Selama beberapa bulan terakhir banyak dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta disibukkan dengan kegiatan Kampus Merdeka Kemendikbud RI, yang salah satunya adalah Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM). Program PMM sejatinya dirancang untuk menumbuhkan karakter toleran di diri mahasiswa, bukan hanya lintas agama tetapi juga suku, bahasa, bahkan kelas sosial. Namun, tampaknya tujuan yang seabrek itu masih teramat utopis untuk bisa dicapai secara simultan hanya dengan mengirimkan mahasiswa ke kampus lain dan belajar selama satu semester di sana. Ada banyak aspek yang perlu dikaji kembali dari program ini.
Pada PMM tahun ini saya mendapat kesempatan untuk menjadi dosen pendamping (dosen Modul Nusantara) bagi mahasiswa pertukaran yang datang ke kampus tempat saya mengajar. Ketika proposal kegiatan yang saya ajukan diterima dan nama saya diumumkan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, ada rasa senang sekaligus khawatir. Sebab, saya tahu kegiatan ini secara nasional baru diadakan pertama kali di tahun lalu, dan tahun ini adalah yang kedua. Namun, sebisa mungkin saya tetap menyiapkan diri untuk memfasilitasi mahasiswa dengan segala kegiatan yang ada di dalam program. Seratus lebih mahasiswa datang ke kampus tempat saya mengajar, dan 19 di antaranya masuk dalam kelompok saya. Ada mahasiswa dari Jawa, Sulawesi, sampai Nusa Tenggara.
Seluruh biaya yang berkaitan dengan program ini, mulai dari tempat tinggal, uang makan, asuransi kesehatan, pelaksanaan kegiatan, sampai uang kuliah mahasiswa ditanggung pemerintah (dana dari LPDP yang disalurkan melalui Kemendikbud). Pokoknya mahasiswa pertukaran dijamin kehidupannya selama di tanah rantau. Proses perkuliahan bagi mahasiswa pertukaran sendiri dibagi dalam dua jenis, yaitu perkuliahan normatif yang memungkinkan mahasiswa untuk mengambil mata kuliah sesuai jurusan dan diperkenankan juga untuk mengambil lintas jurusan. Jenis kedua adalah perkuliahan Modul Nusantara, yang berisi kegiatan-kegiatan yang sifatnya mengenalkan mahasiswa pada kearifan lokal dan menumbuhkan semangat kebhinekaan. Namun, segala fasilitas itu adalah apa yang tertera di lembar pendaftaran program. Banyak yang harus disesuaikan dalam praktik di lapangan.
Kelas Sosial Perguruan Tinggi
Program PMM yang sejatinya dimaksudkan untuk menumbuhkan empati di diri mahasiswa terkait keragaman, pada praktiknya masih diikuti dengan semangat mengejar kampus top ten saja. Mentalitas itu bukan hanya tumbuh secara individu di diri mahasiswa, tetapi juga didukung oleh pemangku kebijakan di banyak perguruan tinggi. Hal itu menimbulkan penumpukan pendaftar di banyak kampus di pulau Jawa, dan menjadikan kampus-kampus lain sebagai kampus limpahan kedua. Mereka yang diterima di kampus kedua juga ada yang mengundurkan diri bahkan sebelum program dimulai. Skema tersebut didorong kebutuhan akreditasi kampus dan citra yang timbul bagi kampus yang mahasiswanya mampu diterima pertukaran di kampus top. Padahal, sedari awal proses pendaftaran yang dibuka sama sekali tidak menyeleksi mahasiswa dari aspek kognitif maupun dengan tipe soal seperti seleksi masuk perguruan tinggi pada umumnya.
Setiap mahasiswa hanya diminta menjawab soal pemahaman tentang wawasan budaya, toleransi beragama, dan nilai-nilai Pancasila. Soal-soal tersebut juga tidak disebut sebagai tes, melainkan Survei Kebhinekaan, yang mana pada akhirnya tidak ada perangkingan nilai. Jadi, mahasiswa yang diterima di suatu kampus, konon hanya didorong faktor lebih dulu mendaftar dibanding yang lain.
Adanya kesan pembabakan kelas sosial antar perguruan tinggi itu seharusnya bisa menjadi refleksi bagi setiap kampus peserta PMM, bahwa semangat PMM adalah untuk bertukar nilai-nilai kebudayaan yang ada dari pangkal Sabang sampai ujung Merauke. Setiap kampus adalah ruang-ruang setara yang terbuka untuk mendapatkan pengalaman yang sama baiknya. Mahasiswa dari kampus besar yang inbound di kampus kecil di pelosok negeri bukan berarti istimewa, dan mahasiswa yang berasal dari kampus kecil yang inbound di kampus ternama bukan berarti lebih berprestasi.
Di samping itu, panitia pusat juga memberikan apresiasi lebih kepada kampus pengirim dan penerima mahasiswa terbanyak. Tolok ukur kuantitatif itu justru di luar tujuan Program PMM dan dapat menimbulkan kesan bahwa mahasiswa pertukaran hanyalah angka-angka penunjang citra kampus semata.
Pontang-panting Pembiayaan Kegiatan
Secara umum pembiayaan PMM memang ditanggung sepenuhnya oleh panitia pusat (Kemendikbud dan LPDP RI). Namun, skema pelaporan yang berliku membuat dana kegiatan tertunda-tunda pencairannya. Di kampus saya sendiri sampai tulisan ini selesai ditulis dana kegiatan PMM masih ditanggung sepenuhnya oleh kampus, sementara menungggu dana dari pusat yang tak kunjung jelas kabar pencairannya. Padahal banyak kampus yang sudah selesai pelaksanaan programnya.
Tertunda-tundanya pendanaan kegiatan ini berdampak pada banyak hal, mulai dari skema kegiatan yang harus diubah dari proposal awal, sampai pada pengunduran diri dosen Modul Nusantara karena tidak bersedia menanggung (memberi pinjaman) biaya kegiatan yang tidak kecil.
Ketiadaan dana menyebabkan banyak kegiatan yang harus diubah dan mundur dari jadwal. Panitia pusat mengarahkan demikian, karena tampaknya mereka juga berada di posisi yang serba salah. Panitia pelaksana yang berkomunikasi langsung dengan dosen Modul Nusantara melalui grup adalah mereka yang berasal dari Kemendikbud, sementara mereka juga sama-sama masih menunggu kepastian turunnya dana dari LPDP.
Dalam pengubahan kegiatan itu pula banyak mahasiswa mengira bahwa pihak kampus yang mereka kunjungi sengaja mengganti kegiatan untuk mencari keuntungan sepihak. Mahasiswa kecewa karena mereka punya ekspektasi berdasarkan rancangan kegiatan yang telah mereka lihat di proposal dosen Modul Nusantara. Sementara tidak semua kampus sanggup memberi pinjaman dana pelaksanaan kegiatan PMM.
Mahasiswa Pertukaran Mencari Ruang Aman
Pada Oktober 2022 lalu, berita kurang baik terkait PMM datang dari berbagai media lokal dan nasional. Seorang mahasiswa PMM asal Jakarta yang inbound di salah satu perguruan tinggi di Riau diduga mendapat pelecehan seksual oleh sesama mahasiswa. Korban akhirnya dipulangkan dan sampai sekarang belum jelas bagaimana kelanjutan kasusnya.
Kasus tersebut seharusnya menjadi catatan utama bagi setiap pihak terkait, bukan hanya panitia pusat. Pihak kampus harus bertanggung jawab untuk memberikan ruang aman bagi setiap mahasiswa, terutama dari bahaya pelecehan seksual di lingkungan akademis. Dosen Modul Nusantara sebagai pihak yang paling intens berkomunikasi dengan para mahasiswa seharusnya juga bisa berperan sebagai pendengar dan penghubung dalam memediasi kejadian semacam ini.
Skema perlindungan pelecehan seksual di lingkungan akademis juga harus dipersiapkan. Sejauh ini belum ada arahan khusus dalam pencegahan dan penanggulangan kasus-kasus semacam ini baik bagi mahasiswa maupun arahan bagi dosen Modul Nusantara.
Program PMM yang tampak ingar-bingar dari luar nyatanya masih punya banyak pekerjaan rumah bagi setiap pihak terkait. Program ini memang masih teramat muda untuk dituntut macam-macam, tetapi kritik semacam ini adalah wujud kepedulian yang semoga sampai ke telinga para pemangku kebijakan. Bahwa di lapangan masih banyak pelaksanaan kegiatan yang belum sesuai dengan cita-cita.
Besar harapan saya Program PMM tetap konsisten untuk menumbuhkan semangat toleransi di diri anak bangsa. Semoga ada saatnya setiap civitas akademik bisa dengan bangga menyebut kampusnya sebagai Kampus Merdeka karena telah tidak ada ironi di dalamnya.
*****
Editor: Moch Aldy MA