Dari tahun ke tahun, terasa ada semacam pola dalam alur cerita yang, entah secara sadar atau tidak, diulang-ulang oleh sineas film horor Indonesia. Strategi pembangunan rasa takut dan kengerian dalam film horor lokal melulu begitu-begitu saja.
Oleh sebab itu, saya berekspektasi tinggi ketika berangkat menonton film KKN di Desa Penari. Saya penasaran, apa hal baru yang ditawarkan oleh film horor garapan sutradara Awi Suryadi ini sehingga berhasil mengalahkan Pengabdi Setan karya sutradara Joko Anwar yang hingga kini masih jadi buah bibir sejak dirilis lima tahun lalu?
Baca juga:
Alur film KKN di Desa Penari sangat mudah diikuti. Cerita berawal dari datangnya rombongan mahasisiwa dari suatu kampus ke sebuah desa untuk menjalani kuliah kerja nyata (KKN). Mereka adalah Widya (Adinda Thomas), Ayu (Aghniny Haque), Nur (Tissa Biani), Bima (Achmad Megantara), Anton (Calvin Jeremy), dan Wahyu (Fajar Nugraha). Mereka diterima oleh Pak Prabu (Kiki Narendra), penduduk setempat sekaligus penanggung jawab kelompok KKN mereka di desa tersebut.
Pak Prabu memandu mahasiswa KKN untuk menjelajahi desa, memetakan permasalahan yang bisa dijadikan program kerja, sekaligus memberikan nasihat-nasihat kepada mahasiswa tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di area desa tersebut. Salah satunya adalah larangan untuk melewati gapura batas antara desa dengan hutan.
Masalah muncul ketika Bima melewati gapura pembatas antara desa dan hutan. Bima membuat perjanjian dengan Badarawuhi, sosok lelembut penari penguasa hutan tersebut. Badarawuhi memberi Bima gelang berkekuatan supranatural yang bisa Bima gunakan untuk memikat Widya, teman KKN yang disukainya. Sebagai imbalan, Bima harus menikahi Badarawuhi.
Bima meminta tolong Ayu untuk memberikan gelang itu kepada Widya. Ayu ternyata menyukai Bima. Ia tidak pernah memberikan gelang itu kepada Widya. Kemudian, Ayu yang dipengaruhi lelembut berhubungan intim dengan Bima di sebuah pemandian tua. Hal ini membuat jiwa Ayu dan Bima terjebak di dunia gaib.
Singkat cerita, para mahasiswa KKN mengalami musibah karena melanggar larangan-larangan di desa itu. Kejadian demi kejadian gaib tak hanya mengacaukan rencana kerja KKN dan membuat gaduh warga desa, tetapi juga mulai mengancam keselamatan nyawa para mahasiswa KKN.
Terjebak Pola Lama
Saya cukup puas dan optimis dengan sinematografi, pembangunan karakter tokoh yang kuat di awal film, serta penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa utama film. Namun, saya masih menangkap pola-pola lama pada film-film horor Indonesia terdahulu di film KKN di Desa Penari. Setidaknya, ada tiga poin dari film ini yang bisa dibilang sudah sangat umum ditemui dalam film-film horor Indonesia sebelumnya.
Pertama, film ini sangat kaku dalam menggunakan dikotomi antara perbuatan baik dan perbuatan buruk. Film KKN di Desa Penari tak ubahnya seperti film dakwah yang memberikan pesan-pesan moral secara hitam putih.
Dikotomi itu terlihat dalam penggambaran sikap mahasiswa kota yang cenderung ngomong seenaknya dan penduduk desa yang tersinggung dengan tingkah mereka yang dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan yang ada di desa. Hal ini seperti ingin menguatkan stereotip mahasiswa yang pandai secara intelektual sering kali tidak kenal tata krama dan orang desa yang polos, baik, dan bijaksana.
Hukuman mati bagi pelanggar pantangan seperti batas hutan dan pelaku hubungan seksual juga disajikan secara klise tanpa ada kebaruan dalam penceritaan. Hal ini mengingatkan saya pada film-film horor lawas era Suzzana hingga film-film horor tahun 2000 ke atas seperti Jailangkung (2017).
Kedua, penggunaan nuansa etnik sebagai pembangun kesan mistis. Hal ini selalu diulang-ulang sehingga lama-lama jadi menjemukan. Sebelumnya, sudah ada beberapa film horor yang menggunakan instrumen dan ornamen etnik seperti Tembang Lingsir (2019) dan Nyi Blorong (1982). Meskipun membosankan, penggunaan nuansa etnik dalam film horor dapat bermanfaat untuk mengenalkan lagi aspek-aspek tradisi kepada generasi sekarang dan publik internasional.
Namun, ada sisi buruk yang menggelisahkan dari penggunaan nuansa etnik dalam film horor. Dengan mengeksploitasi aspek mistis dari suatu produk budaya, akan terbentuk perspektif bahwa budaya itu lekat dengan hal-hal yang menakutkan.
Selain itu, ada beberapa interpretasi aspek etnik dalam film yang keliru dan terkesan memaksa. Awalnya, film KKN di Desa Penari menggunakan bahasa Jawa dan lagu-lagu Jawa dengan iringan gamelan bertempo lambat. Namun, saat adegan pergelaran tari yang ditampilkan adalah tari Gandrung Banyuwangi lengkap dengan gamelan Banyuwangi yang bertempo cepat.
Kalau sejak awal film ini berbahasa Jawa, mengapa tidak menggunakan tari Jawa saja? Atau, kalau memang tari Gandrung yang ditampilkan di film, mengapa tidak menggunakan bahasa Osing sejak awal? Atau mungkin ini siasat sutradara untuk semakin mengacaukan interpretasi penonton tentang lokasi Desa Penari? Hanya sutradara yang tahu jawabnya.
Namun, bagi saya, ketidaksesuaian ini justru tampak seperti kolase budaya yang kurang halus. Tidak ada narasi atau petunjuk dalam film yang menjembatani transisi dua budaya dari dua daerah yang berbeda tersebut agar cerita menjadi runtut dan logis.
Baca juga:
Ketiga, maskulinitas atau budaya patriarki yang masih kental di film KKN di Desa Penari. Film ini menyumbang angka dalam persentase hantu perempuan yang sejak dulu selalu lebih banyak muncul di film horor ketimbang hantu laki-laki.
Hantu perempuan di film horor Indonesia, tak terkecuali KKN di Desa Penari, dicitrakan jahat. Mereka digambarkan punya ambisi membalas dendam atas kematian mereka dengan sangat sadis dan brutal. Sementara itu, tokoh suci atau sosok kuat yang mampu mengalahkan mereka adalah laki-laki. Ini menyiratkan dominasi laki-laki sebagai tokoh yang kuat, berkuasa, dan menjadi panutan.
Tokoh perempuan selain hantu di film ini lagi-lagi digambarkan sebagai sosok yang lemah, mudah diperdaya, penggoda, bahkan ceroboh. Mereka dituduh sebagai biang keladi dari semua permasalahan dan bencana yang muncul di sepanjang film.
Titik Cerah
Walau tidak menonjol, ada hal-hal baru dalam film ini yang layak diapresiasi. KKN di Desa Penari adalah film horor Indonesia pertama yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa utama sepanjang film.
Selanjutnya, film ini tidak menampilkan hantu semata-mata sebagai sosok yang menjijikkan dan mengerikan. Kesan menakutkan hantu-hantu di film ini justru dibangun melalui narasi yang kuat dan gestur tubuh yang meyakinkan. Selain itu, adegan yang berdarah-darah nyaris absen dari film ini. Hanya ada satu adegan berdarah, yaitu saat membuka bungkusan kepala monyet.
Terlepas dari baik dan buruknya, film KKN di Desa Penari tetaplah fenomenal. Ulasan tentang film ini bertebaran di media cetak maupun media daring memantik berbagai wacana, mulai dari latar tempat, tokoh, alur cerita, hingga keaslian cerita KKN tersebut. Prestasi film horor KKN di Desa Penari sebagai film nasional terlaris sepanjang masa menjadi tonggak sejarah pencapaian perfilman Indonesia yang semakin produktif dan bermasa depan cerah.
Editor: Emma Amelia