Tiap dua bulan sekali, Bupati Sadikin menyewa satu kios barber dekat Pasar Joar. Alasan moralnya, supaya merakyat. Alasan konkretnya, supaya bisa mendengar orang pasar. Suara rakyat bawah. Selain warung kopi, tempat potong rambut adalah pos informasi nomor wahid. Desas-desus dari yang kecil sampai besar bisa diperoleh di ruang 3×3 meter persegi itu. Tukang potong rambut adalah A1 ceruk informasi.
Pak Sasak, tukang cukur langganan Bupati Sadikin, pernah ditawari jadi intel. Ia hanya perlu menanyai pelanggan dengan pertanyaan yang sudah disiapkan. Bertanya itu tanda keramahan. Suasana lebih santai ketika obrolan terjadi di tempat duduk potong. Pelanggan nyaman dan merasa diperhatikan. Informasi gampang didapat. Mereka juga rutin datang. Biasanya dua bulan sekali. Rata-rata rambut orang tumbuh 3-4 cm tiap dua bulan.
Tapi Pak Sasak selalu menolak tawaran itu. Katanya, ia tak mau tanya pertanyaan yang tak ingin ia tanyakan. Bertanya itu ada seninya. Ia tak boleh ujug-ujug bertanya kepada Warso berapa ruko yang ia sewakan. Warso memborong puluhan ruko pasar Joar lalu menyewakannya dengan harga jauh lebih tinggi dengan sistem cicil harian. Pak Sasak juga tak mau menuntut jawaban. Jika pelanggan tak mau menjawab, itu artinya bukan urusan Pak Sasak. Ia lebih baik diam. Atau bertanya pertanyaan mendasar saja.
Ada tata cara tak tertulis yang mesti dipahami tukang cukur. Terutama Pak Sasak. Pertama, tanya dulu mau potong apa. Kalau pelanggan anak-anak, ia perlu tanya pada orang tuanya. Jika anak itu menyampaikan sendiri pengin potong apa, tinggal turuti. Biasanya anak kecil minta potong agak aneh. Potongan teranyar. Artinya Pak Sasak perlu mengikuti tren. Ia perlu mengamati gaya rambut anak-anak yang melintas di pasar. Samping tipis. Gradasi pendek-panjang dibuat menonjol. Jangan halus.
Anak muda suka penampilan mencolok. Beberapa anak tak suka dikerik pakai silet. Orang dewasa lebih mudah. Mintanya tak aneh-aneh. Asal rapi dan pendek. Mereka lebih suka tak terlalu sering datang potong rambut. Itu merepotkan. Buang-buang waktu dan uang. Makin pendek makin lama cukur.
Setelah memasang apron dan sepakat dengan model rambut yang diminta, Pak Sasak akan langsung menipiskan bagian samping sampai belakang dengan clipper. Ia perlu menunggu beberapa jenak atau kalau sudah kenal, ia akan langsung mengawali obrolan. Tapi kalau pelanggannya memang sudah banyak omong, ia hanya perlu diam dan menyimak. Pelanggan itu akan nyerocos sendiri.
Kalau pelanggannya pendiam, ia perlu memancing dengan satu dua pertanyaan. Tanya dengan pertanyaan mendasar yang tak perlu usaha berpikir untuk menjawab. Pertanyaannya mesti lugas dan enteng untuk dijawab. Misal, “Pulang kerja, Mas?”, atau “Kerja di mana, Mas?”
Pak Sasak tak boleh sembarangan bertanya. Ia mesti melihat dulu penampilan pelanggannya. Jika kusut dan acak-acakan, ia tak perlu tanya soal pekerjaan. Tapi kalau pelanggannya pakai sepatu bagus, kemeja kerah, biasanya akan langsung sigap menjawab. Orang itu akan segera membanggakan pekerjaannya. Pak Sasak hanya perlu pura-pura tak tahu menahu soal perbankan, atau ASN, atau apa pun pekerjaan pelanggannya. Pelanggannyalah yang akan menjelaskan dengan lancar. Pak Sasak hanya perlu pura-pura antusias, seperti mengisi jeda dengan ekspresi “Wah, enak juga ya, Mas. Oh begitu ya, Mas. Baru tahu saya.” Atau dengan pertanyaan lanjutan, “Wah, kalau bisa dapat nasabah 10 sehari, bisa beli motor itu ya, Mas?”
Bagi orang menengah ke bawah, tukang cukur adalah psikiater yang murah meriah. Tentu tukang cukur tak bisa meresepkan obat. Ia hanya akan mendengarkan keluh kesah pelanggannya. Atau jika pelanggannya butuh masukan, tukang cukur perlu memberi saran sebisanya.
Tukang cukur biasanya punya banyak informasi. Hasil dari obrolannya sehari-hari. Lintas profesi. Lintas umur. Kadang dokter, guru, pedagang, tukang gali kubur, pemborong, tani, polisi.
Pak Sasak sudah 30 tahun jadi tukang cukur. Jika ada yang punya masalah kejantanan, ia tahu resep jamu kuat. Jika ada yang tanya nama pemilik ruko di pasar Joar, ia hafal semuanya. Semua alamat rumahnya. Jika ada yang tanya tempat kulak jajanan kemasan, ia tahu persis grosir mana yang paling miring harganya. Bahkan jika ada yang sembarangan tanya, gubernur siapa yang akan dipilih oleh warga sekitar, Pak Sasak tahu.
Bupati Sadikin sendiri sudah langganan sejak lulus kuliah. Dulu saat awal-awal cari kerja, Pak Sasak-lah yang mengenalkannya pada seorang pemborong proyek.
Jasa Pak Sasak amatlah besar. Selain memangkas rambutnya dua bulan sekali, kancah politik Bupati Sadikin tak lepas dari jasa Pak Sasak. Bisa dibilang, ia adalah konsultan pribadinya.
Pak Sasak kenal banyak orang. Jika mau, ia bisa minta posisi tertentu pada Bupati Sadikin. Tapi Pak Sasak tak pernah minta. Jika ditawari, ia hanya diam. Tak pernah menjawab. Ia hanya akan mengatakan bahwa jadi tukang cukur amatlah nikmat. Ia tak perlu sering kulakan. Cukup listrik, clipper, apron, spray, silet, gunting, dan sisir. Bisa untuk setahun ke depan. Per kepala sepuluh ribu. Jika sehari datang sepuluh orang, pendapatannya bisa melampaui UMK.
Pak Sasak bebas buka tutup ruko. Jika sedang sakit, ia tak perlu minta izin pada siapa pun. Jika sedang malas, tak ada atasan yang akan memarahinya. Selama memangkas rambut, ia bisa mengobrol panjang lebar dengan pelanggan. Tak ada bedanya dengan nongkrong di pos ronda. Bagi Pak Sasak, itu bukan pekerjaan, melainkan hidup. Ia ogah menukar hidupnya dengan pekerjaan yang mengikat.
Bupati Sadikin sendiri tak bisa memaksa. Ia mesti legowo. Dua bulan sekali harus datang ke pasar Joar. Setiap Jumat ruko tutup karena disewa olehnya. Sehabis jumatan, biasanya ia datang sendiri tanpa ajudan. Pakai pakaian biasa supaya tak membuat kerumunan. Selain memangkas rambut, Bupati Sadikin memang perlu memperbaharui pengetahuannya soal warga bawah.
Meski Pak Sasak bukan orang politik, kalau tiba-tiba ada pelanggan anyar yang berkacak pinggang, ngalor-ngidul menyanjung satu dua bakal calon, ia hanya akan mengangkat sedikit bibirnya.
Pak Sasak sudah dua puluh tahun golput. Jika diminta pendapat dan pandangan politik, ia bisa bicara sampai pantat pelanggannya panas. Bukan memberitahu mana calon yang paling top, melainkan mana calon yang tidak buruk-buruk amat.
Pak Sasak sudah mafhum sepak terjang perpolitikan beberapa orang-orang penting. Terutama Bupati Sadikin.
Bupati Sadikin dapat sponsor dari Serikat Naga Putih. Sekelompok pemborong tender bawah meja. Kabarnya kelompok itu ada 9 orang. Yang lain percaya ada ratusan. Bupati Sadikin didanai 30 Miliar untuk maju jadi bupati. Jumlahnya sesuai mahar yang diminta oleh partai. Ia tak wajib mengembalikan, tapi ia perlu memberikan akses tender proyek kepada para pemborong itu. Semua untung. Semua senang. Semua menang. Yang kalah, tentu warga. Terutama pengusaha kecil.
Sahroni, pengusaha percetakan, menantunya Pak Sasak, pernah mendapat pesanan tujuh ribu buku saku dari dinas kabupaten. Tiga ribu rupiah per eksemplar. Buku itu tak pernah diambil dan baru dibayar separuh. Buku itu telah melewati lima makelar. Belakangan ia tahu, anggaran dari dinas sebetulnya sepuluh ribu per eksemplar.
“Maksudnya, ini baru buku saku hlo. Proyek sepele. Hla itu, proyek tender-tender gede itu dibuat bancakan berapa makelar. Ya pantas belanja APBD gede,” keluhnya saat ia minta potong sebelum berangkat ke Lampung dan menutup usaha percetakannya.
Maka dari itu, Pak Sasak selalu mengakhiri omong-kosong politiknya dengan pernyataan panjang seperti: “Semua partai politik adalah perpanjangan tangan dari satu kelompok atau pengusaha atau sponsor untuk menjangkau hukum supaya kepentingan atau usaha mereka dapat tercapai. Kebijakan publik itu hanya formalitas kerja.”
Kadang ia asal bicara. Kadang ia lupa tengah mencukur tukang parkir atau tukang jagal sapi. Tentu ia tak berharap orang-orang pasar itu mengerti. Pak Sasak hanya memberi tahu supaya tak perlulah memulai obrolan politik dengannya. Ruko seberang WC umum itu rasa-rasanya tak cocok untuk menggulingkan rezim atau memulai gerakan baru. Orang-orang datang untuk menipiskan rambut. Membuang nasib buruk. Merapikan penampilan supaya kelihatan terurus.
Sabtu lalu katanya Pasar Senen kebakaran. Artinya, akan banyak orang yang datang pura-pura cukur. Pak Sasak tahu preman-preman bercelana jins ketat itu dari polres. Sebab kalau dari polsek ia sudah hafal orang-orangnya.
Pak Sasak adalah informan A1. Hampir semua kejadian di pasar terdekat mula-mulanya dibicarakan di ruko sempit itu. Tentu dengan bisik-bisik. Tapi Pak Sasak selalu memasang kupingnya kencang-kencang. Tanpa berkomentar.
Pak Sasak tahu, Waryono-lah yang membakar pasar itu Sabtu kemarin. Tukang ojek online. Bulan lalu tak sengaja membunuh tukang sayur jalur gang Krajan. Ia kalut lalu mencekiknya. Lelaki itu meniduri istrinya di kontrakan belakang pasar sapi.
Suatu sore, Waryono lari ke ruko Pak Sasak. Tidak minta potong tapi minta tolong. Itu bukan yang pertama bagi Pak Sasak. Artinya, ia tak akan langsung menelepon polisi atau berteriak supaya orang-orang pasar menggebuki Waryono ramai-ramai. Pak Sasak perlu menyelesaikan satu kepala dulu dengan tenang. Ia menyodorkan air putih. Waryono perlu menunggu dan mendinginkan kepala.
Pak Sasak tak suka menghakimi orang. Semua orang punya alasannya masing-masing. Bahkan baik-buruk baginya tak dapat diadili dengan dua-tiga undang-undang etika-moral. Hakim tak dapat melihat yang tak kasat mata. Sementara, hal-hal psikologis orang amatlah tak kasat mata. Artinya, kurungan sepuluh-lima belas tahun akan menghancurkan manusia dan yang tak kasat itu.
Tangan Waryono sudah terlanjur berdarah. Kurungan hanya akan mempertebal penyesalannya. Ia akan seumur hidup menjadi manusia yang salah. Buruk dan rusak. Artinya, tak ada jalan memutar. Tak dapat mengundurkan waktu dan membatalkan kejadian. Hanya ada jalan maju. Melanjutkan hidup.
Waryono bukan pembunuh. Insting bertahan hidupnyalah yang membunuh tukang sayur itu. Ia mesti melindungi harga dirinya. Ia tentu tidak akan melampiaskan nalurinya itu pada istrinya yang selingkuh. Semua istri di dunia yang selingkuh tak pernah salah. Mereka melakukannya sebagai kritik terhadap suami yang tak becus. Karena itu Waryono perlu melindungi harga dirinya sebagai lelaki. Menghabisi lelaki lain. Sebagai bentuk kejantanan.
Tapi Waryono hanyalah tukang ojek online yang baru enam bulan mengaspal. Kontrakannya belum lunas. Jaminan kesehatan tak punya. Gaji tak tetap. Motor oper kredit. Perusahaan keparat itu melabeli dirinya sebagai mitra bukan karyawan. Artinya, ia tetaplah tukang ojek biasa. Tapi berseragam.
Meski begitu, bagi Pak Sasak, tukang ojek punya hak hidup. Sama seperti polisi yang menyamar jadi preman itu. Sama seperti Bupati Sadikin. Sama seperti orang-orang di Serikat Naga Putih.
Pak Sasak minta Waryono meninggalkan KTP di meja, lalu menyuruhnya kabur. Dua hari lagi, akan ada orang yang menghubungi untuk menyelamatkannya.
Waryono butuh tiga pengacara andal. Setidaknya ia perlu mendekam di penjara dua tahun. Tapi jika tak mau juga, ia bisa kabur ke Taiwan.
“Dari mana duitnya?” sanggah Waryono. Setengah tertawa. Setengah menangis. Setengah panik.
Tak pernah ada orang yang keluar dari ruko Pak Sasak dengan wajah masam. Artinya, Waryono tak perlu khawatir.
Tapi hari ini, dua hari setelah kebakaran pasar, satu bulan setelah Waryono membunuh tukang sayur, ada orang kota datang. Minta dipotong rapi. Gayanya necis. Sepatu mengilat. Jam mengilat. Bulu dada. Bulu tangan. Kumis njepaplang. Intel?
Orang itu duduk di kursi potong. Seperti segumpal besar daging yang lumer di atas kursi perpegangan kayu. Beberapa kali terdengar bunyi decit saat orang itu membenarkan duduknya. Pak Sasak membentangkan selembar kain di dada orang itu. Hampir tak cukup. Tapi bukan itu masalahnya. Melainkan mata orang itu di kaca.
Pak Sasak perlu berhati-hati. Ia tak bisa asal bicara. Ia hanya perlu memotong rambut itu secepat mungkin. Lantaran ia mencium bau tuak dan bawang putih. Lelaki itu mabuk. Orang suruhan? Tangan itu bisa meraih pisau cukur di meja lalu menusukkannya ke wajah Pak Sasak. Tapi kenapa? Urusannya apa? Apa salah Pak Sasak?
“Kapan terakhir pasar ini direnovasi, Pak?” Lelaki itu memecah keheningan sambil mengamati sudut-sudut plafon. Semua rapi. Tak ada yang bolong atau berusia cukup tua.
Pak Sasak memberi kode kepada pelanggan lain di belakang supaya mengantre di luar. Ada urusan penting. Sebaiknya tak ikut campur.
“Tujuh tahun lalu,” jawab Pak Sasak santai. Ia berusaha tak menatap pantulan mata lelaki itu di kaca.
“Saya dari Bugis, Pak. Ruko arloji saya di Senen hangus rata kemarin.”
Pak Sasak yakin, lelaki itu sedang menatap wajahnya dari cermin. Ia juga makin yakin, lelaki itu bukan intel, melainkan pengusaha biasa yang merasa dirugikan oleh kebakaran itu.
Pak Sasak tak akan langsung memberikan nama Waryono. Atau nama salah satu orang di Serikat Naga Putih yang membayar Waryono. Atau Walikota yang mengizinkan serikat gelap itu membakar pasar supaya dapat tender revitalisasi. Pak Sasak tak akan langsung memberikan nama. Toh, dalam lingkaran kongkalikong itu ia tak dapat upah sepeser pun. Toh, Waryono sudah terbang ke Taiwan. Toh, serikat atas itu bukan tandingan tukang arloji. Toh, Walikota akan membangun pasar itu kembali.
“Tujuh tahun lalu, kebakarannya tidak sampai ruko ini ya, Pak?”
Tahu dari mana orang Bugis itu kalau tujuh tahun lalu pasar Joar juga kebakaran. Tapi, ia pasti tak tahu waktu itu Bupati Sadikin-lah yang menyuruh Pak Sasak pindah sementara. Sebab orang suruhan Serikat Naga Putih akan membakar pasar itu.
Jika ada pasar yang terbakar, artinya ada modal pemimpin daerah yang belum lunas. Pemberi modal akan cari proyek di daerah pemimpin setempat. Pasar. Jembatan. Aspal. Seragam dinas. Bahkan alat tulis kantor mereka.
“Waktu itu saya pulang kampung,” lagi-lagi santai. Pak Sasak tak boleh gugup. Toh, itu bukan yang pertama. Ia sudah sering menjadi narasumber dadakan. Toh, orang Bugis itu tak akan langsung membunuhnya jika ia berkelit.
Ia hanya tukang cukur biasa yang sering curi dengar bisik-bisik pasar. Jika ada kejadian yang tidak terbisikkan di rukonya, tentu bukan salah Pak Sasak. Mungkin kejadian sebesar itu sekarang dibisikkan di warung kopi.
“Kemarin sore sopir saya jadi arang. Orang kampung. Dekat Temanggung. Baru dua minggu merantau. Satu minggu ikut saya. Bahkan belum menerima gaji.” Orang Bugis itu menggesek-gesekkan jarinya. Jari kasap dan besar-besar. Barangkali cukup lebar untuk melingkari leher Pak Sasak, lalu memerasnya seperti jeruk nipis.
Kali ini Pak Sasak agak terkejut. Ia berhenti beberapa jenak sebelum merapatkan ujung guntingnya kembali. Pak Sasak sempat melihat pantulan mata orang Bugis itu di kaca. Artinya, ia celaka. Orang Bugis itu pastilah tahu ada yang disembunyikan Pak Sasak.
Tentu Pak Sasak terkejut, lantaran sesuai perjanjian, tak boleh ada korban jiwa dalam pembakaran pasar Senen itu. Begitu permintaan Waryono. Begitu izin Walikota. Begitu janji orang Serikat Naga Putih. Begitu harapan Pak Sasak, supaya kejadian tujuh tahun lalu tak terulang kembali.
Tujuh tahun lalu. Pak Gembul. Teman Pak Sasak dari kampung. Perbatasan Wonogiri. Pedagang mi ayam dekat pintu pasar Joar. Terbakar hidup-hidup. Pak Sasak lupa memberitahunya supaya tak tidur di pasar dulu.
Kejadian mengerikan itu membuat Pak Sasak tak membuka rukonya selama dua bulan. Pedahal rukonya telah direnovasi sedemikian rupa oleh Bupati Sadikin. Sebagai permintaan maaf.
Pak Sasak masih merasa bersalah. Tapi menyalahkan Bupati itu pun tak ada gunanya. Bupati Sadikin sama-sama nelangsa. Ia telah terperangkap dalam lingkaran politik. Secara resmi, ia telah kehilangan hidupnya sejak ia menerima modal dari orang Naga Putih.
Pak Sasak-lah yang berulang kali menenangkan Bupati Sadikin. Ia memberi tahu bahwa rambut-rambut yang dipotong dari kepala seseorang adalah salah satu cara mengurangi bagian tubuh yang mati. Hidup Bupati Sadikin telah berakhir, maka, hanya dengan memotong rambutnyalah ia dapat menumbuhkan bagian tubuh yang baru. Yang tidak ternoda dosa.
“Saya masih belum berani menemui keluarga sopir saya di kampungnya. Saya bersalah. Kemarin Sabtu, saya yang menyuruhnya mengambil kotak arloji di toko itu malam-malam. Harusnya saya yang terbakar malam itu.” Orang Bugis itu mengepalkan tangannya. Ia hampir menangis. Wajahnya merah. Matanya merah. Tangannya berkeringat.
Pak Sasak tahu betul bagaimana rasanya merasa bersalah di atas kesalahan orang lain. Orang Bugis itu tak salah. Pak Sasak tak salah. Semua kesalahan bermula dari satu penyebab tunggal. Rentetan kesalahan lain adalah tanggung jawab penyebab tunggal. Waryono adalah kesalahan. Pak Sasak adalah kesalahan. Orang Bugis itu adalah kesalahan. Bupati Sadikin adalah kesalahan. Mereka adalah rantai-rantai kecil yang membentuk satu kesalahan besar. Penyebab tunggalnya adalah orang dari Naga Putih. Orang yang menikmati hasil dari kesalahan itu. Orang yang sama sekali tak dirugikan. Orang yang tak bersentuhan langsung. Orang di balik layar.
Pak Sasak baru menyadarinya. Ia tak bersalah. Ia hanya pion catur. Ia tak seharusnya merasa bersalah. Orang Bugis itu datang untuk minta tolong bukan mau membunuh. Orang Bugis itu mau melanjutkan hidup. Mempertahankan harga dirinya, seperti Waryono kepada tukang sayur bulan lalu.
Orang Bugis itu masih mau terlibat dalam rantai kesalahan. Pak Sasak hanya perlu mengucap satu nama supaya segalanya berlanjut. Semua kesalahan yang belum terjadi. Pak Sasak merogoh kantong. Menarik selembar setruk bercap, “Toko Bangunan Widjaja,” lalu menyelipkannya ke kantung baju orang Bugis itu.
Pak Sasak tak peduli apa yang akan terjadi kemudian. Ia amat tak peduli apa yang akan pengusaha arloji itu lakukan. Apakah rumah pemilik toko bangunan itu dibakar esok pagi atau orang Bugis itu sendiri yang terbunuh. Tak mungkin orang itu menyeret salah satu orang Naga Putih ke polisi. Tak akan mungkin ada proses hukum. Artinya, semua akan berakhir dengan darah. Atau api.
Tapi Pak Sasak amat tak peduli. Tugasnya adalah memotong rambut pelanggan. Memangkas bagian tubuh orang-orang yang telah tercemar dosa.
****
*Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen berjudul Di Tanah Rantau (8 Juli 2023) dan Garis Pantai (28 Juni 2023)
Editor: Moch Aldy MA