Menghadirkan satu dialog sebelum lahirnya kesepakatan adalah esensi dari demokrasi. Setiap warga negara memiliki hak untuk menumpahkan ekspresinya terhadap pelbagai peristiwa atau fenomena yang berkembang di sekitarnya. Dalam konteks Indonesia, kebebasan berekspresi warga negara bahkan dilindungi konstitusi lewat Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kebisingan yang diakibatkan oleh hilir mudiknya pendapat adalah konsekuensi alami yang harus diterima di alam demokrasi. Kritik adalah salah satu wujud dari kebisingan tersebut. Alih-alih menyikapi kritik dengan bijaksana, para elit politik di republik ini justru terlihat alergi dan cenderung membungkam segala perbedaan pendapat yang mengemuka di ruang publik—khususnya yang erat kaitannya dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Salah satu yang segar di ingatan adalah pernyataan dari Luhut Binsar Panjaitan, sosok yang ditunjuk Prabowo Subianto menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Ramainya kritik yang dilayangkan ke muka pemerintah nyatanya membuat Luhut gerah. Ia pun menyebut para pengamat sebagai pihak yang melayangkan kritik tanpa dibarengi dengan data—hal ini pun menurutnya menimbulkan situasi keruh yang mempersulit jalannya pemerintahan.
Baca juga:
- BRICS dan Masa Depan Ekonomi Indonesia
- Memahami Hilirisasi dalam Perspektif Keberlanjutan Ekonomi Nasional
Sayangnya, pejabat publik yang asal njeplak dan kemudian berhasil dipotret media sehingga menimbulkan keributan publik, tidak hanya Luhut seorang. Jika ditelusuri, nyatanya komunikasi publik yang buruk dimiliki oleh cukup banyak pejabat publik. Kurangnya kesadaran bahwa setiap pernyataan dan perilakunya akan menjadi sorotan khalayak umum dan kentalnya mental feodal jadi beberapa faktor yang dapat menjelaskan tingkah polah pejabat publik yang tampak bersebarangan dari iklim demokrasi.
Ancaman Terhadap Kebebasan Berpendapat
Minimnya kesadaran bahwa pernyataan dan tingkah polah yang dikeluarkan selalu disorot media, serta kentalnya mental feodal warisan masa kerajaan di dalam diri seorang pejabat publik semakin kentara tatkala pemerintah dihadapkan dengan perlawanan sengit dari masyarakat. Perlawanan tersebut lahir sebagai respon dari pelbagai kebijakan pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Food Estate, efisiensi anggaran, hingga kilatnya proses RUU TNI. Sebagian program tersebut menghadirkan tekanan dan kekhawatiran baru bagi kehidupan masyarakat yang didominasi oleh kelas menengah dan menengah bawah.
Kiriman potongan kepala babi tanpa telinga dan enam bangkai tikus ke kantor Tempo harus dijadikan sebuah peringatan bagi seluruh komponen bangsa terhadap betapa memprihatinkannya kondisi demokrasi Indonesia kini.
Seolah menegaskan buruknya demokrasi dalam negeri, The Economist Intelligence Unit (EIU) melalui risetnya menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 2024 hanya meraih skor 6,44 pada indeks demokrasi. Capaian ini membuat Indonesia terperosok tiga peringkat dari posisi 56 menjadi posisi 59 dari 167 negara. Artinya Indonesia sudah memasuki tahun ketiga berada dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Dari beberapa komponen penilaian, Indonesia mendapatkan penilaian buruk di dua komponen, yakni komponen budaya politik dengan raihan skor 5 dan urusan kebebasan sipil dengan raiham 5,29.
Apa yang terjadi hari ini secara terang menggambarkan bahwa pemerintah belum mampu menemukan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai dengan harga sosial yang harus dibayarkan. Besarnya biaya sosial yang timbul akan menimbulkan kesenjangan sosial yang begitu dalam—hal ini sudah tentu akan mementahkan hasil yang akan dicapai oleh pemerintah dalam jangka panjang.
Gus Dur dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Seolah-olah”, menjadikan Pakistan sebagai sebuah pembelajaran. Pakistan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi setelah terjadinya pemusatan sumber ekonomi di segelintir keluarga saja di medio tahun 1960-1970. Hal tersebut lantas menghasilkan ketimpangan sosial yang memberikan pukulan balik berupa penolakan terhadap pelbagai rencana pembangunan yang ditawarkan pemerintah. Masyarakat pun enggan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional—alhasil, Pakistan kehilangan momentum laju ekonomi dengan cepat.
Baca juga:
Titik balik Pakistan pun baru terjadi setelah sepuluh tahun pergolakan politik yang begitu melelahkan. Kemampuan pemerintah dalam menemukan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan harga sosial yang harus dibayar menjadi kuncinya. Sehingga belajar dari Pakistan, bagi Gus Dur sendiri, kebebasan berpendapat adalah unsur yang esensial, sekaligus medium bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Politik Harapan
Jamaknya perlawanan belakangan ini jelas berimplikasi kepada terjun bebasnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Merujuk hasil survei dari Indikator periode survei tatap muka 16-21 Januari 2025 lalu, tingkat kepercayaan publik kepada pemerintah Prabowo-Gibran masih berada di angka 79 persen. Jika terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin program-program yang dicanangkan pemerintah akan dihadapkan kepada masalah-masalah serius.
Prabowo harus kembali mengevaluasi kinerja anak buahnya yang memperlihatkan komunikasi serta tingkah polah yang buruk di depan publik. Mengingat hal ini jelas bertentangan dengan hasil yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan retreat pasca pelantikan.
Sudah waktunya pemerintah melihat kritik sebagai vitamin yang mampu menyehatkan jalannya pemerintahan. Dan pemerintah mesti mengedepankan dialog dalam setiap menentukan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak—melihat rakyat sebagai subjek, bukan objek (seolah-olah bisa diatur seenaknya). Apabila Indonesia adalah sebuah harapan, maka seluruh penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk mewujudkannya demi menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
Editor: Kukuh Basuki