Apa yang dicari orang ketika memasuki gang sempit selain maling dan copet? Hampir tidak ada. Dan dalam kehampiran itulah cerita ini bermula. Maka mari kita berkunjung ke gang itu. Dari masjid di samping gapura, silakan berjalan sampai melihat pos di penghabisan jalan. Satu-satunya pilihan hanyalah berbelok ke kanan. Ambil jalan itu, dan lihatlah dari sana dua bangunan kos bertingkat yang jaraknya tidak berjauhan. Mendekatlah ke sana, maka akan kita temukan sebuah rumah-toko kecil yang seakan dibenamkan oleh dua bangunan kos itu. Itulah kehampiran yang saya maksud. Sebab rumah-toko itu satu-satunya perajin piala yang masih setia membikin piala dari pahatan kayu nangka dan sengon tua.
Rumah-toko itu sudah menjual piala sejak terakhir kali Liem Swie King menjuarai ALL England. Pada masa itu, semua orang menjadi latah dan tiba-tiba bercita-cita menjadi atlet bulutangkis. Bersamaan dengan Susi Susanti memuncaki podium Olimpiade Barcelona ’92, rumah-toko itu ikut memuncaki daftar perajin piala paling banyak dipesan se-kecamatan. Hingga kegiatan memahat mulai usang. Mesin-mesin berdatangan dari Barat dan mampu mencetak ratusan piala plastik dalam hitungan menit. Rumah-toko itu mulai tak pasti. Masa jaya terlampau begitu cepat. Tak terasa, kini piala-piala terpajang tanpa pembeli. Mungkin itu semua karena Pak Joyo, pemilik rumah-toko itu. Obsesinya terhadap kayu membuat dirinya ditebang oleh zaman.
Kalau kita berkunjung ke rumah-toko itu hari ini, Simbah berkacamata tebal yang mirip pelawak Jarwo Kwat akan memandang dengan sinis. Sebab Pak Joyo hanya akan memandang kita sebagai orang kampung yang tidak mengerti seni. Tabiat itulah yang membuat orang-orang lebih memilih piala plastik. Tapi, semua itu tak sedikit pun membuat Pak Joyo gentar. Ia masih saja mengurus bisnis dan hidupnya seorang diri seperti tidak terjadi apa-apa. Ia seperti kura-kura tua yang sudah lamban mencari makan dan selalu kembali dalam tempurung. Di dalam tempurung tiga kali empatnya itu ia menjalani sisa hidupnya, tanpa istri atau anak yang bahkan belum sempat ia miliki. Sebab tiga puluh tahun lalu istrinya meninggal dipicu oleh serangan jantung.
Kini hidup Pak Joyo hanya fokus mengabdi pada pialanya. Soalan kemampuan, sebenarnya tidak usah diragukan lagi. Pengalaman bertahun-tahunnya memungkinkan Pak Joyo membuat piala kayu berbentuk seperti apa pun. Masalahnya hanya tiada satu bentuk pun yang dipesan. Terakhir kali ia mengerjakan pesanan piala adalah sembilan bulan lalu, saat ia membuatkan satu piala besar seukuran nampan berbentuk gunungan wayang yang dipersembahkan untuk Pak Camat yang baru saja dilantik. Pesanan yang menguntungkan untuk menyambung hidup tapi sekaligus aneh sebab Pak Camat tak melawan siapapun untuk bisa mendapatkan penghargaan juara.
Sebab itu hari-hari Pak Joyo mesti dijalaninya dengan hati-hati dan serba mepet. Semisal saat sarapan di warung, ia harus menahan diri untuk tidak mengambil tempe mendoan hangat lebih dari dua. Uangnya harus ia sisihkan untuk makan besok dan membayar langganan koran sebagai satu-satunya jendela ilmu yang mampu ia ikuti. Menuju siang ia akan kembali ke rumah-tokonya untuk mandi dan menyingkap papan kayu yang menutup tirai besi, kemudian menyangganya dengan tongkat kayu. Piala-piala terpajang di atas etalase tua. Pak Joyo selalu mengelapnya sampai semua lekukan kecil terhindar dari debu. Harapannya, barangkali, suatu saat siapapun yang mendapat piala darinya, akan menang dengan kemenangan yang bersih.
Kesibukannya itu sudah cukup untuk menghabiskan paginya. Ketika matahari tepat segaris dengan atap terasnya, Pak Joyo akan mengenakan kaus kutangnya lagi dan membuka koran yang sudah diletakkan loper di lincaknya sedari ia sarapan tadi. Membaca koran di siang hari adalah cara Pak Joyo membunuh bosan dan mengalihkan perhatiannya dari gang sempit yang tak kalah menjengkelkan dari jalan besar di kota ini. Motor bebek penjual galon yang tak pernah diservis hilir mudik membawa tumpukan galon lengkap dengan suara cempreng yang mengganggu. Mobil bak tukang sampah memenuhi jalan dan membawa bau busuk tumpukan limbah perkotaaan yang mustahil berkurang. Sesekali tukang sampah dan tukang galon itu menyapa Pak Joyo. Namun, Pak Joyo tak pernah menghiraukannya. Bagi Pak Joyo, sapaan mereka hanya karena mereka tahu bahwa mereka mengganggu bukan karena mereka ramah.
Suatu hari, Pak Joyo sedang membaca ketika ada sebuah bayangan yang tiba-tiba menggelapkan korannya.
“Permisi, Pak. Saya mau memesan piala,” ucap seorang anak muda berseragam himpunan mahasiswa.
“Dilihat-lihat saja dulu,” balas Pak Joyo, “Kalau memang mau pesan.”
“Hmmm, saya cari piala untuk perlombaan kampus, Pak.”
Tanpa melihat lawan bicaranya, Pak Joyo menjawab, “Perlombaan apa itu? Debatkah? atau Voli?”
“Bukan, Pak. Saya butuh untuk Olimpiade Mobile Legends.”
Pak Joyo langsung menggulung dan meletakkan korannya. Ia terdiam sejenak dan beradu tatap dengan pemuda itu
“Bisa tidak ya, Pak? Saya butuh lima piala untuk tiga hari lagi.”
“Tiga hari, Mas? Untuk jumlah segitu toko piala plastik aja gak mungkin bisa, Mas.”
Jelas saja Pak Joyo senang dengan jumlah pesanan piala pemuda itu. Namun, ia berpikir perlu adanya tarik ulur.
“Kalau tiga hari yo agak susah, Mas. Saya bisa, tapi harus lembur mengerjakannya.”
“Waduh, susah ya, Pak? Tapi kira-kira kalau dilembur pengerjaannya bisa tidak ya, Pak?”
Pak Joyo berhasil. Pemuda culun itu memakan umpannya.
“Bisa, Mas. Paling nanti jatuhnya agak mahal.”
“Waduh, berapa ya, Pak? Kalau dua ratus lima puluh cukup tidak ya, Pak?”
Pak Joyo terdiam sejenak sembari berdiri dan berpikir untuk menaksir harga
“Wah! Yo belum to, Mas. Itu baru beli bahan aja, belum sama lembur dan kerumitan bentuknya lho, Mas.”
Jawaban Pak Joyo membuat perbincangan terhenti sejenak. Namun dengan tenang Pak Joyo merangkul pemuda itu dan berkata, “Yaudah, Mas. Kalo sama saya tambahin dua ratus lagi saja.”
Dengan ragu pemuda itu menjawab, “Anggaran saya cuma tiga ratus, Pak.”
Pak Joyo kembali memainkan perannya dengan baik. Ia membuat pemuda itu tidak punya pilihan. “Ya sudah, Mas. Saya kurangi seratus, kalau masnya tidak mau ya sudah cari tempat lain yang bisa membuatnya.”
Pemuda itu benar-benar tidak punya pilihan, Pak Joyo berhasil menaklukkannya.
“Mmm baiklah, Pak. Saya sanggup harga segitu, tapi dalam tiga hari ya, Pak. Dengan bentuk lima karakter terkenal Mobile Legends. Bapak sudah tahu Mobile Legends belum?”
Pak Joyo tertegun mendengar pertanyaan pemuda itu. Namun ia sudah kepalang menyanggupi dan tersulut emosi atas pertanyaan pemuda yang seperti mengejeknya itu.
“Cuma Mobil lejen to, Mas? Kampus-kampus dekat sini sudah sering pesan sama saya, Mas. Lihat piala berbentuk Garuda yang saya buat dalam dua hari di depan masnya itu. Apakah terlihat sulit untuk saya buat, Mas?”
Gertakan Pak Joyo membuat pemuda itu kembali tertunduk.
“Baik, Pak. Saya mau lima piala untuk juara satu sampai juara harapan dua. Akan saya ambil tiga hari lagi, pukul delapan pagi. Ini saya kasih seratus dulu untuk bapak beli bahan dan sebagai tanda jadi.”
Pemuda itu langsung pergi setelah memberikan beberapa pesan terakhirnya. Maka Pak Joyo langsung mempersiapkan seluruh perlengkapannya. Dari kotak kayunya ia keluarkan pensil kayu, tatah ukir, dan palu kecil. Masalah bentuk Pak Joyo sudah mempersiapkan media berbagai ukuran. Sebuah bakal piala yang berbentuk bulat dan ada undakan berputar mengelilingi bagian bawahnya. Sebagai simbol betapa agung raihan tersebut dan betapa curamnya jalan yang harus ditanjaki untuk mendapatkannya. Di tangan Pak Joyo, mengukir batang kayu yang keras hanya seperti menggores bolpoin pada kertas. Otak kanan-kirinya yang terlatih berpadu dengan kekuatan jemarinya yang lentur memudahkan dirinya untuk membuat pola apa pun pada batang kayu.
Tiga hari yang singkat. Pekerjaan mengukir menghabiskan banyak waktu. Lima piala diselesaikannya hingga tengah malam sebelum hari pengambilan. Pak Joyo yakin apa yang dia buat akan memuaskan. Tinggal menyelesaikan bagian kecil seperti memberi cat pada ukiran dan titel pemenang lalu dipelitur hingga mengkilap. Supaya Pak Joyo bisa istirahat sembari menunggunya kering.
Maka kuberi tawaran padamu. Apa yang dicari orang ketika memasuki gang sempit? Jawabannya mungkin rumah-toko piala Pak Joyo. Sebab, jika kita berkunjung ke sana, kita akan melihat Pak Joyo sedang mengelap lima piala baru berbentuk mobil balap yang pada salah satu plakatnya terukir tulisan: Juara 1 Olimpiade Mobile Legends.
*****
Editor: Moch Aldy MA