Manakah yang lebih berbahaya antara harimau tua di hutan belantara atau harimau yang bersemayam dalam diri tiap manusia?
Awalnya, saya mengira bahwa novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis lebih mengarah pada isu-isu ekologis seperti perburuan macan kumbang di novel Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda. Akan tetapi, novel ini justru membawa saya menjelajahi alam spiritual manusia yang rumitnya bukan main.
Baca juga: Kritik Sastra: Menilik Duet Arief Budiman dan Goenawan Mohamad
Novel ini menceritakan tujuh orang pengambil damar yaitu Pak Balam, Wak Katok, Pak Haji, Buyung, Sanip, Talib, dan Sutan. Mereka semua tinggal di kampung yang sama dan terkenal sebagai manusia yang baik budi pekertinya di mata orang-orang.
Perjalanan mereka mencari damar di dalam hutan belantara awalnya berjalan lancar sampai ketika mereka harus berhadapan dengan seekor harimau tua yang kelaparan. Harimau tua itu memang berbahaya, tapi harimau yang bersemayam di dalam diri mereka ternyata jauh lebih mengerikan.
Dalam usaha pencarian damar, mereka menginap di rumah Wak Hitam. Guru dari Wak Katok yang ilmu sihirnya konon sangat tinggi. Wak Hitam sudah sakit-sakitan di usia tuanya sehingga harus dirawat oleh istri mudanya bernama Siti Rubiyah. Total Wak Hitam memiliki empat orang istri dan telah kawin lebih dari seratus kali.
Kesialan mereka bermula saat Pak Balam diterkam harimau di pinggiran sungai. Pak Balam berhasil diselamatkan oleh mereka dengan kondisi penuh luka. Namun, bukan itu masalah sebenarnya. Masalah sebenarnya saat Pak Balam melakukan pengakuan dosa.
Dengan kondisi yang masih terbaring lemas, Pak Balam mengaku bermimpi bahwa mereka akan mendapat celaka sepanjang perjalanan karena telah melakukan banyak dosa-dosa besar. Dia menyuruh yang lainnya untuk segera memohon ampun kepada Tuhan sebelum terlambat.
Kemudian, Pak Balam membuka semua dosa-dosa yang telah dilakukannya bersama Wak Katok. Pak Balam dan Wak Katok sudah berteman sejak lama. Mereka pernah berada dalam satu pasukan yang sama saat melawan Belanda di tahun 1926.
Pak Balam mengungkapkan bahwa Wak Katok pernah membunuh Sarip, rekan seperjuangan mereka, yang terluka parah setelah diserang pasukan Belanda. Sarip dibunuhnya dan dilemparkan ke dalam sumur karena dianggap memperlambat pelarian. Selain itu, Wak Katok juga memperkosa istri Demang, kemudian membunuh Demang, Istri, dan ketiga anaknya serta mengambil semua harta yang mereka punya.
Meskipun Wak Katok yang melakukan dosa-dosa keji itu, Pak Balam merasa bersalah karena telah membiarkannya. Padahal, dia punya kesempatan untuk melarang Wak Katok berbuat dosa.
“… Orang yang membiarkan orang lain melakukan kejahatan dan dosa, sedang dia mampu menghalanginya sama besar dosanya dengan orang yang melakukan dosa itu.” – Halaman. 101
Sejak kejadian tersebut, hubungan mereka menjadi penuh rasa curiga. Wak Katok takut kehormatan yang didapatkannya selama ini akan sirna jika dosa-dosanya diketahui oleh warga kampung. Rasa segan Buyung dan yang lainnya juga mulai berkurang sejak dosa-dosa Wak Katok dibongkar.
Sebenarnya bukan hanya Wak Katok dan Pak Balam saja yang berdosa. Sanip mengaku pernah mencuri kerbau bersama Sutan dan Talib. Sutan yang pernah memperkosa seorang gadis yatim piatu berusia 13 tahun di Ladang. Pak Haji yang juga mengakui bahwa dirinya adalah pendosa ulung di masa lampau saat masih bekerja di luar negeri hingga Buyung yang berzinah dengan Siti Rubiyah. Mereka semua memiliki dosa yang disembunyikan dengan topeng kemunafikan.
Baca juga:
Jimat Tak Berguna
Wak Katok sangat disegani oleh orang-orang di kampung. Dia berumur lima puluh tahun dan berperawakan kukuh dan keras. Wak Katok juga dikenal sebagai ahli pencak silat, pemburu mahir, dan dukun besar di kampungnya. Begitu diseganinya dia sehingga banyak orang yang berguru padanya termasuk Sanip, Buyung, Sutan, dan Talib.
Ilmu sihir Wak Katok sudah tersohor di seantero kampung bahkan dia dikatakan bisa bertemu jin dan hantu. Dalam perjalanannya mencari damar, dia juga melengkapi dirinya dan keenam orang lainnya dengan berbagai macam jimat. Salah satunya adalah jimat penangkal hewan buas yang ujung-ujungnya tidak mampu menghindarkan mereka dari ancaman harimau.
Meskipun jimat yang diberikan Wak Katok tidak mempan pada Pak Balam, Talib, dan Sutan yang tewas karena gigitan harimau, dirinya masih dipercaya oleh yang lain. Kepercayaan itu baru sirna saat Sanip, Buyung, dan Pak Haji melihat Wak Katok yang ketakutan setengah mati sampai tidak bisa menembakkan senapannya saat pondok mereka diserang oleh harimau.
“Jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sanip, lihatlah di mana mereka kini, karena mempercayai engkau … mereka telah mati, telah binasa.” Halaman. 192
Sanip dan Buyung semakin tersadarkan saat mendengar kata-kata Pak Haji sebelum dia mengembuskan nafas terakhir. Pak Haji mengingatkan bahwa mereka masih memiliki waktu untuk bertaubat dan senantiasa percaya pada kuasa Tuhan bukan pada jimat-jimat yang tidak berguna.
Harimau Buas
“… sebelum kalian membunuh harimau yang buas itu, bunuhlah lebih dahulu harimau dalam hatimu sendiri.” – Halaman. 199
Mereka semua pernah berbuat zalim di hidupnya. Akan tetapi, mereka terlalu angkuh untuk meminta ampun kepada Tuhan. Barulah saat nyawa mereka terancam oleh seekor harimau tua, mereka mulai menyadari betapa kecilnya manusia di hadapan kuasa Tuhan.
Dimulai dari mereka yang di dalam lubuk hatinya menyesalkan Pak Balam yang masih hidup setelah diterkam harimau. Sanip, Buyung, dan Wak Katok yang membiarkan Sutan diterkam harimau padahal mereka mendengar teriakannya hingga Wak Katok yang membunuh Pak Haji dengan menembaknya tepat di bagian dada. Berbagai kezaliman terjadi di antara mereka.
Sanip dan Buyung membalas dendam pada Wak Katok atas kebohongannya selama ini serta untuk membayar impas kematian Pak Haji. Mereka mengikat Wak Katok di pohon untuk mengundang datangnya harimau.
Buyung sempat berpikir untuk membiarkan Wak Katok diterkam harimau dahulu baru kemudian menembaknya. Namun, dia mengingat pesan Pak Haji untuk membunuh harimau di dalam dirinya. Buyung bertekad untuk tidak lagi berbuat zalim setelah berbagai peristiwa yang menimpanya di dalam hutan.
Akhirnya, harimau tua itu datang ingin menerkam Wak Katok. Akan tetapi, Buyung berhasil menembak harimau itu sebelum gigi tajamnya menyentuh leher Wak Katok. Buyung merasa lega karena telah membunuh harimau yang ada di hutan dan yang selama ini bersemayam di hatinya.