Kasus penyanyi Dikta Wicaksono, Januari lalu yang mengalami pelecehan seksual oleh penonton ketika manggung di Sarinah malah mendapat komentar yang melecehkan juga di Twitter. “Lato-lato Mas Dikta kena main sama fansnya,” tulis seorang warganet. Sudah jatuh tertimpa tangga, sudah mengalami pelecehan seksual secara fisik, ditambah pula pelecehan verbal di media sosial.
Sempat viral juga kasus pelecehan yang dilakukan oleh perempuan kepada pengemudi ojol. Perempuan ini sengaja mendekatkan dadanya ke seorang pengemudi ojol dengan dalih menanyakan alamat. Pengemudi ojol tersebut terlihat sangat risih. Hal seperti ini juga sudah termasuk pelecehan seksual. Namun, masih banyak respon warganet yang malah menganggap pengemudi ojol tersebut kegirangan mendapatkan perlakuan semacam itu dari seorang perempuan.
Dua kasus tersebut mengingatkan kita pada kasus yang terjadi di kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada tahun 2021 lalu. Seorang pegawai laki-laki membuat surat terbuka yang berisi cerita perundungan hingga pelecehan yang dialaminya di kantor. Korban sudah melaporkan kejadian yang menimpanya, tapi tidak ada kejelasan respons dari pihak berwenang. Hingga hari ini.
Pelecehan seksual sering terjadi pada korban perempuan, tetapi penting untuk diakui bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi korban pelecehan seksual. Nyatanya kasus pelecehan terhadap laki-laki jarang mendapat sorotan yang sama seperti kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi?
Stereotipe Gender dan Maskulinitas yang Toksik
Salah satu alasan mengapa pelecehan seksual terhadap laki-laki sering tidak didengar adalah karena adanya stereotipe gender dan persepsi yang melibatkan maskulinitas yang toksik dalam masyarakat. Terdapat anggapan bahwa laki-laki harus selalu kuat secara fisik dan mandiri secara emosional. Akibatnya, ada tekanan pada laki-laki untuk menunjukkan kekuatan, menahan rasa sakit, dan tidak menunjukkan kerentanan. Hal ini dapat menyebabkan mereka kesulitan untuk mencari dukungan dan mengatasi masalah emosional dengan sehat. Stereotipe ini menciptakan stigma yang menyebabkan laki-laki enggan untuk melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami, karena takut akan dihakimi, diragukan kejantanannya, atau dianggap lemah.
Stereotipe gender dan maskulinitas yang toksik sering menekankan pentingnya meminimalisasi ekspresi-emosi. Laki-laki sering kali diajarkan untuk menyembunyikan rasa takut, sedih, atau kelemahan yang akhirnya dapat menghambat perkembangan emosional dan kemampuan mereka untuk terhubung secara emosional dengan orang lain.
Ada pula stereotipe bahwa laki-laki selalu menginginkan kontak seksual dan bahwa mereka memiliki dorongan yang tak terbendung. Stereotipe ini berkontribusi pada anggapan bahwa laki-laki selalu menginginkan kontak seksual dan mereka tidak mungkin menjadi korban pelecehan. Hal ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi tanda-tanda pelecehan, memperoleh dukungan, dan melaporkan kejadian yang terjadi pada laki-laki.
Rendahnya Kesadaran dan Pemahaman Masyarakat
Kurangnya informasi, edukasi, dan pemahaman menyebabkan minimnya perhatian yang diberikan pada kasus pelecehan yang melibatkan laki-laki. Hal ini membuat korban laki-laki sulit mencari bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan.
Laki-laki yang mengalami pelecehan seksual kerap menghadapi stigma dan ketakutan untuk berbicara karena tekanan sosial, rasa malu, atau rasa takut tidak dipercaya atau diabaikan. Mereka boleh jadi merasa bahwa masyarakat tidak akan mengakui pengalaman mereka atau bahkan menyalahkan mereka atas apa yang terjadi.
Kurangnya sumber daya dan dukungan bagi laki-laki korban pelecehan seksual juga dapat membuat mereka merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk mencari bantuan. Layanan dukungan kerap hanya difokuskan pada korban perempuan, sementara layanan khusus untuk laki-laki mungkin terbatas atau tidak dikenal secara luas.
Kurangnya edukasi dan sosialisasi juga berperan dalam kesadaran masyarakat yang rendah tentang adanya pelecehan seksual terhadap laki-laki. Banyak orang tidak memahami bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual, sehingga mereka tidak siap untuk mengenali tanda-tanda atau memberikan dukungan yang diperlukan.
Mengatasi Persoalan Pelecehan Seksual kepada Laki-Laki
Minimnya informasi yang jelas dan akurat mengenai pelecehan seksual terhadap laki-laki dapat menyulitkan pemahaman mendalam tentang skala masalah, dampaknya terhadap korban, dan perlunya upaya pencegahan dan perlindungan yang lebih baik.
Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelecehan seksual terhadap laki-laki sangat penting. Kampanye pendidikan yang luas harus diselenggarakan untuk menginformasikan masyarakat tentang fakta bahwa laki-laki juga dapat menjadi korban pelecehan seksual. Ini dapat mencakup penyuluhan di sekolah, seminar atau lokakarya, serta kampanye media sosial yang mengedukasi tentang isu ini.
Selain pendidikan dan kesadaran, perlu adanya destigmatisasi dan normalisasi pembicaraan tentang laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual. Hal tersebut sangat penting untuk mengurangi ketabuan isu ini. Masyarakat harus menciptakan ruang aman bagi mereka untuk berbagi pengalaman tanpa rasa takut, malu, atau penghakiman yang tak berdasar. Pembicaraan terbuka dan normalisasi tentang pelecehan seksual terhadap laki-laki dapat membantu mengurangi stigma dan memberikan dukungan yang diperlukan korban.
Langkah selanjutnya adalah mengatasi stereotipe gender yang merugikan, termasuk stereotipe yang mengasumsikan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi korban pelecehan seksual.. Mendengarkan dengan penuh perhatian, menghormati pengalaman mereka, dan mempercayai kebenaran cerita para korban adalah langkah penting dalam memperkuat keberanian mereka untuk berbicara dan melaporkan pelecehan. Masyarakat harus bekerjasama untuk menghancurkan stereotipe ini dan mempromosikan gagasan bahwa laki-laki dapat menjadi korban pelecehan seksual tanpa merasa terhina atau lemah.
Membangun layanan dukungan yang khusus untuk laki-laki korban pelecehan seksual menjadi sangat penting termasuk penyediaan konseling khusus, kelompok dukungan, hotline bantuan, dan sumber daya yang dapat diakses oleh laki-laki yang mencari bantuan dan dukungan. Memastikan bahwa layanan ini tersedia, mudah diakses, dan sensitif terhadap isu yang spesifik dapat membantu melawan ketabuan dan memberikan dukungan yang dibutuhkan.
Usaha lain yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki adalah dengan melibatkan laki-laki dalam upaya perubahan sosial. Laki-laki dapat menjadi sekutu yang kuat dalam memerangi pelecehan seksual dengan mendukung, memperjuangkan keadilan, dan mengedukasi teman dan rekan mereka tentang isu ini. Melibatkan laki-laki dalam kampanye kesetaraan gender dan menjadikan mereka bagian dari solusi dapat membantu menciptakan perubahan yang lebih luas dalam masyarakat.
***
Editor: Ghufroni An’ars