Mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci.

The Suse: Kesadaran Tanpa Penerang

Rudi Agus Hartanto

3 min read

Playlist Spotify yang saya dengar bergeser acak, lalu bersambut Walk of the Unknown milik The Suse. Lagu ciptaan dedengkot punk domisili Sukoharjo itu lekas menghardik pikiran saya meski terdengar cepat dan padat. Untung saja mereka menyediakan teks lirik sebagai pendukungnya.

Band yang kerap melabeli diri sebagai band kabupaten ini beberapa kali berhasil menyita perhatian saya. Terutama kampanye mereka perihal dukungan untuk musisi yang lahir dari daerah. Wacana yang dilempar The Suse terasa sangat menarik. Sebab, dapat ditandai sebagai upaya untuk membangun pemahaman bahwa mereka yang berproses di daerah tidaklah kalah dengan yang di kota besar.

Baca juga:

Jika dilihat, mungkin apa yang dilontarkan The Suse bukanlah sesuatu yang besar, sebab wacana itu hanya menguar di tempat kecil—lahan parkir, studio gigs, atau kedai kopi. Namun, setidaknya dapat menjadi tameng di kala mereka kerap dibanding-bandingkan dengan “musisi” yang sudah mapan. Pembandingan yang terjadi kerap dilekatkan sebagai bentuk kritik. Dalam hemat saya, mengapa justru kritik yang dihadirkan tidak menyoal “ketersediaan ruang” terlebih dahulu sebelum menyentuh hal-hal lainnya?

Eksistensi Musisi Daerah

Selain itu, kebertahanan musisi di daerah ini juga rentan. Mereka mesti mengelola keperluan kreatif secara mandiri: pengkaryaan, publikasi, hingga pengorganisasian gigs. Sebagai sampel penimbang, The Suse sendiri telah memiliki satu album studio, beberapa kolaborasi, dan kompilasi. Untuk urusan panggung, atas kolektif yang mereka bentuk bersama band-band lainnya, mereka berupaya menciptakan ruang apresiasi mandiri.

Selama ini, dalam skena musik sering kali terdapat dikotomi antara band besar dan band kecil. Dari sisi industri, kondisi demikian memang tak bisa dihindari. “Si besar” ini cenderung dianggap dapat menghadirkan massa banyak (keuntungan), sementara “si kecil” dianggap tidak menghasilkan apa-apa.

Bahkan dapat dilihat kala di suatu daerah digelar pertunjukan musik. Musisi yang berasal dari daerah di mana pertunjukan itu digelar, sering ditempatkan sebagai pembuka acara atau justru tidak ada sama sekali. Jarang sekali saya melihat mereka menunjukkan aksinya pada saat penonton sudah pada—prime time. Lalu, “apresiasi” kerap dijadikan dalih kenapa mereka diundang. Namun, apakah pengertian tersebut sudah tepat?

Korban dari pola semacam itu adalah mereka yang berasal dari daerah. Potensi besar tapi ruangnya belum mengakomodasi kreatifitas mereka. Jikapun ada, ruang yang tercipta tidak memberi, katakanlah, exposure yang memadai bagi karya-karya mereka. Harusnya seseorang bercermin ketika mengatakan bahwa “hanya” karena mereka berasal dari daerah, lantas karyanya tak mendapat ruang apresiasi.

Kondisi demikian sudah terlanjur larut. Wacana yang dilempar The Suse serupa perpindahan sore menuju malam: dari terang menuju gelap, indah lalu hilang. Tetapi, keberlangsungan wacana yang terlontar layak mendapat penghormatan serta mesti diteruskan.

Bahkan andai saja kemungkinan terburuk datang (bubar), generasi selanjutnya setidaknya telah memiliki wacana yang dapat dikembangkan. Sebab, arena kreatif yang mereka usung bukan lahan yang terbilang mulus. Belum lagi, di media sosial mereka dihadapkan keberadaan “polisi” skena yang tidak sedikit dengan mudah menilai bahwa “band ini jelek” tanpa memberi parameter yang jelas dan kuat. Maka, selain kesiapan tidak dikenal, juga diperlukan mental spartan.

Katakanlah, yang tumbang di tengah jalan bukanlah bentuk kekalahan. Mungkin saja ekosistem di sekitar belum mendukung atau memang ruang tak diciptakan untuk mereka. Akhirnya, jalan kolektif dibentuk untuk meruangi suara maupun ekspresi yang mereka inginkan.

Walk of the Unknown?

Single yang dirilis The Suse di platform digital pada 2022 ini terbilang unik. Bahasa yang digunakan cenderung sangat ekspresif. Meski bentuk semacam itu lekat dengan lagu band punk pada umumnya, sebaris lirik yang muncul seperti buah kesadaran: We kill ourself, kata The Suse dalam lagu tersebut.

Kenapa begitu? Sejalan dengan uraian panjang yang telah dikemukakan sebelumnya, secara terang-terangan The Suse seperti menegaskan kampanye yang mereka gaungkan selama ini. Pada baris tersebut segala kemungkinan diarahkan kepada mereka sendiri. Tentang keberadaan yang jauh dari lampu terang.

Baca juga:

Ruang-ruang sempit yang selama ini menjadi tempat berekspresi coba dimanifestasikan pada lagu ini. Selain itu, konteks bangunan ke-diri-an tentang band ini juga terasa begitu lugas. Irisan yang ada berkaitan dengan upaya pembentukan identitas keberasalan: orang daerah. Mungkin saja, The Suse jengah mendengar anggapan bahwa orang daerah tidak berkemajuan.

Kondisi demikian tentu saja merupakan sebuah tantangan. Seiring waktu bekerja, pertanyaan-pernyataan mengenai kebertahanan akan semakin membanal. Sebab, kiranya begitu yang mengambil porsi besar di hadapan pikiran tiap generasi. Begitu pula dinamika zaman yang ada-ada saja semakin menarik atas keberadaan Walk of the Unknown ini.

Perjalanan lagu ini tentu akan dicatat oleh waktu dan The Suse sendiri, sebab di luar bermain band, ada pula pekerjaan yang dilakukan setiap personil untuk menyambung hidup. Selain kepentingan itu, apa yang mereka hasilkan sebagian juga untuk napas pengkaryaan mereka. Dengan begitu, lagu ini juga dapat dibilang sangat dekat bagi orang-orang yang berkarya sekaligus bekerja, apalagi bila butuh dorongan yang padat, keras, dan cepat: Walk of the Unknown boleh dijadikan pilihan.

Dari lagu ini, sebenarnya sebuah refleksi sangat mungkin untuk direnungkan. Orang daerah/orang kabupaten yang jadi bahasan sebenarnya hanya batas geografis semata, sebab keberasalan seseorang sebenarnya bukan kuasa manusia, tetapi dengan itu apakah ada kemungkinan kesetaraan menjadi basis pemikiran yang lebih universal?

Pada akhirnya, untuk menangkap pesan sebuah lagu selalu kembali kepada masing-masing orang. Judul lagu yang secara bebas saya artikan sebagai “jalan yang tak diketahui” ini seperti mengingatkan saya kepada kisah-kisah perjuangan gerilya: penuh tantangan serta kemungkinan.

 

Editor: Prihandini N

Rudi Agus Hartanto
Rudi Agus Hartanto Mahasiswa Program Magister Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret. Bergiat di Kamar Kata Karanganyar dan Sanggar Bima Suci.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email