Setiap kali mendengar pernyataan seksis yang dinarasikan oleh pejabat publik, saya selalu bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar tidak sadar, tidak mengerti, atau memang tidak peduli? Seperti baru-baru ini bagaimana pernyataan seksis dilontarkan oleh Anggota Komisi X DPR RI, Ahmad Dhani terkait naturalisasi dalam dunia sepak bola Indonesia kembali membuka perbincangan panjang tentang cara berpikir yang masih didominasi oleh paradigma patriarkal.
Dalam ucapannya, Ahmad Dhani mengungkapkan usulan agar pemerintah menjodohkan pemain sepak bola naturalisasi dengan perempuan Indonesia, lalu nanti anak-anaknya dibina menjadi atlet, apalagi jika muslim, maka bisa menikahi empat perempuan. Dalam hemat saya, ucapan ini tidak bisa dianggap sekadar candaan, atau hanya usulan naif, melainkan cerminan dari pola pikir yang menempatkan tubuh perempuan semata-mata sebagai mesin reproduksi. Apalagi mirisnya narasi ini dilontarkan oleh seorang publik figure. Lebih jauh, pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana perspektif gender yang tidak adil masih tertanam kuat, bahkan dalam ranah politik dan pemerintahan.
Paradigma patriarkal sudah lama membentuk cara kita melihat peran perempuan dan laki-laki. Kita tumbuh dalam masyarakat yang menganggap bahwa tugas utama perempuan adalah melahirkan dan mengurus anak, sementara laki-laki punya peran dominan di ranah publik. Akibatnya, perempuan sering kali hanya dipandang dari sisi biologisnya—bukan sebagai individu utuh yang punya pemikiran, cita-cita, dan hak untuk menentukan jalannya sendiri. Pandangan seperti ini sungguh membatasi, bahkan merugikan, bukan hanya bagi perempuan, tetapi juga bagi laki-laki yang sejak kecil diajarkan bahwa mereka harus selalu jadi pemegang kendali.
Tubuh Perempuan dalam Pertarungan Ideologi Patriarkal
Dalam kajian feminisme, tubuh perempuan sering kali menjadi medan pertempuran ideologi patriarkal. Simone de Beauvoir dalam The Second Sex menyoroti bagaimana perempuan dikonstruksi sebagai “the Other”, sebuah entitas yang didefinisikan berdasarkan relasinya dengan laki-laki, bukan sebagai individu mandiri. Sementara itu, Judith Butler dalam Gender Trouble menekankan bahwa gender bukanlah sesuatu yang esensial, melainkan terbentuk oleh konstruksi sosial yang terus-menerus dipertunjukkan dan diperkuat. Dengan demikian, ketika seorang anggota dewan berbicara tentang naturalisasi dengan analogi yang mengacu pada tubuh perempuan, ia tidak sekadar menggunakan metafora yang keliru, tetapi juga mempertegas konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai entitas yang pasif dan hanya berfungsi dalam ranah domestik.
Baca juga:
Pernyataan seksis semacam ini tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele. Ucapan dari figur publik, terutama mereka yang memiliki posisi dalam pemerintahan, berpotensi membentuk atau menguatkan cara berpikir masyarakat. Jika para pemimpin terus mereproduksi narasi yang seksis, maka masyarakat akan semakin sulit melepaskan diri dari pola pikir patriarkal yang telah mengakar. Ini berbahaya karena tidak hanya berdampak pada perempuan, tetapi juga pada laki-laki yang sejak kecil diajarkan bahwa dunia hanya bekerja dalam sistem biner yang menempatkan mereka sebagai pemegang kendali, sementara perempuan harus tunduk pada aturan yang telah ditetapkan.
Tubuh Perempuan dan Beban Reproduksi
Menjadi penting untuk menekankan bahwa perempuan tidak hanya dilihat sebagai bagian dari sistem reproduksi biologis, tetapi juga sebagai individu yang memiliki hak atas tubuh dan kehidupannya sendiri. Salah satu teori yang relevan dalam hal ini adalah teori reproductive justice, yang menyoroti bagaimana perempuan harus memiliki kontrol penuh atas pilihan reproduksinya, baik itu terkait dengan memiliki anak, tidak memiliki anak, maupun bagaimana mereka ingin membesarkan anak-anak mereka dalam lingkungan yang sehat dan adil. Jika tubuh perempuan terus-menerus dikaitkan hanya dengan aspek biologisnya, maka perjuangan untuk keadilan gender akan semakin terhambat.
Teori reproduksi dalam kajian gender juga membahas bagaimana tubuh perempuan sering kali direduksi hanya pada fungsinya sebagai alat reproduksi. Pandangan ini selaras dengan konsep yang dikemukakan oleh Silvia Federici dalam Caliban and the Witch, di mana perempuan secara historis dikontrol melalui sistem reproduksi mereka, baik melalui regulasi hukum, norma sosial, maupun kontrol institusional. Dalam sistem patriarkal, tubuh perempuan kerap dilihat sebagai aset publik, bukan sebagai bagian dari otonomi pribadi mereka. Inilah yang membuat perempuan terus-menerus berada dalam posisi subordinat, karena hak-hak mereka atas tubuh sendiri sering kali ditentukan oleh institusi sosial yang didominasi oleh laki-laki.
Ketika berbicara tentang teori reproduksi, kita sering kali terjebak dalam cara pandang yang sempit, seolah-olah reproduksi hanya soal proses biologis, sekadar urusan melahirkan dan melanjutkan keturunan. Padahal, reproduksi memiliki makna yang jauh lebih luas. Ini bukan sekadar perkara fisik, tapi juga menyangkut kuasa, kontrol, dan bagaimana masyarakat mendefinisikan peran perempuan dalam sistem sosial yang lebih besar.
Tubuh perempuan selalu menjadi arena kontrol. Reproduksi bukan sekadar aktivitas biologis, tetapi juga medan politik. Negara, agama, dan norma sosial sering kali berusaha mengendalikan tubuh perempuan dengan berbagai cara—mulai dari aturan hukum yang membatasi akses terhadap kontrasepsi dan aborsi, hingga narasi budaya yang menekankan bahwa perempuan yang “baik” adalah mereka yang menjadi istri dan ibu yang “produktif.” Akibatnya, perempuan sering kali kehilangan otonomi atas tubuh mereka sendiri.
Di era modern, meskipun perempuan telah mendapatkan lebih banyak hak, jejak kontrol ini masih terlihat jelas. Kita bisa melihatnya dalam berbagai kebijakan yang mengatur kapan dan bagaimana perempuan bisa memiliki anak, atau dalam pernyataan-pernyataan seksis yang terus menegaskan bahwa perempuan hanya berharga jika mereka bisa “berkontribusi” dalam melahirkan generasi berikutnya. Konsep ini bertentangan dengan gagasan reproductive justice. Gagasan ini menekankan bahwa reproduksi bukan hanya soal pilihan individu, tetapi juga soal akses yang adil terhadap sumber daya, kesehatan, dan kebebasan untuk memutuskan apakah seseorang ingin atau tidak ingin memiliki anak tanpa paksaan dari negara, keluarga, atau norma sosial.
Pentingnya Pendidikan Adil Gender Sejak Dini
Di Indonesia, kita masih sering melihat bagaimana tubuh perempuan direduksi menjadi sekadar fungsi reproduksi. Bagaimana kita melihat banyaknya tekanan sosial yang terus menilai keberhasilan perempuan berdasarkan apakah mereka menikah dan memiliki anak. Pendidikan yang berperspektif gender masih jarang diajarkan, sehingga banyak orang tumbuh dengan keyakinan bahwa peran perempuan di dunia ini memang hanya sebatas urusan domestik.
Lebih jauh, pernyataan yang seksis dari anggota dewan tersebut menunjukkan kepada kita betapa perlunya pendidikan adil gender yang lebih baik sejak usia dini. Kesadaran tentang kesetaraan gender tidak bisa hanya menjadi wacana di kalangan akademisi atau aktivis, tetapi harus diinternalisasi dalam sistem pendidikan dan sosial secara lebih luas.
Anak laki-laki dan perempuan harus sama-sama dididik untuk memahami bahwa tubuh perempuan bukanlah sekadar mesin reproduksi, melainkan bagian dari identitas individu yang memiliki hak dan otonomi. Dengan demikian, mereka dapat tumbuh dengan kesadaran bahwa kesetaraan gender bukan hanya tentang memberikan hak yang sama kepada perempuan, tetapi juga membongkar sistem patriarkal yang selama ini merugikan perempuan dengan cara yang tidak adil.
Baca juga:
- Teori Kritis dalam Psikologi untuk Isu Gender dan Seksualitas di Indonesia
- Menyelesaikan Dilema Benar dan Salah dalam Mengkaji Gender
Di Indonesia, pendidikan berbasis keadilan gender masih sangat terbatas. Kurikulum di sekolah masih cenderung mengajarkan peran-peran gender yang stereotipikal, di mana laki-laki dianggap sebagai pemimpin dan perempuan sebagai pendukung. Dalam banyak buku pelajaran, peran perempuan masih sering dikaitkan dengan pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki dihubungkan dengan profesi yang memiliki otoritas dan kekuasaan. Hal ini secara tidak langsung membentuk cara berpikir anak-anak sejak kecil, bahwa ada batasan yang jelas antara apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan berdasarkan jenis kelamin mereka.
Dalam konteks politik, pemimpin dan wakil rakyat memiliki tanggung jawab lebih besar dalam menciptakan ruang diskusi yang lebih sehat dan bebas dari bias gender. Jika seorang anggota dewan masih melontarkan ucapan seksis tanpa berpikir panjang, maka ini menandakan bahwa kesadaran akan pentingnya keadilan gender masih sangat rendah di tingkat pembuat kebijakan. Oleh karena itu, selain pendidikan yang lebih baik, diperlukan juga regulasi yang lebih ketat terhadap ujaran publik yang mengandung unsur seksisme dan merendahkan kelompok tertentu. Negara harus mengambil peran aktif dalam memastikan bahwa kebijakan dan regulasi yang dibuat tidak hanya mengakomodasi kepentingan laki-laki, tetapi juga memberikan ruang yang adil bagi perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Pada akhirnya, kritik terhadap pernyataan seksis anggota dewan ini bukan hanya tentang satu individu yang mengeluarkan komentar tidak pantas, tetapi tentang bagaimana masyarakat secara kolektif masih menerima atau bahkan menganggap wajar cara berpikir yang merendahkan perempuan. Ini adalah refleksi dari tantangan besar yang masih dihadapi dalam perjuangan menuju kesetaraan gender. (*)
Editor: Kukuh Basuki