Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Melihat Cara Pejabat Publik Membentuk Opini dan Membungkam Kritik

Sekar Jatiningrum

3 min read

Dalam sistem demokrasi, bahasa yang digunakan oleh pejabat publik tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga mekanisme kekuasaan. Pernyataan yang mereka lontarkan tidak hanya mencerminkan sikap pribadi, tetapi juga merepresentasikan cara negara merespons kritik, membentuk opini publik, dan bahkan melegitimasi kebijakan yang kontroversial. Ketika pejabat negara memilih retorika yang konfrontatif, meremehkan kritik, atau bahkan menyerang balik warga yang mempertanyakan kebijakan, mereka sebenarnya sedang mengonstruksi narasi yang membatasi ruang demokrasi.

Delegitimasi Kritik: Mempersonalisasi Ketidakpuasan Publik

Salah satu strategi yang kerap digunakan pejabat publik untuk meredam kritik adalah mempersonalisasi ketidakpuasan masyarakat. Kritik yang sejatinya berakar pada persoalan sistemik—seperti ketidakadilan ekonomi, ketidakpastian hukum, atau kemunduran demokrasi—sering kali dipelintir menjadi sekadar keluhan individu yang dianggap pesimis, cengeng, atau kurang nasionalis. Dengan menggeser fokus dari kegagalan struktural ke kelemahan pribadi, strategi ini bukan hanya menutup ruang diskusi, tetapi juga menormalisasi kondisi yang sebenarnya membutuhkan koreksi.

Pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang menanggapi tren media sosial #KaburAjaDulu dengan, “Mau kabur, kabur sajalah. Kalau perlu, jangan balik lagi,” mencerminkan pola ini. Tagar tersebut bukan sekadar keluhan personal, melainkan ekspresi kolektif atas ketidakpastian ekonomi—mulai dari sulitnya memperoleh pekerjaan layak hingga kualitas pendidikan yang memprihatinkan.

Hal serupa terlihat dalam respons Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, terhadap kritik mengenai kondisi ekonomi Indonesia: “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia.” Kritik yang seharusnya dijawab dengan data dan solusi malah direduksi menjadi perkara subjektivitas individu. Dalam konstruksi semacam ini, kritik struktural kehilangan daya tawarnya; alih-alih memicu refleksi kebijakan, ia justru dijadikan alat untuk mendiskreditkan pengkritiknya.

Baca juga:

Fenomena ini mengingatkan pada analisis Ijeoma Oluo dalam So You Want to Talk About Race (2018), yang menegaskan bahwa sejak lama, bahasa telah menjadi instrumen utama dalam menindas kelompok tertentu.

“Kata-kata adalah cara kita memproses dunia, cara kita membentuk masyarakat, cara kita mengkodifikasi moral kita. Untuk membuat ketidakadilan dan penindasan dapat diterima, kita harus menemukan kata-kata baru yang menjauhkan diri dari kenyataan tentang kerugian yang kita lakukan terhadap orang lain.” (Oluo, 2018, hlm. 11–24).

Dalam kasus rasisme, praktik penindasan berbasis kelas, gender, dan identitas lainnya sering kali dimulai dengan manipulasi bahasa.

Melegitimasi Kebijakan dengan Narasi Menyesatkan

Wodak (2001) menegaskan bahwa bahasa tidak sekadar mencerminkan kekuasaan, tetapi juga menjadi medan pertarungan untuk menegosiasikan dan menantang relasi kuasa. Dalam politik, retorika bukan hanya alat komunikasi, tetapi strategi untuk membentuk realitas sosial. Bourdieu (1991) menjelaskan bahwa politik bukan hanya tentang perebutan kekuasaan formal, tetapi juga tentang bagaimana keyakinan, persepsi, dan representasi sosial dibentuk untuk memobilisasi dukungan publik.

Salah satu contoh strategi ini terlihat dalam pernyataan Presiden Prabowo mengenai ekspansi perkebunan kelapa sawit. Ketika kekhawatiran terhadap deforestasi mengemuka, ia merespons dengan, “Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi.” Pernyataan ini bukan sekadar ekspresi santai, tetapi sebuah pembingkaian ulang yang menyederhanakan dampak ekologis dari kebijakan tersebut. 

Padahal, ekspansi sawit telah lama dikritik sebagai pemicu utama deforestasi di Indonesia. Laporan berbagai organisasi lingkungan menunjukkan dampaknya terhadap krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan meningkatnya konflik agraria. Namun, dengan membingkai perkebunan sawit sebagai sekadar “pohon yang tetap menyerap karbon dioksida,” narasi ini menggeser diskusi dari bencana ekologis menjadi sesuatu yang tampak alami dan tak berbahaya.

Strategi serupa juga terlihat dalam revisi Undang-Undang TNI yang memperluas kewenangan militer di ranah sipil. Ketika publik mengkhawatirkan kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil—sebuah bayangan Orde Baru—Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Maruli Simanjuntak, menanggapi kritik ini dengan pernyataan, “Orde Baru, lah. Tentara dibilang hanya bisa membunuh dan dibunuh. Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini kampungan.”

Pernyataan ini bukan sekadar pelecehan verbal terhadap kritik, tetapi bagian dari strategi pengalihan isu. Alih-alih membahas kekhawatiran publik secara substantif, kritik direduksi menjadi sekadar opini yang dianggap tidak intelektual. Joseph (2020) mencatat bahwa dalam politik, bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan gagasan, tetapi juga untuk mengontrol diskursus dan membungkam perbedaan pendapat.

Retorika Kekuasaan dan Normalisasi Impunitas

Penggunaan bahasa yang meremehkan kritik tidak sekadar mencerminkan gaya komunikasi personal pejabat publik, tetapi juga bagian dari pola komunikasi politik yang menguatkan otoritarianisme. Ng dan Bradac (1993) menekankan bahwa bahasa menyediakan mekanisme budaya untuk memengaruhi opini dan memperoleh kendali atas wacana publik.

Prabowo, misalnya, dalam berbagai kesempatan menggunakan bahasa yang bersifat ofensif, seperti “Ndasmu etik” dalam debat capres atau “Biar anjing menggonggong, kita maju terus” saat merespons kritik terhadap kebijakannya. Pernyataan semacam ini bukanlah sekadar luapan emosi sesaat, melainkan sebuah sinyal yang menunjukkan bahwa kritik dianggap tidak penting untuk didengar, apalagi dipertimbangkan. 

Ketika seorang pejabat tinggi mengukuhkan pola komunikasi yang meremehkan kritik, dampaknya tidak hanya terbatas pada individu tersebut, tetapi juga meluas ke dinamika politik secara keseluruhan. Pejabat lain merasa memiliki legitimasi untuk meniru pola serupa, sementara pendukung mereka semakin terdorong untuk menyerang lawan politik dan masyarakat sipil.

Baca juga:

Dampak nyata dari pola komunikasi ini terlihat dalam meningkatnya intimidasi terhadap jurnalis dan aktivis. Teror terhadap redaksi Tempo, termasuk pengiriman kepala babi dan enam ekor tikus mati dengan kepala terpenggal— adalah bukti bahwa iklim ketakutan semakin menguat. Namun, alih-alih mengutuk tindakan tersebut, Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, justru merespons dengan nada meremehkan, “Dimasak saja.” Respons semacam ini menunjukkan bagaimana kekerasan simbolik bekerja: bukan dengan ancaman fisik langsung, melainkan melalui sikap meremehkan yang mengikis norma-norma demokratis. 

Kekerasan Simbolik dan Peran Bahasa dalam Konsolidasi Kekuasaan

Bourdieu dan Wacquant (1992) menjelaskan bahwa kekerasan simbolik bekerja secara halus dengan membuat kelompok yang didominasi menerima dominasi tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Dalam konteks ini, bahasa tidak hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga menjadi alat utama dalam mengonsolidasikannya.

Bourdieu dan Passeron (1998) menegaskan bahwa kekerasan simbolik memungkinkan kekuasaan untuk memaksakan makna tertentu sekaligus menyembunyikan relasi dominasi di baliknya. Dengan demikian, ketika pejabat negara menggunakan bahasa untuk merendahkan lawan politik, mengabaikan kritik, atau menyederhanakan dampak kebijakan, mereka tidak sekadar berbicara, tetapi sedang membangun struktur kekuasaan yang semakin eksklusif dan represif.

Retorika kasar dan merendahkan bukanlah sekadar anekdot politik, melainkan strategi sistematis yang memperkuat ketimpangan, membatasi ruang kritik, dan mengikis nilai-nilai demokrasi. Tanpa kesadaran akan bagaimana bahasa digunakan sebagai alat dominasi, publik akan terus terjebak dalam permainan kekuasaan yang membungkam mereka dengan cara yang semakin sulit untuk digugat.

 

 

Editor: Prihandini N

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email