Apakah tulisan rumit perlu disederhanakan agar semua orang bisa memahaminya?
Sebuah tulisan, apalagi yang membahas persoalan khusus seperti teologi dan filsafat, tak apa apabila tidak mudah dipahami begitu saja. Bahkan, jenis tulisan yang membahas persoalan khusus tersebut justru bisa bermasalah jika penyampaiannya terlampau disederhanakan. Dengan kata lain, tidak semua tulisan bisa disederhanakan. Namun, pembaca yang berkeinginan kuat bisa berupaya memahaminya lewat buku-buku pengantar.
Ilmu apa pun bisa dikatakan sulit dipahami jika kita tidak mendalaminya. Orang yang tidak berkecimpung di bidang ilmu-ilmu alam akan kesulitan memahami karya-karya ilmu alam yang mendalam. Orang yang tidak berkecimpung di bidang ilmu-ilmu sosial akan kesulitan mendalami karya-karya ilmu sosial. Orang yang tidak berkecimpung dalam kajian agama pun akan kesulitan mendalami ilmu agama. Maka dari itu, untuk memahami tulisan yang rumit, kita perlu pengantar agar mengerti bahasan-bahasan yang lebih kompleks di situ.
Pemikiran sederhana menganggap permasalah terlihat sederhana, seakan semua masalah bisa diselesaikan dengan sederhana. Padahal, kalau memang tulisan rumit sebegitu sukar dipahami dan tidak relevan, kenapa buku-buku filsuf, teolog, dan fisikawan masih bertahan sampai sekarang?
Gagasan yang mereka sampaikan lewat tulisan yang tidak mudah dipahami itu memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Siapa pun yang ingin mempelajarinya perlu sabar mulai belajar dari buku-buku pengantar atau dari ahli yang dapat membimbing. Membaca tulisan rumit dari tokoh-tokoh besar selayaknya melatih otak berkembang untuk memahami berbagai sudut pandang, pemikiran, gagasan, dan konteks sosial yang tidak bisa dipahami begitu saja.
Namun, sebuah tulisan bukan hanya milik penulisnya, tapi juga milik pembaca. Ketika tulisan disebarluaskan, pembaca berperan untuk memahami dan menafsirkan apa yang telah dituliskan. Seorang pembaca tidak berada dalam posisi pasif menghadapi tulisan, tapi dalam posisi aktif yang memiliki bahan bacaan atau referensi lain ketika memahami sebuah tulisan.
Seorang pembaca bisa menuliskan ulang apa yang telah dia baca. Berbicara sejarah Indonesia saja, tidaklah sederhana. Kita bisa mempertanyakan apa itu Indonesia? Dari mana kata “Indonesia” berasal? Bagaimana sejarah Indonesia? Siapakah manusia Indonesia? Kenapa ideologi Indonesia Pancasila? Dan sederet pertanyaan lainnya yang tidak bisa disederhanakan begitu saja. Untuk itu, jika memang kita ingin mempelajari itu semua, maka kita mesti mulai dengan buku pengantar.
Pengantar untuk Memahami Tulisan Rumit
Di pesantren, sebelum mendalami ilmu mantiq yang berasal dari filsafat, seorang santri perlu memahami pengantar berupa ilmu alat pelajaran bahasa Arab berupa nahwu, saraf, dan balagah. Begitupun saat bicara filsafat, seseorang perlu buku pengantar filsafat, misalnya novel Dunia Sophie karya Jostein Gaarder. Dari novel ini, pembaca diperkenalkan tentang bagaimana berfilsafat, tokoh-tokohnya, dan berbagai gagasan filsuf. Ada juga buku Sebelum Filsafat karya Fahrudin Faiz yang juga bagus untuk memahami filsafat. Dalam buku pengantar tersebut, dijelaskan bahwa sebelum membaca buku filsafat kita harus memahami “bahasa” para filsuf. Sebab, pengertian suatu terma bisa berbeda, misal saja pengertian “filsafat” bagi para filsuf bisa berbeda-beda.
Lalu, bagaimana dengan ilmu fisika? Relativitas karya Albert Einstein jelas tidak mudah dipahami oleh awam. Misalkan saja, rumus e=mc^2, bagaimana kita memahaminya tanpa mempelajari arti simbol-simbol tersebut?
Baca juga:
Menjadi Pembaca Aktif
Seorang pembaca yang tekun tentulah bertumbuh dan berkembang. Mereka membaca berbagai hal, terutama yang diminati.
Akan tetapi, kemudahan yang ditawarkan oleh ponsel pintar membuat pembaca sering kali pasif dan menerima begitu saja apa yang tertera tanpa mencari lebih jauh dari mana asal sebuah kutipan. Kutipan “Everything should be made as simple as possible, but not simpler” oleh Albert Einstein adalah salah satu contohnya. Pembaca menelannya bulat-bulat tanpa mencari asal dan konteks kutipan tersebut. Alhasil, ketika bertemu dengan tulisan yang rumit, mereka beranggapan bahwa penulislah yang tidak bisa menyederhanakan tulisannya. Padahal, bisa saja tulisan itu menjadi rumit karena pembaca tidak aktif untuk memahami gagasan di sana.
Editor: Emma Amelia