Mencari Makna “No Contact” dalam Budaya Indonesia

Adekamwa n/a

3 min read

“Pernyataan ‘I am done’ terhadap seorang anggota keluarga adalah fenomena yang kuat dan unik” – Karl Andrew Pillemer

Esai Anna Russell yang diterbitkan di New Yorker tahun 2024, yang dipuji sebagai esai terbaik tahun ini, menggali fenomena yang semakin meningkat yaitu memutus hubungan dengan orang tua, mengungkap luka yang mendalam dan perbedaan yang tak terdamaikan yang mendorong individu untuk memutuskan hubungan dengan darah daging mereka sendiri.

Esai Russell, Why So Many People Are Going “No Contact” with Their Parents adalah kumpulan narasi pribadi, di mana setiap kisah mengungkap sisi berbeda dari keterasingan. Esai ini mengeksplorasi motivasi di balik tren yang berkembang ini, mulai dari bentrokan ideologis dan kekerasan emosional hingga prioritas pada kesehatan mental dibandingkan kewajiban keluarga.

Melalui wawancara mendalam dan analisis yang tajam, Russell menantang gagasan tradisional bahwa hubungan keluarga harus dijaga dengan segala cara, mendorong pembaca untuk mempertimbangkan interaksi kompleks antara kesejahteraan pribadi, ekspektasi budaya, dan otonomi individu.

Baca juga:

Salah satu kisah yang paling menyentuh dalam artikel ini adalah tentang Amy, seorang anak dari keluarga evangelis yang bertentangan dengan orang tuanya karena perubahan keyakinan dan gaya hidupnya. Kisahnya, seperti banyak lainnya dalam esai ini, menyoroti pergeseran generasi di mana kesehatan mental dan batasan pribadi lebih diutamakan dibandingkan kewajiban keluarga tradisional.

Ketika “No Contact” Jadi Pilihan

Meskipun Russell berfokus pada masyarakat Barat, fenomena “no contact” juga terjadi di Indonesia, meskipun dengan nuansa budaya yang unik. Kasus aktris terkenal Nikita Mirzani dan putrinya, LM, menjadi contoh benturan antara otoritas orang tua dan otonomi anak muda. Keputusan Nikita Mirzani untuk melaporkan pacar LM ke polisi atas tuduhan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, meskipun LM tampak setuju, memicu perdebatan publik tentang batasan intervensi orang tua dan hak-hak anak.

Dalam hukum Indonesia, LM yang berusia 17 tahun dianggap sebagai anak, dan hukum mengutamakan perlindungannya. Namun, penekanan budaya yang mendalam pada otoritas orang tua dan persatuan keluarga memperumit masalah ini.

Baca juga:

Pada tanggal 7 April 2024, LM, memutuskan untuk tinggal terpisah dari ibunya, menempati sebuah apartemen dan berusaha hidup mandiri dengan bekerja mencari nafkah sendiri. Keputusan ini diambil LM setelah serangkaian konflik dengan ibunya, terutama terkait laporan Nikita Mirzani terhadap pacar LM ke polisi atas tuduhan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

Benturan Generasi dan Dinamika Keluarga di Indonesia

Pernyataan “I’m done” terhadap seorang anggota keluarga adalah fenomena yang kuat dan unik, seperti yang dijelaskan oleh Karl Andrew Pillemer, Profesor Human Development di Universitas Cornell, AS. Menurutnya, fenomena ini lebih dari sekadar perselisihan keluarga atau hubungan yang renggang, karena dalam situasi ini, kontak sepenuhnya terputus.

Menyadari minimnya penelitian besar tentang keterasingan keluarga, Pillemer melakukan survei nasional yang menjadi dasar bukunya tahun 2020 berjudul Fault Lines: Fractured Families and How to Mend Them. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa lebih dari satu dari empat orang Amerika mengalami keterasingan dari anggota keluarganya.

Di Indonesia, konflik antar generasi dalam keluarga dipicu oleh benturan antara nilai tradisional dan modern. Generasi muda, yang lebih berani mengekspresikan diri dan mandiri, seringkali berseberangan dengan harapan orang tua akan kepatuhan dan rasa hormat. Orang tua atau praktisi pendidikan menghadapi tantangan yang lebih berat karena anak yang tumbuh di era sekarang ini lebih bersifat kritis dalam menghadapi berbagai persoalan (Maknun, Djohar, et al., 2018).

Perbedaan nilai ini, diperparah dengan perubahan gaya hidup dan pola komunikasi, dapat menciptakan dinamika keluarga yang toksik. Situasi itu mendorong individu untuk memilih keterasingan demi menjaga kesehatan mental mereka.

Kesenjangan antar generasi semakin melebar karena perbedaan prioritas hidup. Generasi tua mengutamakan keluarga dan kesejahteraan kolektif, sementara generasi muda lebih fokus pada kebahagiaan dan pencapaian pribadi. Ditambah lagi dengan kesalahpahaman dalam komunikasi. Alih-alih menerima panggilan telepon, generasi muda cenderung memilih berkomunikasi melalui pesan Whatsapp yang dianggap kurang sopan oleh generasi tua. Hal itu semakin memperbesar potensi konflik dan keterasingan dalam keluarga.

Analisis Komunikasi pada Fenomena “No Contact” dalam Keluarga

Penulis tertarik untuk memahami kompleksitas “no contact” dalam dinamika keluarga Indonesia. Fenomena ini terasa begitu asing dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan.

Penulis berusaha memahami fenomena “no contact” melalui dua teori komunikasi. Salah satunya adalah Teori Dialektika Relasional. Sebuah konsep dalam teori komunikasi yang diperkenalkan oleh Profesor Leslie Baxter dan Barbera M. Matgomery pada tahun 1988, yang mengkaji ketegangan yang melekat dalam hubungan interpersonal, di mana individu secara bersamaan menginginkan hal-hal yang berlawanan.

Dalam konteks “no contact”, teori ini dapat menjelaskan konflik antara keinginan untuk otonomi dan kebutuhan akan koneksi keluarga. Di Indonesia, di mana ikatan keluarga sangat dihargai, keputusan untuk memutuskan hubungan dengan keluarga dapat menimbulkan ketegangan yang signifikan. Kasus Nikita Mirzani dan putrinya menggambarkan dengan jelas ketegangan ini, di mana keinginan sang putri untuk mandiri berbenturan dengan naluri perlindungan sang ibu.

Di sisi lain, Teori Manajemen Privasi Komunikasi, teori penelitian sistematis yang dikembangkan oleh Sandra Petronio pada tahun 1991, menjelaskan bagaimana individu mengelola informasi pribadi mereka dan batas-batas komunikasi. Dalam keluarga Indonesia, batas-batas privasi mungkin lebih longgar dibandingkan budaya individualis.

No contact” dapat dilihat sebagai bentuk pengaturan privasi yang ekstrem, di mana individu membangun batasan yang tegas untuk melindungi diri mereka sendiri dan informasi mereka. Teori ini membantu menjelaskan tantangan yang dihadapi individu dalam menjaga “no contact”, seperti tekanan dari keluarga besar atau masyarakat untuk kembali berhubungan.

Penulis percaya bahwa dengan menggabungkan kedua teori ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang “no contact” dalam dinamika keluarga Indonesia. Dalam esai Russell, Why So Many People Are Going “No Contact” with Their Parents, individu yang terasing bergulat dengan rasa bersalah, kesedihan, dan kehilangan hubungan lintas generasi.

Tentu saja, “no contact” adalah fenomena yang kompleks dengan banyak faktor penyebab. Penulis menekankan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap berbagai aspek dan implikasi dari “no contact” dalam konteks budaya Indonesia.

Penulis juga ingin mencatat bahwa “no contact” bukanlah solusi yang ideal untuk setiap masalah keluarga. Namun, dengan memahami alasan di balik “no contact”, kita dapat mengembangkan strategi komunikasi yang lebih efektif dan membangun hubungan keluarga yang lebih sehat, Insya Allah. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Adekamwa n/a

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email