Sejak terbitnya Frankenstein karya Mary Shelley di tahun 1818, genre horor terus berkembang dan beradaptasi dari masa ke masa. Sejak itu pula, media-media bergenre horor identik dengan keberadaan “subjek horor” yang menjadi inti dari media horor tersebut. Dalam literatur Barat, ada vampir atau alien, lalu ada genderuwo atau pocong dalam literatur Indonesia. Keberadaan monster atau hantu terus diandalkan sebagai elemen utama yang membangun esensi dari media horor.
Baca juga:
Namun, sepanjang perjalanannya, genre horor ternyata tidak selalu mengandalkan hantu atau monster. Misalnya, film serial Jaws (1975) atau film Rumah Dara (2009) yang menjadikan hiu dan manusia biasa—yang sama sekali bukan hantu atau monster—sebagai elemen utama. Hal ini tentu memunculkan pertanyaan terhadap stereotip film horor yang ekuivalen dengan keberadaan hantu dan monster. Lantas, apakah horor yang tidak mengandalkan wajah-wajah mengerikan dapat dikategorikan sebagai horor?
Dalam bukunya, Philosophy of Horror or Paradoxes of Heart, Noel Carroll menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan monster pada media horor bukan melulu monster yang kerap digambarkan dengan perawakan mengerikan seperti dalam cerita R. L. Stine. Monster, dalam konteks genre horor, merupakan subjek apa saja yang abnormal dan mengancam tatanan alami. Dua kriteria utama subjek-subjek tersebut adalah tidak murni (impure) dan mengancam (threatening).
Untuk menjelaskan ketidakmurnian, Carroll merujuk pada karya Mary Douglas, Purity and Danger, yang mendefinisikannya sebagai transgresi atau pelanggaran terhadap skema-skema pengelompokan dalam masyarakat, salah satunya adalah subjek dalam kategori interstisialis, yakni sesuatu yang bertempat di antara dua kelompok sehingga tidak masuk ke salah satunya. Suatu objek yang interstisialis menjadi tidak murni. Mereka tidak memenuhi beberapa persyaratan untuk menjadi bagian dari salah satu kelompok, tetapi, pada saat yang sama, memiliki keserupaan yang menjadikan mereka boleh dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Ambil contoh, tokoh Dara di film Rumah Dara. Ia tidak lain adalah manusia biasa dan, tentu saja, tidak memiliki perawakan tipikal monster atau hantu. Akan tetapi, yang menjadikannya “monster” dan “tidak murni”—dan barangkali juga mengancam tatanan alami—adalah fakta bahwa ia memiliki kecenderungan bersikap yang tidak sesuai dengan nilai moral yang dimiliki oleh dan dikonstruksikan pada manusia secara umum. Setidak-tidaknya, karakter Dara tidak umum pada latar budaya dalam cerita di media horor tersebut. Tokoh Dara pun jadi menyeramkan. Sebab, keberadaannya yang di antara manusia dan bukan-manusia itu menimbulkan transgresi dalam masyarakat.
Carroll juga menekankan bahwa “monster” bukan hanya bersifat tidak murni, tetapi ia juga harus “mengancam” (threatening) secara moral, sosial, atau, setidak-tidaknya, secara fisik. Monster bisa jadi memiliki perawakan yang menyeramkan, tetapi jika tidak mengancam, maka ia tidak dapat dijadikan subjek inti dalam media bergenre horor. Hal ini, misalnya, terdapat pada evolusi tokoh Grinch dalam dua film yang sama-sama menjadikannya tokoh utama yaitu The Grinch (2018) dan The Mean One (2022).
Di The Grinch (2018), monster Grinch digambarkan memiliki sifat yang mengganggu dan menyebalkan, tetapi tidak mengancam. Hal itu menjadikan film ini dikelompokkan dalam media bergenre komedi keluarga. Penonton filmnya pun akan berpikir bahwa film itu tetap bergenre komedi saat melihat Grinch yang penampilannya mengerikan.
Kondisinya jadi lain pada monster Grinch di film The Mean One (2022) yang digambarkan sebagai seorang pembunuh yang memakan korban. Tak hanya seram dan tidak murni, Grinch juga menjadi subjek yang mengancam, yang menimbulkan ketakutan pada diri orang-orang. Yang menjadikan film horor The Mean One (2022) cemerlang bukanlah ide bahwa pembunuhnya berwarna hijau dengan wajah mengerikan, tetapi bahwa Grinch, yang sebelumnya familiar dengan anak-anak dan hari liburan, berubah kejam.
Baca juga:
Tergantung seperti apa ragam perwujudan kriteria tidak murni (impure) dan mengancam (threatening), eksistensi subjek inti dalam genre horor dapat membangun esensi dari horor itu sendiri dengan memantik emosi tertentu pada diri audiensnya. Misalnya, perasaan terancam, ingin melepaskan diri dari sesuatu yang mengancam, dan rasa takut pada sesuatu yang mengerikan dan mungkin terjadi.
Selama subjek dalam genre horor merupakan sesuatu yang tidak murni dan tidak sejalan dengan tatanan alami, plus mengancam, maka ia dapat menghidupkan horor dan bermain-main dengan ketentraman yang sudah didefinisikan sedemikian rupa. Dengan kata lain, ia dapat menjadi monster tanpa harus tampil mengerikan.
Editor: Emma Amelia