.”
Ibuku sebal, tapi ia malah membungkus bubuk kopi untuk bosku. Kopi Posong, aroma tembakau Kledung. Tapi aku tidak sempat mengecek isinya. Mungkin saja ibuku memasukkan obat di dalamnya supaya bosku lekas mati. Dan aku pulang ke rumah. Tinggal di kampung.
Bosku tidak main-main kalau masalah kopi. Ia langsung mengajakku pulang. Tak baik menelantarkan pemberian orang. Kopi itu harus segera dikonsumsi. Pamali!
Sementara aku masih khawatir ia tewas di rumahnya sendiri. Diracun oleh sopirnya sendiri.
“Biar saya saja yang nyeduh, Ambo.’”
“Mana bisa. Ini rumah saya. Kau tamunya.”
Guyonan apa barusan itu. Aku bukan tamu. Aku babu. Aku dianggap tamu karena masih baru. Apalagi aku bawa kopi bubuk ke rumahnya.
“Tapi lebih nikmat kalau orang asli yang menyeduh.”
“Semua kopi sama saja cara menyeduhnya. Orang-orang itu saja yang aneh-aneh.”
Aku menyerah. Aku pasrah. Aku urung mengecek kopi itu. Tapi mana mungkin ibuku setega itu. Ibuku bukan pembunuh. Hanya masalah sepele seperti ini. Batinku.
Srupppt!
“Antar saya ke Pasar Senen habis ini.”
Aku belum sadar benar. Masih mengawasi kopi hitam itu. Lancar saja melewati kerongkongan. Sekarang pasti sudah mengendap di lambungnya yang besar itu. Semua baik-baik saja.
“Ke ruko.” Ia menambahi.
Aku keringatan. Sesak napas. Bukan hanya karena cemas. Tapi bosku mengeluarkan bungkus rokok. Tentu saja ia merokok. Kopi selalu kawin dengan rokok. Siap-siap saja aku ikut menghirupnya.
“Kau merokok?” Ia menyodorkan
“Tidak.”
“Kau ini bagaimana. Kau yang bilang sendiri kalau kau punya kebun tembakau di kampung.”
“Iya, Ambo, tapi saya tidak merokok. Hanya ngopi saja.”
“Ah lucu sekali kau ini. Tembakau itu budaya. Budaya di kampungmu. Masak kau tidak melestarikannya. Saya ini, dulu di kampung, kau tahu tuak? Air nira. Kalau di Bugis namanya Ballo. Itu sudah budaya. Simbol kejantanan pria. Bahkan saya masih suka minum itu minuman, cari di Pasar Senen.”
“Kalau motifnya melestarikan budaya, ganja di Jamaika sana juga budaya, Tuan.”
Bosku terdiam. Ia tidak sadar sedang bicara serius dengan sopirnya. Ia mungkin kesal. Ia menekan rokoknya di asbak tengkorak kambing di ujung meja.
“Sudah kubilang, panggil ia’ Ambo.”
Ia beranjak mengambil koper. Mungkin isinya arloji. Aku ngebut ke mobil.
“Ambo itu apa?”
“Seharusnya kau panggil dia Daeng. Dia memang selalu berusaha akrab dengan karyawannya. Kita semua disuruh manggil dia Ambo.”
“Dia tidak punya anak?”
“Jangan tanya aku. Memangnya siapa aku. Simpanannya?”
Lida kesal seharian berdiri di toko. Tidak ada pelanggan sama sekali. Kaki ngilu. Jari kaki lecet menahan berat badan.
“Sepatu sialan!”
Ia melepas hak tinggi itu seperti baru saja melepas seragam prajurit Afghanistan.
“Bagaimana?”
“Panas.”
“Bukan. Kerjamu bagaimana?”
“Sudah kubilang panas.”
Kami seperti anak kecil yang baru saja pulang bermain. Mengeluh gerah. Lelah. Dan ingin pulang ke rumah.
Iya, pulang ke rumah.
“Aku ini bukan orang kaya, Har. Punya toko banyak bukan berarti uang banyak. Kau harus tahu itu.”
Aku hanya mengangguk. Seperti orang bodoh. Orang awam yang belum tahu kondisi perkotaan.
“Kuajari kau konsep pasar di kota besar ini. Jualan arloji tidak seperti jualan nasi ayam. Tidak setiap hari orang butuh jam tangan. Dua ruko di pasar Senen, Har, kalau kau mau tahu. Kalau dapat untung, kupakai untuk bayar pajak toko di Tamrin. Kalau di Tamrin yang untung, kupakai untuk bayar preman di Pasar Senen. Uang hanya muter di saku orang, Har. Ambo juga harus menggaji semua karyawan tepat waktu. Kau pikir uang yang sampai ke saya banyak?”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Naik turun. Seperti orang bodoh.
“Kenapa tidak buka satu toko saja. Biar tidak terlalu banyak karyawan yang dibayar.”
Ia tertawa. Menertawai kebodohanku. Lagipula, kenapa aku mau tahu.
“Bisnis itu seperti mancing, Har. Kau pernah mancing, kah? Makin banyak umpan yang kau tebar, makin banyak kemungkinan ikan nyangkut. Makin besar umpan yang kau pakai, makin besar kemungkinan ikan besar nyangkut. Kalau mau dapat untung banyak, kau harus berani. Tak boleh pelit.”
Perkataannya sore tadi masih erat di kepalaku. Aku harus mengingatnya dengan betul. Aku harus menceritakannya pada Emak. Ada konsep bisnis semacam itu di kota.
“Ambo, box-nya warna apa? Hitam atau cokelat?”
“Cokelat, yang cokelat. Jangan lupa kau kunci itu ruko.”
Malam begini aku harus kembali ke ruko. Ambil box arloji yang ketinggalan. Semua ruko sudah tutup. Preman-preman mabuk di seberang. Meski sudah malam cuaca masih panas. Gerah. Bagaimana orang-orang di dalam rumah itu bisa tidur. Nyamuk pasti gegas sekali masuk ke rumah. Orang-orang di sini juga pasti tidak kenal selimut.
“Ada korek?” Seseorang melintas. Tiba-tiba saja sudah berdiri di depanku.
“Tidak, Pak, maaf. Saya tidak merokok.”
Kenapa semua orang merokok. Kenapa juga ke mana-mana orang harus bawa korek. Kenapa senjata api dilarang tapi korek tidak. Korek bisa saja lebih berbahaya daripada senjata api. Bukannya korek yang lebih api. Bisa saja orang menjadikannya senjata. Tidak butuh peluru. Satu pantikan bisa membakar seluruh kota.
Ada yang salah dengan orang ini. Matanya merah. Seperti baru mabuk. Jaketnya lusuh. Pakai sepatu bot semata kaki. Celana levis. Intel. Penjaga pasar. Atau mau merampas box arloji ini?
Aku siap berkelahi. Aku siap mempertahankan box ini. Tapi kenapa? Kenapa juga aku harus mengorbankan diri demi gaji yang tak seberapa. Aku hanya perlu lari jika ia mengejar. Jika tertangkap. Kuserahkan saja. Tidak ada rencana aku mati di kota orang.
Tapi malam ini sangat panas. Tidak seperti biasa. Mungkin mau hujan. Kabut sudah mulai masuk ke lantai dua. Tapi pedas di mata. Aku ingat apa lagi yang pedas selain cabai atau merica. Cengkih kering. Bapak sering mengunyah cengkih kering. Katanya untuk menghangatkan perut. Saat musim penghujan, panenan tembakau menurun. Daun banyak yang busuk. Bapak sering melinting rajangan tembakau kering dan rajangan cengkih kering. Rokok orang gunung. Besar dan berat. Aku pernah mencoba. Hangat memang. Untuk melawan dingin pegunungan. Tapi jika hawanya panas seperti kota ini, kenapa orang masih merokok. Untuk apa?
Udara panas memang bukan kesukaanku. Manusia punya darah panas. Jadi memang tidak dirancang untuk tinggal di daerah panas. Manusia butuh tempat dingin. Untuk menghayati kehangatan. Orang hanya bisa merasakan kehangatan jika ia merasakan dingin dan panas dalam waktu bersamaan. Di antara keduanya kita bisa tidur dengan tenang. Dalam udara dingin, dalam selimut, dalam dekapan Ibu.
Mak, aku pengin pulang. Di sini terlalu panas. Aku mulai pusing. Aku lupa makan. Aku tidak sempat. Aku ingin menyeduh kopi, Mak. Mengukus singkong. Aku janji akan merokok lagi. Menemani Bapak di teras waktu sore. Melinting tembakau Kledung. Menyeduh kopi roastingan sendiri.
“Pada akhirnya rumah orang rantau itu kampung sendiri, Har. Orang rantau pasti pulang. Sesukses apa pun dia. Orang rantau tak lebih dari anak yang pergi bermain dan pulang sewaktu sore. Dalam keadaan apa pun ia setelah bermain, pasti pulang.”
Mak, Nyong pulang, Mak.
Sudah pulang.
Tubuhku sudah tidak panas.
Semuanya hangat. Ringan. Bahkan aku bisa merasakan angin masuk ke dalam tubuhku. Menerbangkannya ke mana-mana.
Semoga sampai rumah.
***
Editor: Ghufroni An’ars