Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

Melihat Pengarang (dan Profesi Lainnya) Tidak Bekerja

Kholil Rohman

4 min read

Secara umum buku Melihat Pengarang Tidak Bekerja menguraikan pandangan dan pengalaman Mahfud Ikhwan sebagai seorang penulis. Buku yang terdiri atas 12 bab ini merupakan salah satu bukti perjalanan panjang Mahfud setelah melahirkan belasan buku sebelumnya, baik yang berbentuk kumpulan cerpen, kumpulan esai, novel atau tulisan nonfiksi lainnya.

Dari buku ini, saya menangkap apa yang dirasakan Mahfud dalam berbagai aspek. Mulai dari alasan penulis yang mengaku sebagai seorang pecundang dalam banyak hal hingga akhirnya memutuskan untuk menulis, proses kreatif penulis yang penuh dengan deadline dan keterlambatan, juga pandangan orang-orang terkait profesi penulis yang belum mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat.

Alumnus Jurusan Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (UGM) itu mengatakan bahwa motto kepenulisannya berbunyi demikian:

“Api dilahirkan oleh api. Kita tak dapat menyalakan obor dengan menyelupkannya di tumpukan abu yang dingin.”

Kalimat itu diambil dari novel favoritnya yang berjudul Pater Pancali karya Banerji. Mungkin yang dimaksud Mahfud, sejauh pemahaman saya, bahwa karya yang ditulis oleh penulis lama, kemudian dibaca oleh penulis pemula, secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir dan pola tulis dalam menciptakan sebuah tulisan. Baik dari segi susunan bahasa, diksi, ataupun yang lain. Meski latar belakang dan lingkungan sekitar individu juga berpengaruh terhadap tulisan yang kelak dilahirkan.

Saya suka cara Mahfud menjawab apa itu sastra, dengan meminjam berbagai sudut pandang. Seperti bagaimana Wyasa menceritakan tentang permusuhan antara dua keluarga, Walmiki yang menggambarkan seorang suami yang membebaskan istrinya dari sekapan raja raksasa, Sophocles yang menyajikan kisah Oedipus, orang Arab abad pertengahan yang fokus pada Sahrazad, orang Skandinavia bernama Andersen yang mewarisi cerita-cerita mengerikan, Grimm bersaudara dari Jerman yang punya cerita tentang dua saudara yang dibuang bapaknya, atau orang Sunda yang membayangkan di balik terciptanya gunung, ada pria sakti namun bodoh yang ingin mengawini ibunya yang pernah mengawini seekor anjing, atau bahkan bagaimana orang Madura yang suka cerita tentang bramacorah dengan salah satu tokoh terkenalnya yang bernama Sakerah.

Dengan jawaban demikian, secara tidak langsung pembaca diberikan ruang untuk berpikir dan bernalar tentang hakikat sastra. Sehingga, pembaca tidak hanya terjebak pada satu teori yang membatasi perkembangan pola pikir dan definisi tentang sastra. Biarlah pembaca yang menemukan sendiri bagaimana definisi dan pengaruh pengetahuan tentang sastra dalam proses berkarya.

Pulang, Pola, dan Mood

Saya sangat setuju dengan pandangan Mahfud tentang pulang, pola, dan mood. Ia mengatakan bahwa pulang, pola, dan mood mempunyai pengaruh yang cukup siginifikan dalam berkarya. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Affandi yang tidak menghadiri acara pemakaman sahabatnya, penyair Chairil Anwar, dan memilih pulang untuk menggambar sang penyair.

“Saya takut, besok lusa saya tak lagi menemukan ke-Chairil-annya Chairil,” kata Affandi.

Pulang adalah upaya kecil dan seringkali efektif untuk mengebor kebuntuan, mengurai simpul yang mati, meninjau kembali kelokan-kelokan tak perlu, menata ulang tujuan, mengisi kembali logistik yang menipis, atau hal-hal semacam itu.

Pulang memang memiliki daya magis tersendiri bagi masing-masing individu, terutama bagi penulis yang perlu mengendapkan dan melambatkan hari untuk menjernihkan kepala dari rutinitas yang itu-itu saja.

Sama seperti Mahfud, saya juga tidak terlalu suka membentuk pola yang terlalu mengikat dalam proses kepenulisan. Sebab, menurut saya pola yang terlalu mengikat hanya akan melahirkan kebosanan dan perasaan terbebani dalam berkarya. Saya lebih suka mengalir tapi tetap diarahkan dan diiringi semangat yang pastinya harus terus diperbaharui. Dengan demikian, proses kepenulisan bisa berjalan lebih efektif, efisien, dan pastinya lebih menyenangkan.

Seiring berjalannya waktu, saya ikut mengimani apa yang disampaikan oleh Mahfud, bahwasanya “Nikmat terbesar seorang penulis adalah masih terus bisa menulis”. Sebab, di tengah rasa malas dan alasan tidak ada ide, penulis yang masih berstatus abal-abal dan jauh dari kata terkenal, sangat berpotensi untuk berhenti menulis. Apalagi ditambah adanya kesibukan lain yang bersifat lebih menguntungkan. Menulis memang tidak selamanya tentang uang dan ketenaran, tapi ketiadaan keduanya itu merupakan faktor yang cukup untuk membuat seorang penulis pemula berhenti berkarya.

Mungkin sedikit berbeda ceritanya dengan para penulis terkenal atau yang sudah dikontrak oleh penerbit-penerbit besar. Mereka masih mempunyai alasan dan kewajiban untuk terus memunculkan ide dan melahirkan tulisan. Apalagi ditambah dengan pengalaman dan keilmuan yang lebih mumpuni, tentu menjadi produktif dan konsisten menulis tak sesulit mereka yang masih di tahap pemula.

Berbeda lagi ceritanya dengan para penulis yang sudah mewakafkan dirinya dalam dunia kepenulisan. Dalam artian, mereka yang sudah benar-benar merasakan nikmatnya menulis tanpa harus mendapatkan uang atau dikenal oleh banyak orang. Mungkin di negara ini, hanya segelintir orang saja yang bisa seperti itu. Meski sebenarnya tidak ada yang pernah tahu, apakah penulis memang benar-benar menikmati pekerjaannya?

Pada bab delapan buku ini, Mahfud menjelaskan bagaimana seorang pengarang dipandang tidak bekerja dan tidak memiliki privilese di tengah-tengah masyarakat. Entah itu masyarakat kota atau desa, atau jangan-jangan hanya lingkungan sekitar penulis saja.

Jika benar yang dimaksud Mahfud tentang Melihat Pengarang Tidak Bekerja adalah seperti yang dijelaskan di bab delapan itu, maka menurut hemat saya, profesi lain pun juga punya potensi untuk dipandang tidak bekerja.

Dalam bab tersebut diceritakan tentang seorang penulis yang gagal bekerja (menulis) sesuai dengan rencana awal dikarenakan gangguan dari aktivitas kecil sehari-hari.

Terhitung ada 16 aktivitas remeh yang berbentuk cerita dan menghambat proses kerja penulis. Mulai dari nonton video masak dan video Gus Baha’ di Youtube yang membuat penulis tidur jam tiga dini hari dan bangun kesiangan. Lalu penulis merasa bingung antara langsung mengganti salat atau tidak. Kemudian penulis sibuk bikin kopi dan menyiapkan kudapan. Berhubung di dapur tidak ada bahan untuk memasak, akhirnya penulis terpaksa belanja dulu ke pasar.

Pulang dari pasar, timbul perasaan bahwa minuman yang ada tidak cocok dengan kudapan yang tersedia, akhirnya kopi pun diganti dengan teh. Lalu tanpa sengaja, penulis teringat dengan salah satu pelanggan yang sudah mengirim bukti transfer untuk pesanan bukunya. Sebelum benar-benar membungkus paket, penulis makan gorengan dulu. Setelah itu penulis teringat lagi kalau dapat kiriman dari pemilik podcast. Seiring kesibukan itu berlanjut, tak terasa waktu beranjak siang. Ditambah lagi dengan aktivitas memasak dan cuci piring yang menghabiskan waktu selama satu jam. Karena dirasa masakannya enak, akhirnya penulis menambah porsi makan hingga kenyang dan membutuhkan waktu untuk menurunkan nasi. Sambil mendengarkan musik, penulis pun tertidur.

Setelah bangun dari tidur, dengan alasan mengembalikan gairah menulis, penulis membaca buku milik salah satu temannya. Akibatnya, tumbuh gairah menulis status di Facebook yang menghabiskan waktu selama satu jam setelah ditambah durasi mandi dan salat. Ternyata, tanpa disengaja, postingan itu banyak menuai komentar dari warganet. Spontan penulis bersemangat meladeni mereka hingga tak terasa sampai pukul sembilan malam.

Kemudian dilanjut dengan makan malam yang berujung ngantuk. Tapi setelah itu, entah kemasukan motivasi dari mana, penulis tiba-tiba bertekad untuk konsentrasi menulis setelah makan meski harus menyeduh kopi lagi untuk membunuh kantuk. Akhirnya, dua-duanya berhasil dilakukan meski hanya bertahan selama setengah jam.

Fenomena di atas merupakan peristiwa familiar yang terjadi pada banyak orang, tak hanya pengarang. Dalam artian, tidak mengerjakan tugas atau kewajiban secara maksimal sesuai dengan rencana dan tuntutan juga dimiliki oleh mereka di profesi yang lain. Baik itu pegawai negeri sipil, humas sebuah instansi, guru, dan sebagainya. Hanya saja, terkadang penyebabnya berbeda-beda. Ada yang karena faktor internal, ada juga yang karena faktor eksternal.

Bahkan menurut saya, pengarang atau penulis lepas lebih bisa dimaklumi dibanding dengan mereka yang memiliki profesi formal. Jika penulis lepas abai dalam pekerjaannya, maka ia tidak ingkar pada siapapun kecuali dirinya sendiri. Jika seorang karyawan atau pekerja kantoran abai dalam pekerjaannya, bisa jadi itu akan menjadi hari terakhirnya bekerja di sana.

Tidak hanya pengarang, banyak kasus seperti berbagai pekerja paruh waktu yang bekerja dari rumah, editor video yang setiap hari sibuk dengan ponsel miringnya, investor yang nggak ngapa-ngapain tapi pemasukan tetap lancar, dan profesi lain yang saya rasa juga berpotensi dipandang tidak bekerja oleh masyarakat. Karena memang mungkin, di mata masyarakat, bekerja adalah berangkat ke kantor setiap jam tujuh pagi, buka toko di pasar, menjadi pelayan cafe, atau kegiatan lain yang benar-benar menunjukkan identitas keprofesiannya.

Saya kurang tahu alasan Mahfud menjadikan cerita di atas sebagai dasar bahwa pengarang dipandang tidak bekerja. Apakah karena pengarang lebih tidak terlihat bekerja di hadapan publik dibanding profesi yang lain? Apakah Mahfud pernah mendapatkan selentingan orang yang membuatnya sadar dan menulis buku ini? Jika tak mungkin kita tanyakan langsung pada pengarangnya, mari kita renungkan saja.

***

 

Editor: Ghufroni An’ars

Kholil Rohman
Kholil Rohman Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email