“Aku tidak akan memberikan obat-obat yang mematikan meski diminta dan aku juga tidak akan memberikan nasihat seperti itu. Dengan cara yang sama, aku tidak akan memberikan obat-obatan kepada seorang perempuan yang bisa mengakibatkan aborsi,” tulis Hippocrates dalam salah satu bukunya.
Pernyataan Hippocrates yang ditulis pada 370 SM itu memicu kontroversi, tidak hanya di bidang kedokteran, tetapi juga pada masyarakat luas. Sebagian besar orang mendukung pernyataan Hippocrates. Namun, di bidang kedokteran, banyak yang mengkritik pernyataan tersebut karena tugas seorang dokter adalah memberi nasihat terbaik terkait nyawa pasien. Kini, ribuan tahun setelahnya, pandangan masyarakat terhadap aborsi masih tetap terbelah.
Baca juga:
Saya sempat membaca berita bahwa ada seorang gadis 15 tahun dibui karena melakukan aborsi. Jika dilihat sekilas, memang tampak kesalahan pada anak itu. Namun, bila dikaji lebih mendalam mengenai alasan mengapa ia melakukan aborsi, barulah terlihat bahwa si gadis adalah korban.
Lalu, mengapa seorang korban malah dibui? Gadis kecil itu ternyata seorang korban perkosaan oleh saudara kandungnya sendiri. Ia memutuskan ke dukun beranak untuk menggugurkan janinnya yang berusia kurang dari 20 minggu. Ketidaksiapan mental sebagai ibu dan trauma mendorongnya melakukan aborsi. Ia lalu ditangkap pihak berwenang atas tuduhan aborsi ilegal.
Isu aborsi legal di Indonesia memang masih sangat tabu. Sedikitnya, ada dua alasan aborsi menjadi legal di Indonesia, yaitu jika dilakukan untuk alasan kesehatan atau oleh korban perkosaan. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa perempuan dengan kondisi-kondisi di atas akan cenderung menghindari fasilitas kesehatan resmi karena takut melanggar hukum. Padahal, aborsi dengan bantuan dukun justru memiliki risiko tinggi dan tidak terkontrol.
WHO memperkirakan terdapat 21.600.000 kejadian abortus yang tidak aman di seluruh dunia pada tahun 2008. Angka kematian akibat abortus tidak aman di dunia adalah 30 per 100.000 kelahiran hidup. Frekuensi abortus di Indonesia adalah 750.000-1,5 juta kejadian setiap tahunnya. Sebesar 50% di antaranya terjadi pada mereka yang hamil sangat dini. Angka kematian karena abortus pun mencapai 2.500 jiwa setiap tahunnya.
Berkaca dari data yang ada, negara seharusnya memperbaiki layanan bagi korban kekerasan seksual dengan mempertimbangkan kemungkinan aborsi bagi mereka. Ruang aman aborsi harus dihadirkan bagi seluruh perempuan yang menjadi korban perkosaan. Fasilitas aborsi legal dengan bantuan tenaga medis adalah layanan yang sangat dibutuhkan oleh korban perkosaan. Ketersediaan fasilitas itu setidaknya dapat membantu menurunkan risiko kematian ibu akibat abortus tidak aman.
Pengaturan aborsi bagi korban perkosaan di Indonesia telah diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalamnya disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, tetapi larangan tersebut tidak berlaku jika ada indikasi kedaruratan medis atau kehamilan dalam kasus perkosaan. Namun, adanya batasan usia kehamilan maksimal enam minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir dalam UU menimbulkan kontroversi. Kemungkinan kondisi psikis korban mengakibatkan ketidaktahuan awal kehamilan. Bisa jadi perempuan tersebut baru mengetahui kehamilannya melebihi batas waktu tersebut.
Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan 11 Juli 2023 mengatur tentang aborsi. Dalam UU ini, ada tiga kriteria aborsi yang diperbolehkan. Pertama, aborsi diperbolehkan dan hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dengan dibantu tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan wewenang. Kedua, aborsi dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri. Ketiga, aborsi dilakukan dengan persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban perkosaan.
Revisi UU Kesehatan pun memperpanjang masa maksimal kehamilan bagi pelaku aborsi akibat kekerasan seksual dan kedaruratan medis dari 6 minggu menjadi 14 minggu. Namun, revisi UU tersebut masih berpotensi membelenggu kaum perempuan. Meskipun UU tidak menetapkan persyaratan khusus, dalam praktiknya, petugas kesehatan masih meminta persetujuan hakim untuk melegalkan aborsi pada kasus kehamilan akibat perkosaan. Proses legalisasi ini dapat memakan waktu lebih lama dari usia kehamilan yang diperbolehkan aborsi sesuai UU.
Revisi UU Kesehatan saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan. Agar berdampak, hal-hal terkait aborsi yang diatur dalam UU tersebut mesti diterapkan. Namun, faktanya, sejak disahkan 14 tahun lalu, implementasi peraturan aborsi aman belum dilakukan sehingga korban pelecehan seksual tidak bisa mengakses layanan yang dibutuhkannya. Bahkan, tidak ada fasilitas kesehatan yang ditegaskan atau ditunjuk sebagai pengampu layanan aborsi sesuai dengan peraturan yang dimaksud.
Editor: Emma Amelia