Yang Fana adalah Ruang Aman, Catcalling Abadi

Tatiana Ramadhina

3 min read

Kalau saya boleh dan bisa meminta satu permohonan dengan kepastian akan dikabulkan saat itu juga, maka saya sangat berharap bisa bebas dari catcalling—setidaknya, untuk satu hari saja. Saya hanya ingin bisa menjalani hari tanpa rasa was-was, tanpa ketakutan akan orang asing mana lagi yang akan mengganggu keamanan saya.

Harapan itu terdengar sederhana dan memang sesungguhnya sangat sederhana. Namun, entahlah, nyatanya sampai sekarang saya belum benar-benar merasakannya. Saya sampai pernah berpikir, rasanya lama-lama saya tidak tahu lagi akan bagaimana hidup tanpa catcalling, seperti apa itu hidup di ruang aman tanpa terkecuali.

Percaya atau tidak, di-catcall sudah menjadi bagian dari keseharian saya. Mau pagi, siang, atau malam. Mau di jalan raya, di transportasi publik, atau bahkan di dekat rumah sendiri. Ancaman catcalling selalu ada, menghantui kemana pun dan kapan pun saya pergi. Tak terhitung sudah berapa kali saya mengalaminya selama ini. Boro-boro menghitung, mengingat setiap kejadiannya pun sebenarnya saya tak pernah mau. Namun, pada akhirnya, saya selalu ingat semuanya. 

Ingatan saya merekam jelas semuanya—firasat buruk, rasa takut, hingga penyesalan. Pada akhirnya, saya tak pernah benar-benar melawan dan membela diri sendiri. Apakah saya ingin melawan? Selalu. Apakah perlawanan itu terjadi? Sayangnya, tidak selalu. Saya hampir lebih banyak diam sembari berusaha sekuat tenaga memendam amarah dalam-dalam.

Ada begitu banyak alasan yang bisa saya jelaskan tentang pemilihan sikap saya yang seperti itu. Kalau mesti menjelaskannya secara singkat, jawabannya adalah karena saya perempuan.

Memangnya, ada apa dengan menjadi perempuan? Saya begitu bangga terlahir sebagai seorang perempuan. Namun, di satu sisi, saya sadar betul bahwa menjadi perempuan berarti juga—mau tak mau—menyadari posisi saya yang lemah di masyarakat. Dibelenggu stigma, diobjektifikasi, dituntut berbagai aturan yang entah asalnya dari mana, ditambah lagi dengan berada di lingkungan yang tidak punya kemampuan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakatnya. Tidak ada kepastian keamanan. Semuanya tidak jelas, serba abu-abu. 

Kenyataan tersebut membuat saya tahu bahwa tidak ada jaminan apa pun yang bisa memastikan keselamatan saya setiap kali saya dilecehkan, termasuk ketika di-catcall. Diam dan tak bereaksi apa pun adalah respons paling rasional yang saya lakukan demi mencegah kemungkinan terburuk.

“Kemungkinan terburuk kayak apa, sih, yang bakal kejadian gara-gara catcalling? Kan cuma omongan aja, nggak diapa-apain?”

Saya yakin, banyak yang berpikir seperti itu sembari menyangsikan ketakutan mereka yang menjadi korban catcalling. Tidak apa-apa. Saking sudah terlalu sering dianggap sepele, rasanya saya sudah tidak peduli dengan orang-orang yang menganggap enteng catcalling. Saya hanya berharap semoga mereka yang berpikiran seperti itu tidak pernah merasakannya langsung.

Satu yang bisa saya jelaskan, kemungkinan terburuk yang bisa terjadi kepada korban catcalling menyangkut keberlangsungan hidup kami. Nyawa kami terancam. Saya bisa kehilangan seluruh hidup saya karena suatu omongan.

Saya tidak akan pernah lupa momen ketika dibuntuti oleh beberapa lelaki sembari diteriaki dan dicaci maki karena mereka tidak terima dengan respons saya atas catcalling yang mereka lakukan. Orang sudah lelah setelah seharian bekerja, ketika pulang malah harus berurusan dengan lelaki kurang ajar. Benar-benar salah satu hari terburuk yang pernah saya lewati. Selayaknya orang yang merasa risih karena ketenangannya diusik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, sekali itu saya putuskan untuk membela diri sendiri. 

Saya merespons dengan emosi yang sudah ditahan sekuat tenaga. Itu saja mereka tidak terima. Bagaimana jadinya kalau seluruh emosi saya meluap-luap? Saya harus berterima kasih pada angkot malam itu yang melaju dengan kencang setelah para lelaki itu lelah berlari dan mengejar saya dengan motor mereka. Tidak ada ngetem sebelum motor-motor itu menghilang ditelan kerumunan kendaraan lain.

Keberanian saya malam itu membuat saya kapok. Saya jadi sadar, tidak ada yang bisa memastikan keselamatan saya. Malam itu, keberuntungan masih berpihak pada saya, ada angkot yang menyelamatkan. Malam-malam lainnya belum tentu. Angkot penyelamat tidak mungkin muncul setiap hari. 

Ada perkataan seorang ibu-ibu penumpang angkot malam itu yang membawa saya ke kenyataan. Ia sempat memandangi saya beberapa saat, lalu menenangkan dan meyakinkan saya bahwa keadaan sudah aman. Selang beberapa menit kemudian, ibu tersebut berkata: 

“Lain kali diemin aja, ya, mbak. Daripada kenapa-napa, kan. Namanya juga laki-laki.” 

Saya hanya terdiam. Terlalu kaget untuk berbicara. Terlalu bingung untuk bereaksi seperti apa. Namun, saya sadar itu saran yang paling realistis. Sejak saat itu, saya selalu diam. 

Di waktu-waktu sebelumnya, mungkin saya sudah marah dan meledak mendengar ungkapan pasrah seperti itu. Malam itu saya menerimanya tanpa bantahan apa pun. Ketika dalam kondisi terjepit, terkadang pilihan terbaik adalah untuk menerima dan tunduk pada keadaan biarpun itu jelas-jelas tidak adil. Yang penting bisa bertahan, selamat, dan tetap hidup.

Baca juga:

Jauh di lubuk hati paling dalam, saya tidak mau membiarkan perbuatan seperti itu. Saya tidak akan memaklumi orang seperti itu. Saya tidak sudi hidup di lingkungan yang menganggap pasrah adalah cara terbaik untuk melindungi diri. Namun, pada akhirnya, saya tidak bisa apa-apa. Ketidakmauan saya dengan cepat berubah menjadi ketidakmampuan. 

Lagipula, apa saya bisa berharap banyak?

Sampai saat ini, catcalling masih dianggap terlalu sepele untuk disikapi secara serius. Kasus kekerasan seksual yang berat saja ditangani dengan setengah-setengah, apalagi kalau “cuma” catcalling.

Tak jarang juga para korban justru dianggap berlebihan, lebay. Keresahan kami dianggap angin lalu karena tidak ada bekas yang terlihat. Buktinya tak kasatmata. Satu-satunya yang akan menanggung semuanya, merasakan bekas dan dampak dari catcalling hanya para korban. Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana trauma yang diakibatkan, kecuali mereka yang mengalaminya. 

Sampai kapan, ya, akan terus seperti ini? Belakangan, saya sepertinya mulai sampai ke kesimpulan bahwa catcalling itu abadi. Keberadaannya sudah terlanjur mengakar dan dianggap normal di masyarakat kita sampai sebegitu susahnya untuk dibasmi. Sementara itu, yang fana adalah ruang aman. Ia tidak selamanya ada, pun tidak sepenuhnya ada. Keberadaannya masih bergantung kepada situasi dan kondisi tertentu.

Saya akan terus bertanya-tanya, apakah dunia tanpa catcalling itu ada? 

 

Editor: Emma Amelia

Tatiana Ramadhina

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email