Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Perburuan Makna dan Puisi Lainnya

Madno Wanakuncoro

2 min read

Sendal Jepit

awan kembali gugup
di teras lengang—yang
penuh kebisuan

sendal jepit termangu
meraba langit
lewat tulisan pudarnya

tentang nasib dan mendung
yang sedang asyik berlayar
bergandengan tangan
di atas harumnya waktu
bersama gerimis

—dan kita berdua saja

sendal jepit menyimak
bunga rumput dan pohon kersen itu
di gigir sungai nan lugu dan lemas

ranting-ranting batinku gemetar

sambil meringis
sambil menangis
tentang nasib yang tak kunjung lepas
—seperti suara
yang tak kunjung pecah
menjerit kerinduan

(Yogya, Feb 2021-2023)

Yang Lebih Membekas

roda mobil menjejak genangan air
dan muncrat
mengiringi desir wajahku yang basah
dan benak yang terus melamun dan bertanya,

“mengapa senyum tak selaris derita, dik?”

mengapa hajat perkawinan tak lebih menyentuh
dari kematian seorang ibu

mengapa kelahiran manusia baru
tak lebih membekas
dari ucapan selamat tidur
yang dikecupkan almarhum
lewat mimpimu

(Secangkir Jawa – Yogya, 2023)

Tukang Koran

Yogya sedang sepanas waktu
menjelang pemilu
ubun-ubun mendidih
membuat penjaja koran menggerutu,
“kenapa berita kini tak selaris derita?”

pakdhe tukang angkringan
di samping perempatan
risau menjerang air jahe
dengan makian istri
yang dibungkus dari rumahnya

lampu merah semakin betah
memaku pengendara di punggung aspal
: sebuah kesempatan emas
bagi penjaja koran
untuk memayungi mereka
dengan berita

upahnya cukup senyum yang adem
dan rating bintang lima

(Yogya, Juni 2023)

Sempatkah Aku?

ada gelandangan
lagi merakit bom
di gundukan sampah ibu kota

anaknya sibuk mengais remahan gedung
sisa penggusuran
ingin bikin istana pasir tak bisa
bikin istana reruntuhan saja

simbok pedagang pecel meracik bumbu
keringat mengucur dari keningnya
menjelma suwuk mujarab
obat kangen bagi perantau sepertiku
yang manjur mengingatkan bau gerimis
di kampung halaman

tiba suatu kali dua orang sopir truk sampah
sowan ke pak yai di pesantren
pulangnya mendepak drum kosong
mungkin berkeluh tentang kemacetan jalan dan gaji
: sendi penghidupannya loyo
otot batinnya legrek dan kesleo
sedang anaknya di rantau meminta saldo

di sela-sela himpitan potret semacam itu
sempatkah aku memilihmu, dik?

pada kurun zaman yang kelak labirin sepi
kedap suara dan kebal rasa
tapi kita masih diwajibkan untuk
menertawakan penderitaan

dengan mantra skripsi bungkus gorengan
dan tesisku yang ludes kubakar
silakan kau kecam ketaksigapanku ini

lempar saja sendal swallow
bekas perjalanan kita ke gunung itu
lagi pula, jika pun hilang, masih ada tisu basahmu
yang ketinggalan di saku jaketku

kau mungkin bisa melipatnya jadi empat
lalu disolasi, dan jadilah jimat
anti-korona, anti-memorabilia

lagi pula, kapan terakhir kali
kau seka wajahku, dik?

sewaktu gemerisik dahan-dahan pohon meranti
belum digusur dinas pariwisata
dan penebang liar
dari kolong kota
—sebelum kerang remis Desa Seluma
dirampas kuku tajam para kapitalis

sebelum tergilas hari-hari
bersama rinso sachet dan kapal api
yang tergenang di Kali Brantas
tempat dua juta orang lebih membuang popok
sembari minum darinya

juga sebelum ada kurikulum kangen, rindu
dan undang-undang untuk mencintaimu,
sempatkah aku
membasuh wajahku
dengan wajahmu?

(Yogya, 2021-2023)

Perburuan Makna

pada detak detik yang tergesa
jasadku akan terpendam
kalis dan larut
ditelan rahang waktu dan sejarah yang senyap

aku tak bisa menulis lagi
tak bisa berpuisi lagi

memikirkannya membuatku ranum
hanyut membaca daftar kesia-siaan tanpa ujung
di pedalaman sinar mataku

ada suara daun jatuh perlahan
seolah bertanya, apa yang kuinginkan
: menjadi bermakna atau lekas terlupakan?

aku hanya ingin meraba pagi
seperti nenek yang menyapu halaman rumahnya
dan latar musala
ia ingin hidup punya makna

atau seperti bapak pengisap kretek di sana itu
yang khusyuk berjongkok
sembari membonsai kembang-kembang
di teras sempitnya
bersama kucing yang berbaring
menjilati laun kaki dan pinggangnya

atau meniru mas-mas pengangguran
yang asyik mengudang burung kenari
sambil sesekali pergi mancing, memanjat pohon,
mengunduh anakan prenjak dan cendet
di tegal rimbun pojok desa

namun kesemua makna lenyap direnggut masa
segala pohon tinggal menggigil sendirian
semak bluntas dan rumput gajah
raib sudah

dan bila masih ada jeda napas bagiku
di hari esok yang mungkin tak ada,
aku ingin mataku
seperti sorot mata seorang ibu
yang memandangi anaknya—yang telah lama pergi—
kembali ke pelukannya.

(Yogya, 2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Madno Wanakuncoro
Madno Wanakuncoro Penulis yang gemar melukis dan nonton film. Bercita-cita tamasya ke Blackhole tapi nyangsang di Yogyakarta. Baru menulis 6 judul buku (inginnya melebihi umur). Ig: @madno_wk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email