Telaah persoalan kepolisian dalam esai sarkastik “Ketika Polisi Melakukan Apa Saja Kecuali Tugasnya” karya Muhammad Haidar Sabid A mengingatkan saya pada kesempatan berharga ketika kami—saya dan Haidar—terlibat dalam tim penelitian yang sama, mengamati kepolisian dari dekat selama enam bulan. Dalam periode tersebut, kami dianugerahi akses istimewa untuk menyelami dinamika internal institusi kepolisian, mengamati pola kerja mereka, dan memahami kontradiksi-kontradiksi yang melekat dalam struktur operasionalnya.
Namun, alih-alih mempertajam analisis berdasarkan pengalaman yang diperoleh, artikel Haidar justru mencerminkan kegagalan mengambil pelajaran penting dari momen pengamatan tersebut. Tulisan Haidar menyajikan kritik superfisial terhadap program-program kepolisian di bidang pertanian dan bantuan sosial, yang disebutnya sebagai pengalihan dari tugas pokok polisi sebagai ‘pelindung’ dan ‘pengayom’ masyarakat.
Fakta bahwa kritik semacam ini telah ratusan kali disuarakan oleh media arus utama dan akademisi liberal, dilanjutkan oleh Haidar dengan kebutaannya terhadap kerangka material yang memungkinkan keberadaan institusi kepolisian itu sendiri. Alih-alih menguraikan lapis-lapis kontradiksi yang melekat pada polisi sebagai aparatus negara, tulisannya justru menawarkan semacam nostalgia naif untuk kembali pada imajinasi ‘polisi ideal’ yang mungkin tidak pernah ada.
Baca juga:
- Legalistik vs Moralistik: Menyoroti Kelalaian Polisi dalam Menjalankan Tugas Pengamanan
- Polisi Bukan Lagi Pelindung Rakyat
Melihat celah besar tersebut, saya tergugah untuk mengajukan kritik yang lebih substantif terhadap tulisan Haidar di satu sisi dan wacana reformasi kepolisian di sisi lain. Tulisan ini mengulas tiga aspek fundamental yang absen darinya: pertama, ilusi pengayoman liberal yang melekat dalam analisanya; kedua, kelemahan fundamental dari wacana reformasi kepolisian yang diusungnya; dan ketiga, ketidakmampuannya mengidentifikasi peran polisi dalam reproduksi kapital sebagai fungsi fundamental keberadaannya.
Ilusi Pengayoman Liberal
Kekeliruan fundamental dalam analisis Haidar bermula dari asumsi ahistorisnya mengenai fungsi kepolisian sebagai ‘pengayom masyarakat’. Pernyataan bahwa polisi “seharusnya fokus pada penegakan hukum dan menjaga keamanan” justru mengungkapkan kebutaan terhadap genealogi historis institusi kepolisian itu sendiri. Haidar, seperti kebanyakan pengamat liberal, terjebak dalam fantasi bahwa polisi ada untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan tanpa bias kelas. Laksana anak kecil yang percaya Sinterklas di malam Natal, Haidar percaya bahwa kepolisian adalah institusi netral yang membawa keadilan universal.
Sebagaimana diuraikan dalam A Critical Theory of Police Power karya Mark Neocleous, institusi kepolisian modern lahir bukan semata-mata untuk ‘menegakkan hukum’, melainkan sebagai respons terhadap kebutuhan kapitalisme industrial untuk mengamankan relasi pada properti dan mendisiplinkan kelas pekerja.
Neocleous mengemukakan, polisi adalah ‘fabrication of social order’ atau alat yang diciptakan untuk memastikan kelangsungan tatanan sosial yang memungkinkan akumulasi kapital. Guillermina Seri melalui The Dream of State Power menambahkan bahwa institusi kepolisian telah menjadi ‘coercive apparatus at its core’ yang melekat dalam pembentukan negara modern.
“Slogan ‘melindungi dan melayani’ hanya akan menjadi kata kosong tanpa tindakan nyata,” tulis Haidar. Ia jelas gagal memahami bahwa ‘melindungi dan melayani’ memang selalu menjadi slogan kosong sejak awal kemunculannya—kosong dari perspektif kepentingan kelas pekerja dan massa rakyat, namun penuh makna bagi kepentingan kelas dominan. Pertanyaannya bukanlah “mengapa polisi gagal melindungi masyarakat?” melainkan “kepentingan siapa yang dilindungi oleh polisi dalam tatanan sosial yang ada?”
Haidar, masih dengan kenaifannya, meminta polisi untuk ‘kembali’ pada tugas yang sebenarnya tidak pernah menjadi tugas mereka—setidaknya tidak dalam pengertian universal yang ia bayangkan. Dalam telaah yang lebih mendalam, kepolisian selalu merupakan instrumen kekuasaan kelas, dan fungsi pengayoman yang disebut-sebut sebenarnya hanyalah eufemisme untuk pemaksaan kepatuhan terhadap tatanan sosial yang timpang.
Suara Sumbang Reformasi Polisi
Ketika Haidar berteriak heroik “Rombak Ulang Institusi Kepolisian!” di bagian akhir artikelnya, ia berpartisipasi dengan paduan suara reformis yang telah berteriak hal serupa selama beberapa dekade terakhir. Namun, teriakan ini tidak lebih dari tong kosong nyaring bunyinya yang mengabaikan kontradiksi fundamental dalam institusi kepolisian. Seolah-olah institusi kepolisian dapat dilepaskan dari konteks sosial dan ekonomi yang melahirkannya, seperti membayangjan ikan yang bisa hidup tanpa air.
Dalam tulisan Richard Baywood, Changing consciousness within the police: a Marxist view, kita disajikan analisis yang jauh lebih tajam tentang bagaimana transformasi dalam kepolisian hanya mungkin terjadi dalam konteks perubahan sosial yang lebih luas. Baywood menunjukkan bahwa meskipun terdapat potensi koalisi antara petugas polisi tingkat bawah dengan gerakan pekerja dalam konteks tertentu, ilusi tentang ‘netralitas’ polisi harus disingkirkan. Seperti ditegaskannya, “As Marxists, we cannot dismiss all police officers as incapable of siding with the labour movement in its fight against austerity,” namun ini tidak menghilangkan kenyataan bahwa “the job of the police is inherently conservative”.
Pemahaman ini absen dari analisis Haidar yang menawarkan reformasi tanpa mempertanyakan landasan material institusi kepolisian. Ia seakan lupa bahwa dalam konteks Indonesia, seperti diuraikan oleh Komjen. Pol. Chryshnanda Dwilaksana (Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri), polisi memiliki suatu “disiplin dalam organisasi Polri [sebagai] sistem paternalistik, di mana hierarki bawah tidak berani bertindak jika tidak mendapat restu atau perintah dari hierarki atas”. Struktur semacam ini bukan sekadar ‘kebetulan’, melainkan cerminan dari fungsi polisi yang sesungguhnya dalam tatanan sosial yang ada.
Haidar, dengan nada sumbang mengecewakan, mengatakan “rakyat sudah muak” dan “kita butuh tindakan, bukan pencitraan”. Lagi-lagi ia gagal memahami bahwa ‘pencitraan’ itu sendiri memiliki fungsi politis—suatu upaya menciptakan legitimasi bagi institusi yang pada dasarnya dibentuk untuk menjaga tatanan sosial yang tidak adil.
Baca juga:
Ketika polisi menanam jagung atau membagikan sembako, mereka sedang melakukan counterinsurgency dengan cara yang lebih halus, menciptakan citra bahwa negara (melalui polisi) peduli pada kesejahteraan rakyat, sekaligus melegitimasi keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat.
Polisi dan Reproduksi Kapital
Kegagalan paling fatal dalam analisis Haidar adalah ketidakmampuannya memahami hubungan intrinsik antara kepolisian dan reproduksi kapital. Pandangannya yang ahistoris, menempatkan keberadaan polisi untuk melindungi masyarakat dari ‘kejahatan’, seakan ‘kejahatan’ adalah kategori universal yang terlepas dari konteks sosial dan ekonomi.
Haidar perlu ‘bertobat’, dapat dimulai dengan mengilhami perkataan Guillermina Seri:
“Far from merely repressive, the police play an active role in the reproduction of capital and in shaping modern society.”
Kepolisian, dengan demikian, bukanlah institusi yang melindungi masyarakat secara keseluruhan, melainkan instrumen negara untuk memastikan keberlangsungan hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan akumulasi kapital.
Dalam konteks ini, program-program pertanian dan bantuan sosial yang dikritik Haidar sebenarnya konsisten dengan fungsi kepolisian sebagai instrumen untuk meredam potensi perlawanan sosial. Salah seorang polisi yang saya temui bersama Haidar, telah menjelaskan bahwa fungsi polisi adalah menciptakan order atau keteraturan—dalam bahasa mereka: Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat).
Namun, keteraturan ini dijelaskam Seri sebagai “neutralizing disorder and mobilizing the labor force for the sake of capital accumulation”, yang artinya adalah bahwa Kamtibmas itu merujuk pada pemeliharaan tatanan sosial yang memungkinkan akumulasi kapital.
Karena keteraturan ala polisi adalah selalu tentang keteraturan ala borjuis, maka jangan heran jika polisi menjadi garda depan penggusuran warga di Rempang, Dago Elos, Bara-baraya, Pakel, hingga Wadas. Adapun keterlibatan polisi dalam program-program sosial—menanam jagung dan membagikan sembako—tidak lain hanyalah menjalankan fungsi penertiban mereka dengan cara yang disesuaikan dengan konteks sosial dan politik kontemporer.
Chryshnanda sendiri, dalam penjelasannya tentang pemolisian komuniti, mengakui bahwa polisi perlu mengadopsi pendekatan yang “berupaya untuk memahami berbagai aspek yang mempengaruhi antara lain corak masyarakat, kebudayaannya, gejala-gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat”. Namun, berbeda dengan Haidar yang melihat ini sebagai upaya tulus untuk melayani masyarakat, pendekatan semacam ini sebenarnya adalah strategi penciptaan legitimasi dan pengendalian sosial yang lebih efektif.
Pertobatan Haidar dapat dilanjutkan dengan menanggalkan anggapannya bahwa ada versi “murni” dari kepolisian yang dapat dipisahkan dari fungsi politisnya sebagai aparatus negara. Padahal, dalam tatanan kapitalis, polisi tidak lebih dari sekadar aparatus pengaman modal. Anggaran kepolisian yang tetap besar di tengah efisiensi anggaran lembaga lain di era Prabowo-Gibran adalah bukti deduktif bahwa pengamanan kepentingan kapital memerlukan investasi signifikan.
Terdapat korelasi langsung antara besarnya proyek-proyek infrastruktur neolib seperti Danantara, IKN, Sekolah Garuda, MBG, dan semacamnya dengan kebutuhan akan aparat keamanan yang diperkuat baik secara material maupun citra. Hal ini menunjukkan bahwa kritik Haidar tentang “pencitraan” salah kaprah, karena pencitraan justru merupakan bentuk investasi simbolik yang membuat dominasi kapital berjalan lebih halus dan efisien.
Femomena kekerasan polisi, sebagaimana sebutan Seri, “the lawless heart of the police power” adalah sifat dasar institusi ini. Mengharapkan kepolisian yang sepenuhnya mengabdi pada kepentingan rakyat dalam tatanan sosial kapitalis adalah seperti membayangkan air mengalir ke atas—sebuah paradoks yang mustahil!
Telaah Haidar tentang kepolisian pada akhirnya tidak lebih dari keluhan moral yang naif, culas, dan buntu. Dalam konteks ini, seruan untuk “reformasi kepolisian” berbasis kemanusiaan anti-kekerasan yang diajukan Haidar dan para NGO-LSM serupa, tidaklah lebih dari teriakan kosong yang mengabaikan kontradiksi fundamental dalam institusi tersebut. Pada akhirnya, kritik terhadap polisi tidak dapat dipisahkan dari kritik terhadap tatanan sosial yang melahirkannya.
Meminjam ungkapan Seri, “Only abolitionist politics will help us move into a world beyond police”. Namun, langkah menuju abolisi tersebut membutuhkan analisis yang jauh lebih tajam dan mendalam ketimbang keluhan moral yang ditawarkan Haidar dalam tulisannya.
Dan selama reformasi kepolisian tidak menyentuh struktur kelas yang mendasarinya, seruan untuk “kembali ke tugas pokok” hanya akan berputar dalam lingkaran retorika kemanusiaan kosong. Kepolisian tidak pernah dan tidak akan menjadi institusi netral yang mengayomi semua orang secara adil. Ia adalah produk dari relasi produksi tertentu dan akan selalu berfungsi dalam kerangka kepentingan kelas dominan—baik dengan membagikan sembako, menanam jagung, atau menggunakan pentungan. (*)
Editor: Kukuh Basuki