Banyak cara manusia diingat oleh sesamanya. Mulai dari parasnya, namanya, bahkan juga asal tempat tinggalnya. Saya termasuk golongan yang terakhir itu. Sejak awal kuliah, kawan-kawan baru mengingat saya karena tempat tinggal. Bahkan, mungkin banyak kawan lebih mengetahui asal saya ketimbang nama saya yang sebenarnya.
Saya berasal dari Bandungan. Teman-teman yang tak mengetahui nama saya waktu itu memanggil dengan nama asal saya: Si Bandungan. Ini bukan tanpa alasan. Sebab, tempat tinggal saya bukan daerah sembarangan sehingga mudah diingat. Ya, tempat tinggal saya adalah kawasan prostitusi. Salah satu yang terbesar di Indonesia, mungkin.
Baca juga:
Di antara kawan-kawan sejawat di kampung, saya termasuk yang sedikit beruntung karena diberikan kesempatan untuk kuliah. Sementara itu, kawan-kawan yang lain, entah putus sekolah atau selesai sekolah, langsung memutuskan untuk menikah dan bekerja sebagai karyawan hotel dan karaoke. Di sini memang banyak hotel dan karaoke lantaran tak adanya lokalisasi. Prostitusi di wilayah ini menggunakan hotel dan karaoke sebagai sarana transaksi.
Mula-mula, saya berpikir jika kesempatan untuk berkuliah adalah semacam penyelamat bagi saya agar tidak berlama-lama hidup di wilayah yang dianggap buruk oleh banyak orang ini. Kesempatan ini jugalah perkara bagaimana caranya supaya saya tidak terjerumus dan menjadi seperti kawan-kawan saya. Intinya, saya harus bisa hidup lebih baik.
Seiring berjalannya waktu, alangkah picik dan egoisnya saya karena memelihara pikiran seperti itu. Saya membodoh-bodohkan diri saya sendiri karenanya. Saya amat tertampar ketika membaca salah satu tulisan bell hooks waktu duduk di semester dua. Kurang lebih seperti ini tulisnya, “Negara ini telah membuat warganya berpikir tentang dirinya sendiri, seolah tak ada yang lebih besar di luar dirinya.”
Persetan dengan negara dalam ungkapan itu. Yang saya dapati dari sisa ungkapan bell hooks benar-benar menampar egoisme yang menyeruak dalam diri ini. Ya, selama ini saya ternyata hanya berpikir tentang diri saya hingga melupakan dunia lain yang ternyata tak kalah pentingnya: lingkungan saya sendiri, utamanya anak-anak. Sebagaimana desa yang lain, di sini amat banyak anak-anak.
Saya mendapati diri saya pada anak-anak di lingkungan kampung. Setiap hari, mereka melihat orang-orang mabuk, orang-orang dengan pakaian sangat terbuka mondar-mandir dan tinggal bersama dengan pasangan yang berganti-ganti, dan banyak lagi.
Anak-anak kecil berpakaian merah putih merokok, merendahkan perempuan pekerja seks seperti yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitarnya. Mereka membicarakan hal-hal tak senonoh yang tentu amat berbeda dengan pandangan mengenai pendidikan seks sejak dini. Anak-anak sekolah menengah mabuk hampir setiap hari, bahkan jago me-review jenis-jenis kondom.
Tak bisa ditampik, prostitusi sangat memengaruhi anak-anak. Banyak studi telah membuktikan hal itu. Pikir saya, itu telah merenggut masa kanak-kanak mereka. Masa-masa yang seharusnya dipenuhi dengan semangat belajar dan bermain justru dipenuhi dengan pengalaman-pengalaman yang belum seharusnya mereka jumpai. Namun, mau bagaimana lagi? Itulah yang terjadi di Bandungan.
Albert Einstein dalam Why Socialism menasihati saya tentang pengabdian, yakni apa yang harus diberikan individu kepada masyarakat yang telah menghidupinya. Menambahi nasihat Einstein, Milan Kundera memberikan alternatif jawaban untuk ramuan pengabdian yang dimaksud oleh Einstein itu.
Saya merenung. Mungkin kesempatan untuk berkuliah adalah jalan Sang Hyang Widi supaya saya dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat kampung, utamanya anak-anak yang menjadi penerus. Terdengar klise atau bahkan terlalu heroik memang, tapi biarlah.
Baca juga:
Milan Kundera mengatakan dalam Kitab Gelak Tawa-nya bahwa peradaban dapat dihancurkan dengan menghancurkan buku-buku. Dari itu, saya bisa simpulkan pula bahwa peradaban dapat terbangun kokoh dengan menyediakan buku-buku. Sejak saat itu, saya dirikan rumah baca di sini dengan meminjam rumah kosong yang tak dihuni.
Rumah baca itu bernama Pustaka Bestari. Sesuai namanya, besar harapan ini menjadi salah satu lumbung ilmu selain sekolah-sekolah formal. Saya datangi kawan-kawan yang saya kenal. Saya surati pihak-pihak yang sekiranya bersedia membagikan buku untuk anak-anak malang di sini. Perlahan tapi pasti, buku mulai terkumpul—meskipun tidak banyak. Dan, lahirlah tempat bermain baru bagi anak-anak.
Sekurangnya, seminggu sekali kami berkumpul bersama-sama; membaca dan berbincang di rumah baca. Bernyanyi, bermain, dan bersenda gurau. Setidak-tidaknya, inisiatif ini memberikan sedikit warna untuk masa kecil dan remaja mereka.
Sungguh tidak mudah memang untuk menjalankan semua ini, terlebih apabila hanya dengan satu-dua orang kawan yang siap sedia membantu. Namun, bukankah tak ada hal yang mudah? Yang mudah memang hanya yang milik penguasa bukan? Sayangnya, kami bukan siapa-siapa.
Kepada kawan-kawan yang membaca, tidaklah saya bermaksud sombong dengan tulisan ini. Sama sekali tidak. Justru sebaliknya, di tengah kesulitan yang sedang kami hadapi, sedari kurangnya buku-buku dan perangkat lain yang mendukung (termasuk gagasan), kami masih sangat membutuhkan dukungan. Apa pun dukungan itu sangat berarti.
Pesan ini sekaligus menjadi pengingat dan peneguh bagi kita untuk tidak melupakan asal. Ini bukan pesan baru. Bukankah ini adalah pesan leluhur kita yang amat luhur dan mulai dilupakan?
Editor: Emma Amelia
Hai salam kenal kawan sedaerah.
Sesama pejuang literasi di lingkungan prostitusi.
Semoga kita bisa bersua di dunia nyata ya.
Atau kita kolabs rumah belajar & rumah baca??
Halo. Mari berjejaring. Kami aktif di instagram @pustaka_bestari ya
Halo. Mari berjejaring. Kami aktif di ig @pustaka_bestari ya