Akhir-akhir ini, linimasa media sosial saya diramaikan oleh postingan tentang polisi yang sukses menciptakan inovasi pertanian. Mereka menanam jagung sambil tersenyum lebar di depan kamera. “Polisi panen raya!” begitu judul berita yang terpampang di layar gawai saya, lengkap dengan foto mereka berpose sambil memakai caping dan memegang jagung hibrida.
“Hebat sekali,” pikir saya. Tapi tunggu sebentar! Bukankah tugas polisi adalah menjaga keamanan dan ketertiban? Sejak kapan polisi kita memutuskan bahwa menjadi petani adalah bagian dari jobdesk mereka?
Ini bukan kasus tunggal. Di berbagai daerah, polisi sering kali muncul dalam peran-peran yang membuat kita terheran-heran. Dalam unggahan akun Divisi Humas Polri, kita bisa menemukan polisi dengan bangga memamerkan panen jagung di Prabumulih sebagai bentuk “wujud ketahanan pangan.” Lalu ada juga program-program pertanian lainnya yang tentu membuat kita bertanya-tanya, “Apakah polisi kita sekarang bercita-cita menjadi Kementerian Pertanian?” Di Bojonegoro, misalnya, polisi berbangga hati atas panen jagung 7 ton yang disebut sebagai dukungan ketahanan pangan. Mereka bahkan tampak seperti kandidat petani teladan di tingkat nasional!
Kasus penembakan Gamma atau serentetan kasus lainnya adalah contoh gamblang di mana polisi seperti lupa pada tugas utama mereka. Alih-alih menjadi pelindung dan pengayom, mereka lebih sibuk memainkan peran yang bukan milik mereka. Ibarat mahasiswa semester akhir yang mendadak sibuk belajar coding, ikut pelatihan bisnis online, hingga merintis karir sebagai konten creator; mereka melakukan apa saja kecuali, tentu saja, menyelesaikan skripsinya.
Baca juga:
Ketika Polisi Jadi Dinas Sosial
Beberapa waktu lalu, saya juga menemukan video polisi di suatu daerah yang membagikan sembako kepada masyarakat kurang mampu. “Polisi meringankan beban warga,” begitu narasi dalam video yang diiringi musik melankolis. Dalam video tersebut, seorang polisi muda dengan penuh senyum mengantarkan beras, gula, dan minyak goreng kepada warga. Komentar di media sosial pun ramai: “Bravo Polri!,” tulis salah satu warganet.
Tentu, membantu masyarakat adalah perbuatan mulia. Tapi bukankah ada Kementerian Sosial yang memang bertugas menangani hal-hal seperti ini? Apakah polisi tidak punya pekerjaan lain yang lebih mendesak? Misalnya, menelusuri kasus korupsi yang uangnya mungkin saja bisa digunakan untuk membeli lebih banyak sembako?
Dalam unggahan lain, polisi juga melakukan bakti sosial untuk “ketahanan pangan”, dan entah bagaimana, kegiatan ini masuk dalam pencitraan “momen berharga.” Di tempat lain, ada inisiatif menarik dari salah satu polisi yang menyisihkan gajinya untuk mendukung pendidikan anak-anak. Anak-anak sekolah tersenyum dengan buku dan alat tulis baru di tangan mereka. Semua ini terdengar mengagumkan, tetapi bukankah pekerjaan ini lebih cocok untuk Kementerian Sosial atau Kementerian Pendidikan?
Di sisi lain, angka kriminalitas tetap tinggi. Berita kejahatan menjadi rutinitas harian. Sementara itu, polisi lebih sibuk mencitrakan diri sebagai “pahlawan lokal” yang mendistribusikan bantuan sosial. Semuanya mungkin tampak menyentuh hati, tetapi lagi-lagi, kapan polisi sempat mengurus kasus-kasus kriminal yang menumpuk?
Tapi Apa Kabar Keadilan?
Di balik pencitraan “polisi baik hati” ini, kita tidak bisa melupakan realitas pahit tentang banyaknya laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti. Kasus-kasus seperti penembakan, pelecehan seksual, hingga pencurian kerap kali mentok di meja laporan. Tidak jarang korban malah dipersulit atau justru disalahkan. “Barang kamu hilang? Ya kenapa nggak hati-hati sih?” adalah respons yang, sayangnya, sering terdengar.
Saat polisi sibuk berfoto dengan anak-anak sambil membagikan buku, kasus penegakan hukum sering kali berjalan lambat. Alih-alih membantu, polisi justru sering jadi tameng birokrasi yang memusingkan korban. Lebih parah lagi, ada banyak kasus penyalahgunaan wewenang. Dari polisi yang meminta “uang administrasi”, hingga anggota polisi yang justru menjadi pelaku kejahatan itu sendiri.
Tidak hanya itu, polisi juga sering terkesan “pilih-pilih” dalam menangani kasus. Ketika seorang rakyat kecil mencuri makanan karena kelaparan, proses hukum berjalan cepat. Namun, ketika pengusaha besar terlibat kasus korupsi, prosesnya bisa berlarut-larut hingga bertahun-tahun. Keadilan seakan menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses mereka yang punya uang atau koneksi.
Baca juga:
Dengan segala tugas tambahan yang dilakukan polisi, mulai dari menjadi petani hingga influencer, masyarakat jadi bertanya-tanya: “apakah ini bentuk nyata dari slogan presisi yang digembar-gemborkan? Ataukah ini hanya upaya untuk menutupi masalah fundamental di tubuh kepolisian itu sendiri?”
Bukan berarti saya meremehkan usaha polisi untuk mendekatkan diri kepada masyarakat. Tapi ketika upaya pencitraan ini justru mengaburkan tugas utama mereka, ada yang perlu kita kritik. Polisi seharusnya fokus pada penegakan hukum dan menjaga keamanan. Jika mereka terlalu sibuk menjadi “segala hal” selain polisi, siapa yang akan menjalankan fungsi-fungsi itu?
Rombak Ulang Intstitusi Kepolisian!
Sudah waktunya kita sebagai masyarakat berhenti berharap pada perubahan kecil-kecilan yang tidak berarti. Institusi kepolisian membutuhkan reformasi besar-besaran, dari akar hingga pucuk. Terlalu banyak kasus yang menunjukkan bahwa polisi tidak lagi dipercaya untuk menegakkan hukum secara adil. Alih-alih melindungi masyarakat, mereka justru sering menjadi sumber ketakutan.
Penyalahgunaan wewenang, manipulasi kasus, dan pengabaian laporan adalah cermin dari sistem yang korup dan tidak efektif. Tidak ada gunanya polisi sibuk memanen jagung, memberikan bantuan sosial, atau menjadi selebriti Instagram jika pada saat yang sama, hukum tidak ditegakkan dan keadilan tidak dirasakan oleh masyarakat.
Rakyat tidak butuh polisi yang hanya tampil baik di kamera. Kita butuh polisi yang bisa diandalkan, yang bekerja untuk keadilan tanpa pilih kasih, dan yang berani melawan korupsi, termasuk di tubuh mereka sendiri. Sampai reformasi ini dilakukan, sulit rasanya mengharapkan kepercayaan masyarakat kembali.
Saat ini, banyak yang memandang polisi sebagai institusi yang gagal. Dan itu bukan tanpa alasan. Slogan “melindungi dan melayani” hanya akan menjadi kata kosong tanpa tindakan nyata. Masyarakat sudah muak. Kita butuh tindakan, bukan pencitraan. (*)
Editor: Kukuh Basuki