Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Bahasa, Kuasa, dan Ketidaksetaraan Gender

Sekar Jatiningrum

4 min read

Kekerasan tidak selalu muncul dalam bentuk fisik yang jelas terlihat; sering kali ia terwujud dalam bentuk yang lebih halus dan tidak terdeteksi. Ia dapat menyusup melalui kata-kata, simbol, dan bahkan dalam tawa yang terdengar di ruang-ruang politik. Di balik setiap pernyataan yang terucap tanpa pertimbangan yang matang, sering kali tersembunyi ketidakadilan yang mengakar, yang perlahan membentuk cara kita melihat dunia.

Kekerasan simbolik, yang tersembunyi di balik kata-kata yang tampaknya tidak berbahaya, memiliki kekuatan luar biasa dalam membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Fenomena ini bukan hanya tentang penguasa yang menindas, tetapi juga tentang bagaimana budaya, bahasa, dan ideologi berfungsi untuk mempertahankan sistem yang ada, sering kali tanpa kita sadari.

Bahasa, Politik, dan Kekerasan

Jika kekerasan simbolik bersembunyi dalam budaya dan bahasa sehari-hari, maka dalam konteks politik, bahasa menjadi alat yang sangat kuat untuk mempertahankan relasi kekuasaan yang tidak setara. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga sarana ideologis yang membentuk kesadaran sosial. 

Dalam studi linguistik kritis, bahasa tidak pernah netral karena selalu terkait dengan kekuasaan dan kepentingan tertentu. William Gay dan Ellen Gorsevski, dua pakar sosio-linguistik, menghubungkan istilah “kekerasan linguistik” dengan struktur bahasa yang sarat ideologi. Mereka menekankan bahwa bahasa, sebagai sistem simbol, memuat nilai-nilai dominan yang bisa digunakan untuk menjustifikasi ketidaksetaraan. Gay (1999) menyebut konsep ini sebagai bagian dari teori kekerasan budaya yang diajukan oleh Johan Galtung, di mana bahasa menjadi instrumen tindak kekerasan yang halus namun efektif.

Baca juga:

Dalam konteks politik Indonesia, wacana seksis yang dilontarkan para politisi memperlihatkan bagaimana kekerasan linguistik mempertahankan relasi gender yang timpang. Misalnya dalam debat calon gubernur Banten 2024. Dimyati Natakusumah, saat menjawab pertanyaan mengenai penanganan kekerasan seksual, mengatakan, “Perempuan itu harus mendapat perhatian, maka kita harus melindungi perempuan dan memuliakannya dengan nggak ngasih beban berat jadi gubernur.”  Pernyataan ini mencerminkan paternalisme politik, di mana perempuan diposisikan sebagai subjek yang perlu “dilindungi”, bukan sebagai mitra yang setara dalam pengambilan keputusan politik.

Fenomena serupa muncul dalam kampanye Ridwan Kamil di Jakarta Timur, di mana ia bersama politikus Gerindra melontarkan komentar seksis mengenai janda. Ia berkata, “Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman, akan diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis, akan diberi sembako oleh Bang Adnan, dan kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan.” Pernyataan ini merendahkan perempuan, khususnya janda, sebagai objek humor, memperkuat posisi inferior mereka di masyarakat.

Pasangannya, Suswono, juga membuat pernyataan kontroversial tentang janda dan pengangguran dalam acara ormas Bang Japar pada 26 Oktober 2024. Ia berkata, “Kemarin ada yang nyeletuk, ‘Pak ada Kartu Janda, nggak?'” Suswono menjelaskan bahwa program kesejahteraan sosial mereka akan mencakup semua kalangan, termasuk janda miskin. Namun, saat ditanya tentang janda kaya, ia menyarankan agar mereka menikahi pemuda pengangguran, merujuk pada kisah Nabi Muhammad dan Siti Khadijah. Pernyataan ini memperkuat stereotip bahwa perempuan harus bergantung pada laki-laki untuk memperoleh status sosial.

Selain itu, kita juga dapat melihat contoh lain dari politisi yang menggunakan bahasa seksis di media sosial, seperti yang terjadi dalam pernyataan Pramono Anung. Pada 12 November 2010, ia menulis, “Kesamaan LOKET dan TOKET… Kalau pengen tahu sama2 DIINTIP.. #nyantai ah.” Pada 8 Oktober 2011, ia menambahkan, “Cewek berbaju seksi itu aneh, diliatin dibilang kita kurang ajar, kalau kita cuekin, dibilang kita homo #Nyantai ah.” Komentar-komentar ini menggambarkan bagaimana politisi menggunakan bahasa yang merendahkan perempuan, mengobjekkan mereka, dan menormalisasi kekerasan verbal.

Dalam konteks ini, Gay menegaskan bahwa bahasa selalu membawa muatan ideologis yang digunakan untuk menindas kelompok dalam sistem opresif. Manipulasi bahasa oleh kekuasaan tidak hanya memperkuat dominasi, tetapi juga melemahkan kelompok terpinggirkan. Dengan demikian, bahasa tidak hanya mencerminkan realitas sosial, tetapi juga aktif menciptakan dan mempertahankan ketidaksetaraan dalam masyarakat.

Kekerasan Linguistik dan Budaya dalam Wacana Publik

Kekerasan linguistik yang digunakan oleh politisi tersebut mencerminkan bagaimana bahasa secara luas dapat menjadi alat kekuasaan yang menindas. Kekerasan linguistik bukan sekadar bahasa yang menyinggung atau merendahkan, tetapi juga bentuk kekerasan budaya yang memengaruhi struktur sosial. Bahasa memiliki peran penting dalam mereproduksi ketidaksetaraan gender melalui ideologi seksis yang tertanam dalam percakapan sehari-hari, media, dan wacana politik. Narasi ini membentuk norma sosial yang membenarkan subordinasi perempuan dan memperkuat dominasi patriarki.

Pernyataan politisi dan figur publik sering kali menggunakan bahasa seksis yang membatasi peran perempuan. Ungkapan seperti “perempuan sebaiknya di rumah” memperkokoh pandangan bahwa ketidaksetaraan gender adalah hal wajar. Pernyataan ini bukan sekadar opini, melainkan bagian dari kekerasan simbolik yang memengaruhi pemikiran masyarakat.

Johan Galtung, dalam karyanya Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (1996), terdapat satu esai berjudul Cultural Violence yang menjelaskan bagaimana produk budaya—ideologi, agama, bahasa, seni—dapat melegitimasi kekerasan fisik maupun struktural. Bahasa tidak hanya mencerminkan realitas sosial tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan. Bahasa seksis, baik eksplisit maupun implisit, mereduksi nilai dan hak perempuan, serta memperkuat hierarki gender yang sudah ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, simbol, termasuk bahasa, memainkan peran besar dalam menciptakan dan mempertahankan norma sosial yang mengatur bagaimana kita memandang dan memperlakukan gender.

Baca juga:

Teori performativitas gender Judith Butler dalam Gender Trouble (1990) mempertegas bahwa gender bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, melainkan dibentuk melalui tindakan performatif yang diperkuat secara terus-menerus oleh bahasa dan norma sosial. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai instrumen yang membentuk identitas gender dan mempertegas norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam wacana publik turut membentuk identitas sosial perempuan dan memperkuat norma gender yang sering kali mendiskreditkan posisi perempuan dalam struktur sosial.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Galtung tentang kekerasan budaya, di mana bahasa menjadi sarana untuk memperkuat ketidaksetaraan dan menciptakan ketidakadilan sosial. Menggunakan pemahaman ini, kita dapat lebih mudah menganalisis bagaimana wacana dan norma sosial dibentuk dan bagaimana kekerasan linguistik memperpanjang ketidaksetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, dari politik hingga ruang publik.

Menghadapi Kekerasan Linguistik: Tantangan untuk Perubahan Sosial

Menghadapi kekerasan linguistik merupakan tantangan besar karena ia sudah terinternalisasi dalam struktur bahasa sehari-hari yang seringkali tidak disadari. Bahasa yang mengandung stereotip seksis dan diskriminasi gender telah menjadi bagian dari budaya dan praktik sosial yang membatasi kebebasan perempuan. Untuk mengatasi hal ini, kita tidak hanya perlu mengkritik kata-kata yang menyinggung, tetapi juga menyelami peran bahasa dalam mempertahankan ketidaksetaraan yang lebih luas, tercermin dalam sistem sosial dan budaya.

Perubahan sosial yang sejati dimulai dengan menggugat norma-norma yang tertanam dalam bahasa kita. Hal ini membutuhkan upaya bersama dari individu, kelompok, dan institusi untuk memahami pengaruh bahasa dalam membentuk pandangan dunia yang seksis dan patriarkal. Pendidikan, kesadaran publik, dan penguatan hukum yang menanggapi kekerasan linguistik sangat penting. Kita perlu berani mengubah cara berbicara dan mendukung kebijakan yang berpihak pada kesetaraan gender.

Melawan kekerasan linguistik berarti menantang struktur kekuasaan yang memperpetuasi ketidaksetaraan. Upaya ini bertujuan mengembalikan suara perempuan yang sering terpinggirkan, memastikan bahwa bahasa di ranah publik, politik, dan sosial tidak lagi mendiskreditkan mereka. Perubahan bahasa membuka jalan bagi masyarakat yang lebih adil dan setara, dimulai dari kesadaran kita akan kekuatan kata-kata. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email