Perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan kerja bukan kasus baru di Indonesia. Namun, penanganannya masih selalu mentok di kantor polisi karena alasan kurangnya saksi dan barang bukti atau bahkan tetap terpendam di kantor masing-masing.
Kasus kekerasan seksual di kantor KPI Pusat dan Baiq Nuril bisa dibilang hanyalah puncak gunung es. Di sekitar kita, masih banyak korban yang ketakutan untuk melapor atau menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya. Bagaimana tidak? Seringnya, laporan-laporan itu hanya dianggap aksi cari perhatian dan kasusnya dimentahkan, bahkan banyak korban yang malah disalahkan. Kalau sudah begitu, jangan paksa masyarakat untuk percaya bahwa masih ada penegakan hukum yang adil di negeri ini.
Sistem perlindungan dari ancaman dan tindak kekerasan seksual di tempat kerja di Indonesia memang masih sangat memprihatinkan. Hal itu dibenarkan oleh Tunggal Pawestri, aktivis yang kerap menyuarakan isu kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual.
“Secara umum, iklim di Indonesia termasuk ramah bagi para pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. Yah, termasuk di tempat kerja yang jarang sekali sampai sekarang memiliki SOP ketat soal anti kekerasan seksual,” kata Tunggal saat dihubungi omong-omong.com via whatsapp.
“Bicara soal sexual harrasment juga, kan, tidak jauh dari relasi kuasa, maka tidak heran jika tempat kerja yang nihil perlindungan dan perhatian bagi isu semacam ini, akan muncul kasus-kasus,” tambahnya.
Di tengah minimnya perlindungan dan maraknya tindak kekerasan seksual di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sudah diajukan ke DPR RI sejak 2016, malah kembali mengalami penjegalan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari draf Pernyataan Sikap Komisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS), ada 85 pasal yang dipangkas dalam RUU PKS versi Badan Legislatif (BALEG) DPR RI (30/8/2021). Dari judul yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Poin-poin di dalamnya dianggap mengabaikan unsur kepentingan korban seperti pemulihan, perlindungan, dan akses terhadap keadilan secara umum. Serta penghalusan istilah “perkosaan” menjadi “pemaksaan hubungan seksual”.
“Sejak dulu saya tidak pernah setuju menggunakan kata-kata eufemisme untuk menjelaskan tindak pidana perkosaan. Tentu saja kata perkosaan harus ditulis dengan jelas. Bagi saya semua tindakan pemaksaan hubungan seksual itu adalah perkosaan (mau dengan ancaman atau dalam keadaan korban tidak sadar misalnya),” kata Tunggal, saat dimintai pendapat terkait penghalusan istilah dalam RUU versi BALEG DPR RI.
“Sekarang saja masih banyak, kan, media atau penegak hukum misalnya yang menggunakan kata ‘digagahi’ untuk menggambarkan perkosaan. Hal ini seolah-olah ‘memperhalus’ sebuah tindakan tak beradab yang biasa kita kategorikan sebagai perkosaan. Dan itu ya mestinya tidak dilakukan,” imbuhnya.
Pasal dipangkas dan kata-kata diperhalus. Sementara para karyawan masih dilingkupi ketakutan karena bekerja di ruangan yang penuh ancaman kekerasan. Melaporkan tindak kekerasan yang kita alami pun bisa jadi bumerang buat diri sendiri. Apakah ini artinya kanal-kanal media sosial jauh lebih manusiawi dibanding kantor-kantor penegak hukum di negeri ini?
One Reply to “Awas! Bahaya Pelecehan Mengintai di Kantormu”