DEMI HATIKU DAN MEJA MAKAN
aku menaruh hati untukmu
pada sebuah pagi, entah berapa tahun lagi
di atas piring bening ia akan berbaring
melihatmu mengecup pipi anak-anak
bocah-bocah mungil yang akan kita sebut anak-anak kita
di dapur tempat kau memasak waktu; masa depan mereka
lewat percakapan yang kau hidangkan di atas meja
saat kucing-kucing berkoar membakar mulut tetangga
untuk lelah tanganmu yang perkasa—aku bercerita:
bahwa telah kuletakkan hatiku kali ini
dalam sebuah pagi yang menyedihkan
saat kata-kataku kelaparan
puisi-puisi inilah yang akan memelukmu dengan tabah
untuk itu, makanlah dengan gembira kekasihku!
demi waktu, demi pipi-pipi mungil
yang akan kau kecup pada suatu masa
demi hatiku dan meja makan
–
BERMALAM DI MEJA MAKAN
ketika udara malam datang mengetuk jendela,
kaki-kaki mungil mendatangi kaki-kaki kursi,
berhadap-hadapan duduk menunggu,
suara Ibu sedang hangat tergenang dalam gelas,
tak lama lagi keringat Ayah menyeruak di jalan
menuju ruang tengah dan meja-meja;
meja-meja yang di bawahnya mengalir air susu
“Sudah! Sudah! Duduk,” kata Ayah
“Saksikanlah anak-anak! sebentar lagi bunga-bunga akan mekar.”
malam anggun akan selalu memeluk jiwamu
masa depan akan terus bersolek lewat senyum benda-benda,
di atas meja—senyum-senyum harus terus kita cipta
senyum-senyum surgawi yang akan membuat kita betah hidup
meskipun kesedihan begitu buru-buru memburu lemah jiwa
di atas meja, mari tidur, mari mendengkur, selamat makan
Ayah. Ibu.
–
AIR MATA
bukankah air mata
yang memeluk bulu matamu
akan selalu mengalami
sejarahnya; menyelami deritanya
menemukan namanya
dalam gemerlap ironi dan duka
dalam malam-malam
yang sungkan—
kau mengenang dirimu
yang lalu
meski berat kau lupakan;
lihatlah matamu
lihatlah dirimu yang
sedang mencatat dirinya
di buku waktu
–
PERAHU DI PIPIMU
“kukira tangan itu milik Tuhan…”
itu berselang sesaat sebelum kujabat tanganmu
angka-angka yang membilang—
kuhitung ke mana arah senyum itu
seperti rindu pohon pala pada musim gugur
demi perumpamaan yang sempurna
seperti kepalaku sedang berat berkata:
“Tangan, mata, kail, perahu di pipimu”;
Tuhan
–
SALAH JALAN
hilang kucari ke mana
entah ke mana, ingin berpulang
di sepanjang lorong-lorong malam
kudengar teriakan berbisik, menjerit
menggemakan tanya:
“Ke mana hatiku berlalu?”
“Di mana hatiku bersauh?”
dengan cemas jantung memompa
tumpukan luka yang menghentikan gema tanya
– akankah kau beri padaku sehelai rambutmu?
+ mungkin!
– hanya mungkin? seseorang akan jadi pengemis untuk jawaban itu
+ mungkin, rambut ini bukan milikku,
untuk itu seseorang tak harus jadi pengemis
– jika itu bukan milikmu. Maukah kau jadi milikku?
+ mungkin!
hilang kucari ke mana
entah ke mana hatiku ingin berpulang
di sepanjang lorong-lorong malam
kulihat mata-mata lelah menunggu
menanti kejelasan yang kian percuma
*****
Editor: Moch Aldy MA