Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Haruskah Khawatir dengan AI?

Uray Andre Baharudin

3 min read

“Menurutmu, kita ini bakal kalah sama AI nggak, sih?” tanya seorang teman ketika kami sedang minum kopi di sebuah warkop kecil. Obrolan itu bermula dari rasa cemasnya sebagai sesama penulis, yang akhir-akhir ini sering membaca berita tentang bagaimana kecerdasan buatan mulai menulis artikel, skenario, hingga puisi. Saya hanya tersenyum mendengar kekhawatirannya. “Mungkin pertanyaannya bukan soal kalah atau menang,” jawab saya pelan, “tapi soal bagaimana kita beradaptasi.”

Percakapan itu terus terngiang di kepala saya. Pertanyaan tentang relevansi profesi kita di tengah kemajuan teknologi memang menggelitik, terutama di dunia yang semakin bergantung pada AI. Apakah benar bahwa AI akan mengambil alih peran penulis sepenuhnya? Ataukah justru AI hanya alat bantu yang memperkaya karya kita?

AI Sebagai Alat, Bukan Pengganti

Jika kita lihat, kehadiran teknologi baru sering kali menimbulkan kekhawatiran serupa. Ketika mesin cetak ditemukan, banyak penyalin naskah khawatir mereka tidak lagi dibutuhkan. Ketika kamera diciptakan, pelukis potret mengira seni mereka akan mati. Namun, kenyataannya, inovasi justru membuka pintu baru bagi kreativitas manusia. AI, menurutku, tidak berbeda.

AI tidak bisa meniru pengalaman hidup seorang manusia. Ia bisa menulis puisi tentang cinta, tapi tidak bisa merasakan patah hati. Ia bisa merangkai kalimat indah tentang matahari terbit, tapi tidak bisa menyerap kehangatan sinarnya. AI hanya memproses data yang ada, sedangkan manusia menciptakan makna dari pengalaman.

Baca juga:

Seorang ahli teknologi, Kevin Kelly, pernah berkata, “Teknologi adalah alat ekstensi manusia, bukan pengganti manusia.” Dalam konteks ini, AI adalah ekstensi yang membantu kita bekerja lebih efisien, bukan kompetitor yang harus kita takuti.

Ketakutan terhadap teknologi sering kali berakar dari ketidaktahuan kita tentang potensinya. Namun, sejarah menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi. Teknologi tidak menghilangkan kebutuhan akan kreativitas manusia; sebaliknya, ia menantang kita untuk memperluas imajinasi dan menemukan cara baru untuk berkarya.

Lihat saja perkembangan industri kreatif. Kehadiran teknologi digital seperti perangkat lunak desain grafis, kamera digital, atau platform streaming tidak mematikan seni tradisional. Justru, seni tradisional menemukan cara baru untuk berkembang, berkolaborasi, dan menjangkau audiens yang lebih luas. Hal yang sama berlaku untuk AI. Dengan AI, seniman, penulis, dan kreator dapat mengeksplorasi ide-ide yang sebelumnya tak terbayangkan.

Namun, ini tidak berarti bahwa AI bebas dari tantangan etis. Salah satu pertanyaan besar adalah: bagaimana kita memastikan bahwa AI digunakan untuk mendukung, bukan menggantikan, manusia? Di sinilah peran kebijakan, regulasi, dan kesadaran kolektif sangat penting. Kita perlu mendesain AI yang memperkuat nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, inklusivitas, dan empati.

AI, pada akhirnya, hanyalah alat. Bagaimana alat itu digunakan bergantung sepenuhnya pada kita. Kita bisa memilih untuk melihat AI sebagai ancaman, atau sebaliknya, sebagai peluang untuk mendorong batas kemampuan kita sebagai manusia. Seperti halnya teknologi di masa lalu, AI adalah panggilan untuk beradaptasi, belajar, dan tumbuh. Bukankah itu yang membuat manusia begitu istimewa?

Adaptasi, Bukan Resistensi

Tentu saja, adaptasi tidak selalu mudah. Teman saya sempat berkata, “Tapi kalau AI sudah bisa bikin novel yang bagus, buat apa ada kita?” Saya hanya menjawab, “Karena novel AI tidak punya jiwa.”

Sebuah karya besar lahir bukan hanya dari rangkaian kata, tetapi dari pergulatan batin penulisnya. Misalnya, karya Pramoedya Ananta Toer seperti Bumi Manusia tidak hanya bercerita tentang sejarah, tetapi juga tentang perjuangan pribadi penulisnya melawan represi. AI tidak punya kemampuan seperti itu. Ia hanya bisa mengolah data berdasarkan pola, tetapi tidak bisa menciptakan sesuatu yang lahir dari empati, rasa sakit, atau kebahagiaan.

Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa AI semakin canggih. Ini berarti, kita perlu menemukan cara untuk bekerja berdampingan dengannya. Mungkin, AI bisa membantu merapikan naskah, memberikan ide segar, atau menganalisis tren pembaca. Tapi pada akhirnya, sentuhan manusia tetap menjadi nilai jual utama sebuah karya.

Kualitas di Atas Segalanya

Selain adaptasi, yang perlu kita fokuskan adalah kualitas tulisan. Pembaca tidak hanya mencari informasi; mereka mencari sesuatu yang bisa menyentuh hati, menginspirasi, atau bahkan mengubah cara pandang mereka. Tugas penulis adalah memberikan pengalaman itu, sesuatu yang tidak bisa dihadirkan oleh algoritma.

AI mungkin bisa menulis artikel berita atau ulasan produk dengan cepat, tetapi cerita pribadi, pengalaman hidup, atau refleksi mendalam tetap menjadi wilayah manusia. Orang membaca karena ingin merasa terhubung, dan hanya manusia yang bisa memberikan hubungan itu.

Saya seakan teringat pada ucapan penulis terkenal Ray Bradbury: “You must stay drunk on writing so reality cannot destroy you.” Tulisan yang baik selalu lahir dari gairah dan ketulusan, sesuatu yang tidak bisa dimiliki AI.

Namun, gairah dan ketulusan itu tidak muncul begitu saja. Mereka adalah hasil dari proses panjang—pengamatan, pengalaman, dan keberanian untuk membuka diri. Penulis yang baik tidak hanya menuangkan kata-kata, tetapi juga sebagian dari jiwanya ke dalam setiap kalimat. Inilah yang membuat tulisan manusia memiliki nyawa, resonansi yang sulit ditiru oleh kecerdasan buatan.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kita perlu bertanya: apa yang membuat tulisan kita relevan? Jawabannya bukan pada kecepatan atau efisiensi, tetapi pada makna. Pembaca tidak akan ingat paragraf yang sempurna secara teknis, tetapi mereka akan selalu mengingat kata-kata yang membuat mereka merasa dimengerti, yang memotivasi, atau bahkan mengubah cara mereka melihat dunia.

Sebagai penulis, kita memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar menyampaikan informasi. Kita adalah penjaga cerita, penyalur emosi, dan pencipta ruang dialog. Kita menulis bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk didengar, dipahami, dan dirasakan. Ini adalah sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena menulis bukan sekadar pekerjaan; ia adalah bentuk keberadaan.

Baca juga:

Di sini, teknologi seperti AI seharusnya menjadi alat, bukan pengganti. Biarkan AI membantu menyusun data, mempermudah proses, atau bahkan memberikan inspirasi. Tetapi ketika bicara soal esensi, manusialah yang harus memegang kendali. Karena pada akhirnya, yang membuat tulisan berarti bukanlah teknologi di baliknya, melainkan hati yang ada di dalamnya.

Melihat AI Sebagai Partner

Daripada melihat AI sebagai ancaman, mungkin kita bisa menganggapnya sebagai partner. AI bisa membantu penulis dengan pekerjaan teknis seperti perbaikan tata bahasa, riset cepat, atau bahkan brainstorming ide. Dengan begitu, kita bisa lebih fokus pada hal-hal kreatif yang memang membutuhkan sentuhan manusia.

akhirnya kami pun sepakat bahwa AI bukanlah musuh. Kehadirannya memaksa kita untuk terus meningkatkan kualitas karya. Ketika dunia berubah, kita juga perlu berubah. Menolak AI sama seperti menolak kemajuan, sesuatu yang tidak realistis

Ketika obrolan kami selesai, teman saya tersenyum lega. “Jadi, kesimpulannya, kita nggak perlu khawatir, ya?” tanyanya. Saya hanya tertawa. “Khawatir itu wajar, tapi jangan sampai menghentikan langkah. Kreativitas manusia tidak akan pernah tergantikan.”

Teknologi mungkin terus berkembang, tetapi esensi tulisan tidak berubah. Sebuah karya lahir dari hati, pikiran, dan pengalaman. AI mungkin bisa menulis, tapi ia tidak bisa menciptakan jiwa dalam tulisannya. Tugas kita sebagai penulis adalah terus menghasilkan karya yang bermakna, karena pada akhirnya, itulah yang dicari pembaca. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Uray Andre Baharudin
Uray Andre Baharudin Periset Bidang Studi Kebijakan Publik dan Advokasi HAM. Social-Politic & Human Right Law Writer Specialist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email