Keterlibatan perempuan sebagai penyanyi musik rap bisa dibilang masih langka. Bahkan di tempat lahirnya sendiri, Amerika, penyanyi musik rap masih didominasi oleh laki-laki, walaupun penyanyi rap perempuan di sana juga tidak bisa lagi dibilang sedikit. Namun uniknya, di berbagai negara di belahan dunia akan selalu muncul penyanyi rap perempuan entah sebagaimanapun sulitnya. Salah satu tempat yang sepertinya ‘mustahil’ itu adalah Arab Saudi dan negara-negara Arab di sekitarnya.
Seperti kita ketahui, Arab Saudi dan mayoritas negara di dunia Arab lainnya mempunyai sistem politik dengan aturan agama yang ketat dan sangat didominasi oleh laki-laki. Gerak dan ekspresi perempuan di ruang publik sangat dibatasi dan tidak sebebas di negara-negara demokratis lainnya. Hal ini membuat penyanyi atau musisi perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan musisi atau penyanyi laki-laki. Adapun penyanyi perempuan di dunia Arab biasanya hanya terbatas menyanyikan lagu pop dan selebihnya lagu-lagu irama khasidah dengan iringan gambus dan alat musik khas Timur Tengah lainnya.
Terlepas dari beberapa kesulitan itu, nyatanya muncul juga penyanyi rap seperti Leesa, Raja Meziane, Asayel Slay, Meryem Saci, Mona Haydar, dan Amani Yahya. Di dalam serba keterbatasan, mereka tetap berani mengaktualisasikan diri dan mengekspresikan pikiran dan perasaannya melalui lirik rap yang lugas dan menghentak.
Arab Spring
Lalu bagaimana para rapper perempuan di Arab ini mulai bermunculan? Sebagai langkah awal, kita bisa runut jejaknya sejak revolusi Arab atau yang biasa dikenal sebagai Arab Spring. Gelombang protes dan demonstrasi para pemuda di dunia Arab pada tahun 2011 itu mengguncang tatanan politik di berbagai negara di dunia Arab, yaitu negara-negara yang terletak di jazirah Arab dan semua negara yang menggunakan bahasa Arab.
Baca juga:
Peristiwa Arab Spring sukses menggulingkan beberapa pemimpin otoriter yang lama berkuasa di negara Arab, antara lain Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak. Demonstrasi itu terus meluas ke berbagai negara Arab lainnya dan mengubah sosial politik negara-negara Arab menuju ke arah sistem negara yang lebih demokratis.
Perubahan sosial politik itu pada akhirnya membawa konsekuensi pada perubahan budaya di negara dan masyarakat Arab. Beberapa negara mulai melonggarkan peraturan dan pembatasan pada perempuan. Hal ini memberikan celah-celah bagi perempuan-perempuan Arab untuk semakin bebas mengekspresikan dirinya di ruang publik.
Salah satu contoh dari demokratisasi ini adalah dikeluarkannya izin mengemudi mobil secara mandiri bagi perempuan di Arab Saudi pada tahun 2018. Kebijakan yang merupakan Langkah besar yang diambil Pangeran Mohammed bin Salman ini langsung disambut oleh penyanyi rap Leesa A. dengan membuat video klip lagunya yang berjudul Saqna. Dalam video itu Leesa menyanyi rap sambil menyetir mobil di jalanan. Lagu itu menunjukkan ekspresi kegembiraan sekaligus ketidakpercayaan bahwa kebebasan perempuan untuk menyetir tanpa pendamping benar-benar bisa terwujud di Arab Saudi.
Untuk meyakinkan masyarakat dunia bahwa ia benar-benar warga negara Arab Saudi, dalam video ketiganya yang diupload di kanal YouTube, Leesa memakai kain keffiyeh (kain tradisional Arab Saudi) sebagai penutup kepalanya dan membawa bendera Arab Saudi berukuran besar. Dalam akun Instagram-nya, Leesa mengklaim sebagai penyanyi rap perempuan pertama di negara Arab Saudi. Memang perlu penelitian lebih dalam lagi tentang klaim kebenaran tersebut. Namun, setidaknya memang sulit menemukan penyanyi rap perempuan Arab Saudi sebelum Leesa, terlebih-lebih sebelum Revolusi Arab.
Walaupun sudah ada gebrakan reformasi tentang kebebasan perempuan di masa Pangeran Mohammed bin Salman, bukan berarti perempuan sudah mendapatkan kebebasan berekspresi secara penuh dan adil. Pada awal tahun 2020, rapper perempuan Asayel Slay diancam ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi karena dianggap menyinggung tradisi masyarakat Makkah setelah merilis lagunya yang berjudul Bint Mecca (Mecca Girl). Ancaman penangkapan ini dicemooh oleh aktivis HAM Amnesti Internasional. Pemerintah Arab Saudi dinilai munafik karena Arab Saudi juga beberapa kali mengundang rapper luar negeri untuk tampil di negaranya. Salah satu rapper perempuan yang pernah direncanakan tampil di Arab Saudi adalah Nicki Minaj, walaupun pada akhirnya Nicki Minaj membatalkan kedatangannya sebagai bentuk dukungan terhadap hak perempuan dan LGBT di negara Arab Saudi yang masih terdiskriminasi.
Palestina sebagai negara yang sering dilanda konflik tak ketinggalan melahirkan penyanyi rap perempuannya, Shadia Mansour. Perempuan berdarah campuran British-Palestina ini sangat vokal dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina sekaligus kebebasan perempuan. Ia meyakini bahwa hip-hop menjadi jalan yang cukup ampuh dalam menyuarakan hati nuraninya.
Sebagai musisi rap, Shadia sangat bersemangat dalam mengangkat adat budaya Palestina. Hal itu seperti terlihat dalam video klip lagunya yang berjudul Al Kufiyyeh 3arabeyyeh (The Kufiyeh is Arab). Ia dengan bangga nge-rap dengan mengenakan thobe, pakaian tradisional perempuan Palestina. Lirik lagu ini juga mengangkat kain keffiyeh sebagai atribut kehomatan sekaligus identitas budaya asli bangsa Arab.
Satu hal yang unik di sini adalah Shadia Mansour sudah muncul satu tahun sebelum Revolusi Arab. Dalam salah satu videonya di YouTube, tertulis tahun 2010 sebagai tahun awal dirilisnya lagu tersebut. Bahkan menurut Marianna Conserva, peneliti gerakan subkultur hip-hop di Palestina, Shadia Mansour sudah berkarier di dunia hip-hop sejak tahu 2003. Hal itu membuat Conserva yakin bahwa Shadia Mansour adalah rapper perempuan pertama di dunia Arab.
Selanjutnya, yang tak kalah sensasionalnya adalah kemunculan rapper asal Mesir, Mayam Mahmoud. Keikutsertaannya pada acara Arab’s Got Talent pada tahun 2013 mengejutkan dewan juri. Mayam Mahmoud yang pada saat itu masih berusia 18 tahun menjadi satu-satunya peserta perempuan yang membawakan lagu rap. Mesir termasuk satu dari beberapa negara Arab yang mempunyai aturan ketat kepada perempuan sehingga tidak mudah perempuan berekspresi di ruang publik. Hal itulah yang membuat kemunculan Mayam Mahmoud sebagai kejutan sekaligus langkah besar bagi kebebasan perempuan di Mesir.
Baca juga:
Mayam Mahmoud bisa dikatakan sebagai rapper perempuan pertama dari Mesir. Dalam lagu-lagunya Mayam Mahmoud untuk menyuarakan kesetaraan gender dan pembebasan perempuan dari diskriminasi dan stigmatisasi. Kemunculan Mayam Mahmoud memberi jalan bagi rapper perempuan mesir lainnya yang muncul di era setelahnya seperti Taffy, Perrie, Dareen, dan Felukah.
Budaya Perlawanan
Protes dan perlawanan memang lekat dengan musik rap yang lahir dari budaya hip-hop di Amerika yang mulai muncul di akhir tahun 70-an. Hip-hop adalah suatu subkultur yang digagas masyarakat muda Afro-Amerika dalam meperjuangkan ras dan budaya mereka dari dominasi kulit putih di Amerika. Hip-hop menjadi jawaban dan resistensi mereka dari hinaan dan perlakuan tidak adil yang sering diterimanya hanya karena mereka keturunan Afrika.
Hip-hop mempunyai empat unsur yaitu DJ, MC, breakdance, dan grafitti. Rap muncul dari MC yang mengiringi music DJ. MC yang awalnya hanya spontanitas itu lama-kelamaan dikonsep sehingga bisa menyatu dengan musik DJ seperti yang sekarang kita kenal sebagai musik rap. Irama cepat rap sangat efektif mengemas orasi panjang tentang protes sosial politik dan budaya kepada pemerintah, polisi, atau otoritas apa pun yang mengekang.
Dengan latar belakang musik rap sebagai musik perlawanan tersebut, perempuan-perempuan dunia Arab mencoba bangkit dan melawan dominasi patriarki yang dilanggengkan oleh negara. Dengan alunan musik hip-hop, mereka mengguncang dominasi patriarki dan aturan negara yang membungkam perempuan. Dengan vokal yang cepat dan lantang, mereka menyuarakan bahwa dunia Arab bukan milik laki-laki saja. Perempuan juga berhak untuk berekspresi, berkarya, dan mendapatkan hak-haknya. Perempuan Arab juga berhak menjadi tokoh utama dalam perkembangan dan pembangunan sosial, politik, dan budaya dunia Arab yang seutuhnya.
Bahasa Arab yang dahulu identik sebagai bahasa keagamaan, kini perlahan menjelma menjadi bahasa perlawanan dan perjuangan kultural untuk membela yang tertindas. Eksistensi rapper perempuan Arab ini seolah amplifier pengeras suara perjuangan sastrawan feminis dunia Arab terdahulu seperti Nawal El-Saadawi, Fatima Mernissi, dan Assia Djebar yang menggunakan bahasa dan kata-kata sebagai media perjuangan. Sebagai pemegang tongkat estafet perjuangan mereka, rapper perempuan Arab adalah wajah baru dari sastra feminis Arab pada masa kini dan yang akan datang.
Editor: Prihandini N