Demokrasi dengan segala perangkat yang melengkapinya memberikan kontrol sosial terhadap penyelenggaraan negara baik di tataran legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Kontrol sosial bukan dimaksudkan untuk mengintervensi terlalu dalam, namun untuk memastikan bahwa penyelenggaraan negara sesuai dengan maksud negara hukum sebagaimana komitmen yang tertuang secara eksplisit dalam konstitusi.
Kontrol sosial tersebut merupakan derivasi dari demokrasi prosedural dan kontingensi historis akibat persinggungan artikulatif dengan wacana liberal, kemudian memunculkan kerangka simbolik barunya. Dalil filosofisnya, bukan hanya negara yang dibatasi oleh hukum, namun penerapan serta penyelenggaraannya dikontrol dan dibatasi oleh hak-hak individual maupun masyarakat yang mengadakan negara itu sendiri.Konsekuensi adanya kontrol sosial, maka tindakan aparat, pejabat publik, politikus dan lain sebagainya dinilai kewajarannya menjalankan tugas dan wewenangnya.
Kasus Kapolsek Cinangka
Untuk itu kita bisa mencermati tindakan AKP Asep Iwan Kurniawan selaku Kapolsek Cinangka yang diduga menolak untuk mendampingi seorang yang mengklaim ingin menarik kembali unit mobil yang sedang dikuasai oleh terduga pelaku yang hendak melarikan mobil ayahnya. Menurut pemberitaan media massa, karena tidak mendapat respons yang memuaskan dari Polsek Cinangka, akhirnya ayah dari seorang yang meminta didampingi tersebut meninggal dunia karena terkena tembakan dari terduga pelaku.
Baca juga:
Meskipun klarifikasi dari pihak Polsek Cinangka melalui Kapolseknya yaitu AKP Asep Iwan Kurniawan telah diuraikan, namun ada beberapa pernyataannya harus dinilai kewajarannya dan perlu diluruskan. Kurang lebih pernyataannya berisi dalil legalistik (meminta dokumen kepemilikan mobil BPKB, SIM, STNK dan lain-lain) dan seorang yang minta didampingi tersebut tidak dapat menunjukkan surat-surat tersebut.
Pernyataan Kapolsek Cinangka sangat sarat dengan nuansa legalistik yang mengedepankan prosedur dan aturan hukum. Aliran legalistik (yang berakar dari aliran legisme) mempunyai beberapa kredo, yaitu (i) undang-undang merupakan hukumnya hukum, (ii) asas lex dura sed tamen scripta merupakan azimat penyelenggaraan negara, dan (iv) realitas dan kompleksitasnya hanya dibaca dan dipahami sebatas apa yang tertera dalam undang-undang.
Sayangnya, meskipun Kapolsek Cinangka mempunyai kepentingan legalistik, tetapi kepentingan legalistik itu tidak dipahami dan diterapkan dengan baik apabila membaca Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (untuk selanjutnya disebut “UU Kepolisian”). Pasal 18 ayat (1) UU Kepolisian, menyatakan:
“Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.”
Frasa “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” memberikan nuansa progresif agar pejabat kepolisian tidak hanya terjebak dan terbelenggu oleh rigidnya undang-undang, akan tetapi mengakomodir kebutuhan dengan memandang horison terdalam realitas yang terjadi di masyarakat. Tentu yang menjadi pertanyaan berikutnya, apa itu “kepentingan umum” sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (1) tersebut? Telusur tafsir utama harus dicari definisinya di dalam undang-undang dengan menggunakan penafsiran otentik. Menurut Pasal 1 angka 7 memberikan definisi kepentingan umum, yang menyatakan:
“Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri”
Frasa “kepentingan masyarakat” yang termaktub di dalam Pasal a quo, memberikan dasar bahwa kepentingan masyarakat harus menjadi kepentingan primer demi terjaminnya kepentingan negara. Penyelenggaraan dan kepentingan negara akan cacat tanpa ditopang oleh kepercayaan masyarakat, oleh karena itu kepentingan masyarakat sebagai pengada munculnya negara menjadi amat penting untuk diperjuangkan.
Terlebih dalam UU Kepolisian Pasal 13 huruf c menyatakan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: “memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”. Selanjutnya Pasal 14 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pokonya Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: “melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan”
Apabila dibaca dengan seksama ketentuan tersebut, maka tugas pokok kepolisian itu melindungi dan mengayomi masyarakat dalam bentuk penjagaan, pengawalan, patroli terhadap kegiatan masyarakat masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Perlu diingat bahwa “kebutuhan” itu bersifat situasional, dinamis dan mendesak.
Di dalam kejadian tersebut seharusnya Kapolsek Cinangka dan/atau jajaranya ketika terdapat aduan mengenai penarikan mobil rental, maka ia dan jajarannya wajib bertindak untuk mendampingi, menjaga, mengawal karena pada saat itu terdapat kebutuhan yang mendesak. Maka sebenarnya dilihat dari sisi legalistik ada bagian rumpang yang diabaikan, sehingga kelalaian terhadap tugas ini berpotensi mengakibatkan hilangnya nyawa seorang pemilik mobil rental pada malam itu.
Kepentingan Legalistik dan Moralistik
Selain kepentingan legalistik dijunjung sekaligus dilalaikan oleh Kapolsek Cinangka dan jajarannya, terdapat kepentingan moralistik yang berasal dari panggilan eksistensialnya sebagai pengayom masyarakat. Kepentingan moralistik bagi seorang aparat penegak hukum (in casu polisi) yaitu menjunjung kepedulian dan hati nurani dalam melayani masyarakat, dan dalam berbagai kasus, kepentingan moralistik dapat menggeser kepentingan legalistik dengan alasan “kepedulian terhadap manusia merupakan intensionalitas terdalam, sehingga tidak ada orang lain yang asing bagiku untuk memperoleh pertolongan”. Kredo ini memuat prinsip prima facie, sehingga aturan-aturan yang serba terbatas terkadang harus dikesampingkan terlebih dahulu demi kepentingan yang lebih mendesak.
Seruan Emmanuel Levinas mengenai “alteritas” kaitannya dengan kepentingan legalistik, memberikan pembelajaran bahwa orang lain dengan segala kompleksitasnya tidak dapat direduksi keberadaannya hanya sebatas representasi dari aturan hukum yang serba legalistik. Aturan hukum tetaplah aturan yang tidak mampu menjawab seluruh persoalan manusia, sehingga keterbatasannya memberikan ruang kepada manusia untuk bertindak sesuai dengan kodrat moralnya.
Baca juga:
- Menyudahi Transendensi: Saatnya Moralitas Kembali ke Bumi
- Jebakan Moralitas Absurd dan Kritik Puritan
Aturan hukum itu dalam menghadapi case umum telah menjadi syarat yang perlu, namun dalam menghadapi case yang khusus dan rumit, aturan hukum belum memenuhi syarat yang cukup. Terdapat adagium there is no rule without exception (tiada ada aturan yang tanpa pengecualian), yang oleh Giorgio Agamben diartikulasikan bahwa “pengecualian” merupakan hal khusus yang tidak bisa digolong-golongkan oleh tatanan yuridis.
Dengan kata lain, “pengecualian” akan tampil dalam bentuknya yang absolut ketika hal itu berupa tuntutan untuk menciptakan situasi yang di dalamnya aturan yuridis tidak mampu menjangkaunya. Di sini bukan berarti “pengecualian” itu keberadaannya terlepas dari aturan hukum, akan tetapi sebaliknya, pengecualian itu ada karena aturan hukum mengadakan kemungkinan kehadirannya sebagai pelengkap bagian keterbatasan dari aturan hukum.
Analog dengan hal tersebut, AKP Asep Iwan Kurniawan selaku Kapolsek Cinangka, seharusnya melayani dalam tataran kepentingan moralistik dengan memberikan perhatian masyarakat yang sangat membutuhkan pertolongan dan pengayoman yang mendesak, tanpa terlebih dahulu meminta kelengkapan dokumen-dokumen kepemilikan mobil. Kepolisian dibutuhkan kehadirannya terutama karena mereka mempunyai keberanian untuk melayani dan berkorban demi kepentingan masyarakat, dan apabila seseorang telah memutuskan menjadi bagian dari kepolisian, maka spirit berkorban bagi masyarakat merupakan primum et summum bonum (keutamaan tertinggi) yang mempunyai status imperatif kategoris.
Terlepas dari beragam problematika etik, tentunya masih ada beberapa aparat kepolisian yang dapat menjadi teladan bagi penerapan kepentingan moral yang harus segera diputuskan. Beberapa diantaranya yaitu Bripda Novandro dan Bripka Isa yang merelakan motornya dilindas demi menghentikan laju bus Damri yang mogok di tanjakan, Bripka Ronny Setiadi dari Satuan Polairud Polresta Banjarmasin Polda Kalsel yang mengorbankan gajinya untuk memanggil ambulan demi seorang warga yang hendak melahirkan, dan Bripka Andithya Munartono yang mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan seorang wisatawan yang hampir tenggelam di Pantai Barat Pangandaran, Jawa Barat.
Contoh-contoh tersebut memberikan penegasan bahwa pengorbanan untuk masyarakat merupakan superioritas yang (apabila diperlukan) menginferiorkan kepentingan legalistik, sebab mereka sadar bahwa jabatan itu kehormatan, kehormatan melahirkan pengorbanan, sehingga jabatan setali tiga uang dengan pengorbanan. (*)
Editor: Kukuh Basuki