Aborsi selalu menjadi isu yang membelah opini publik, terutama di Amerika Serikat, di mana nilai-nilai agama, etika, dan hak reproduksi bertemu dalam satu ruang perdebatan yang intens. Kebijakan aborsi yang diterapkan oleh pemerintahan Donald Trump tidak hanya memperketat akses layanan aborsi, namun juga mengirimkan pesan kuat tentang kontrol negara atas tubuh perempuan. Di tengah kebijakan ini, muncul respons kritis dalam bentuk gerakan 4B Movement—aksi mogok seks yang dirancang untuk menyoroti pentingnya hak otonomi tubuh bagi perempuan. Melalui kebijakan dan respons ini, terlihat bahwa pertarungan aborsi bukan sekadar isu medis, melainkan simbol dari konflik yang lebih besar antara hak-hak individu dan kekuatan negara dalam membentuk moralitas sosial.
Sejak awal kampanyenya pada 2016, Trump telah mengambil sikap tegas terhadap aborsi. Ia berjanji untuk merevisi berbagai kebijakan yang dinilai memberikan ruang bagi praktik aborsi di Amerika. Setelah terpilih, Trump dengan cepat mengimplementasikan sejumlah kebijakan pro-life yang memihak kelompok-kelompok penentang aborsi, terutama komunitas konservatif dan religius.
Salah satu langkah paling kontroversial yang diambil Trump adalah reinstatement “Global Gag Rule” atau Mexico City Policy. Kebijakan ini melarang pendanaan dari pemerintah AS untuk organisasi internasional yang menyediakan, mendukung, atau bahkan memberi informasi tentang layanan aborsi. Kebijakan ini diperluas sehingga bukan hanya organisasi yang secara langsung menyediakan aborsi yang terdampak, melainkan juga yang memberikan penyuluhan atau informasi tentang hak reproduksi.
Baca juga:
Selain itu, Trump menunjuk hakim-hakim konservatif di Mahkamah Agung yang secara eksplisit menunjukkan sikap pro-life. Penunjukan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk melemahkan Roe v. Wade, sebuah keputusan penting pada 1973 yang melegalkan aborsi di seluruh AS. Dengan menempatkan hakim konservatif, Trump membuka peluang revisi hukum tersebut, dan terbukti beberapa negara bagian mulai menerapkan undang-undang aborsi yang sangat ketat atau bahkan melarangnya sama sekali.
4B Movement
Sebagai respons terhadap kebijakan yang memperketat akses terhadap aborsi, muncul gerakan yang dikenal dengan sebutan 4B Movement atau “Sex Strike.” Istilah 4B sendiri merujuk pada empat penolakan. Penolakan pertama, Bihon, merupakan penolakan terhadap pernikahan. Bichulsan merupakan penolakan terhadap melahirkan, Biyeonae merupakan penolakan terhadap berkencan, dan Bisekseu, yakni menolak hubungan heteroseksual. Inti dari gerakan ini adalah mogok seks sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap membatasi hak reproduksi perempuan. Ide ini mengacu pada mogok seks yang dilakukan dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh perempuan di Kenya pada 2009 atau oleh kaum wanita di Yunani kuno dalam drama “Lysistrata” karya Aristophanes.
Gerakan 4B mendorong perempuan untuk menahan diri dari aktivitas seksual sebagai bentuk protes simbolis. Aksi ini dianggap sebagai strategi untuk menunjukkan bahwa perempuan berhak atas tubuh mereka, termasuk hak untuk menentukan kapan dan apakah mereka ingin memiliki anak. Dengan menahan diri dari seks, para pendukung gerakan ini berharap bisa menyoroti betapa pentingnya hak reproduksi yang aman dan legal bagi perempuan.
Gerakan ini memang kontroversial dan mengundang berbagai reaksi. Di satu sisi, ada yang menilai 4B Movement sebagai aksi ekstrem yang tidak efektif dan bahkan kontraproduktif. Ada yang mengkritik bahwa mogok seks tidak akan berpengaruh langsung pada kebijakan pemerintah dan bisa memperkeruh hubungan antara perempuan dan laki-laki. Namun, bagi para pendukungnya, 4B Movement merupakan cara simbolis untuk menekankan hak perempuan atas tubuh mereka dan memprotes kebijakan yang dianggap tidak adil.
4B Movement menarik perhatian banyak pihak karena menggunakan pendekatan yang unik dalam melawan ketidakadilan gender. Mogok seks, meskipun terlihat tidak konvensional, telah lama digunakan dalam sejarah sebagai bentuk perlawanan sosial. Dalam lanskap gerakan sosial modern, aksi ini memperlihatkan bagaimana perempuan masih menghadapi kendala dalam mendapatkan hak-hak dasar, termasuk akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
Dampak Sosial Politik Kebijakan Trump
Kebijakan-kebijakan Trump telah membawa dampak luas di berbagai lapisan masyarakat. Kelompok pro-life memuji kebijakan ini sebagai langkah yang melindungi hak-hak janin dan mempromosikan nilai-nilai keluarga. Namun, di sisi lain, kelompok pro-choice merasa hak perempuan telah dipinggirkan, dan kebijakan ini dianggap mengabaikan kesehatan dan kesejahteraan perempuan.
Baca juga:
Di luar AS, Global Gag Rule juga berdampak pada organisasi di negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada bantuan AS untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi. Banyak negara yang merasa kebijakan ini sebagai bentuk pemaksaan nilai-nilai Amerika yang justru merugikan perempuan di negara-negara tersebut.
Pada akhirnya, kebijakan aborsi di era Trump serta respons dalam bentuk gerakan 4B Movement menunjukkan ketegangan yang mendalam antara kebijakan negara dan hak individual perempuan atas tubuh mereka. Di satu sisi, pembatasan ini dianggap oleh sebagian pihak sebagai langkah perlindungan kehidupan; namun di sisi lain, ia menjadi simbol pengekangan kebebasan tubuh dan otonomi perempuan.
Jika berbicara tentang demokrasi dan hak asasi, langkah-langkah seperti Global Gag Rule justru memperlihatkan ironi: ketika negara yang mengagungkan kebebasan justru memaksa aturan yang membatasi keputusan pribadi. Respons dari para perempuan melalui aksi 4B Movement menegaskan bahwa hak reproduksi bukan sekadar persoalan medis, melainkan juga politis dan simbolik. Ini adalah perjuangan yang belum usai, dan di tengah perdebatan ini, pertanyaan fundamental tentang hak, kebebasan, dan keadilan terus menuntut jawaban. (*)
Editor: Kukuh Basuki